-*⁠.⁠✧26✧.*-

8.1K 739 8
                                    

"Diriku yang dulu sudah lama mati."

---🌹🌹🌹---

"Syl, kita pulang."

Ujaran singkat Fransisco membuat Sylvester sadar dari lamunannya. Mereka berdua bangkit dari duduknya. Sekarang waktu siang menjelang sore, kakek dan cucu itu memutuskan untuk pulang mansion.

Zavier sudah pulang terlebih dahulu ketika panggilan telpon masuk tadi. Wajahnya murung saat pergi. Setelah Zavier pergi, Sylvester pun kembali lagi ke lantai atas, ke tempat Fransisco berada. Dirinya sampai begitu pertemuan Fransisco sudah berakhir.

Sylvester hanya mengiyakan, ia mengekori Fransisco. Di belakang Fransisco kepalanya menoleh, berniat mencari orang yang di temui Fransisco tadi. Sylvester sedikit penasaran.

"Grandpa tadi ketemu siapa?" tanyanya setelah berhasil menyamai langkah lebar sang kakek. Fransisco yang menyadari langsung memelankan langkahnya, ia sedikit menundukkan kepala.

"Putri dari Ephraim," jawabnya. Sylvester membeo panjang, ia bertanya lagi kepada Fransisco ;

"Ephraim itu nama salah satu empat marga besar ya?" Nada bertanya nya terdengar lucu bagi Fransisco, ia menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman tipis.

"Benar. Ephraim merupakan salah satu empat marga besar, Ephraim juga merupakan perusahaan yang menjalin kerjasama dengan Dimitri," jelas secara singkat Fransisco. Dirinya langsung teringat oleh pembahasan yang di perbincangkan saat pertemuan tadi.

"Kerjasama?"

"Kerjasama antara dua marga, kerjasama yang di dasari oleh sebuah perjanjian." Fransisco membenarkan sebentar syal Sylvester di sela-sela langkahnya, syal itu sesaat hampir terlepas.

"Begitu... Oke Syl mengerti"

Mereka berdua masuk ke dalam mobil setelah pintu di bukakan oleh sang sopir. Sylvester dan Fransisco duduk di kursi penumpang. Setelahnya sang sopir perlahan melajukan mobil, diikuti pula dua mobil hitam di arah belakang. Fransisco yang memerintah, bagaimana pun keselamatan merupakan hal utama sekarang.

-*.✧Sylvester✧.*-

'Dor!

Peluru melesat cepat ke arah kepala seseorang. Darah mengalir deras kala tubuh seseorang itu telah ambruk ke dinginnya lantai marmer, amis darah menguar di ruangan yang lebih terlihat seperti ruang kerja itu.

"Nyonya." Sang asisten memanggil dengan datar, setelah dirinya melihat kejadian yang berlangsung hanya dua detik tadi. Padahal hanya di tinggal sebentar ke kamar mandi, sang nyonya sudah berulah.

Sang nyonya yang di panggil mendengus kasar, ia menenggak wine yang ada di dalam gelas cantik di sela jari-jari tangan kirinya.

Kursi kebanggaannya ia putar, putar ke arah belakang, menghadap jendela besar mansion. Taman tertutup oleh salju yang pertama kali menjadi pemandangannya.

Sang nyonya—Violetta, ia duduk angkuh, kaki kanannya bertumpu kaki kiri.

"Pria begitu menyebalkan, bukan?" tanyanya kepada sosok yang duduk santai di sofa biru panjang, terlihat sosok itu sibuk menghias kukunya.

"Begitulah pria," jawabnya sembari ditambahi oleh seringaian kecilnya. Lauriel—sosok itu—menyeringai kecil menatap kelam seseorang yang terbujur kaku karena tewas tertembak di kepala.

Seseorang yang di tembak oleh Violetta tadi adalah seorang kriminal. Pria yang notabenenya adalah pemimpin sebuah jasa prostitusi, serta dalang dari penggelapan dana. Ikut andil juga dalam pelelangan di pasar gelap dan pembunuhan berencana.

Pemerintah juga telah menetapkan pria itu sebagai buron dengan hukuman mati. Violetta tentu senang hati akan melaksanakan hukuman tersebut ke pria itu, dengan menjebak serta menembak mati dirinya.

"Bagaimana menurutmu?" Lauriel memperlihatkan kuku yang telah selesai di hias. Terlihat begitu cantik, apalagi permata putih kecil sebagai penghias. Violetta berbinar, ia langsung meletakkan gelas dan melesat ke arah Lauriel.

"Cantik sekali!"

Kedua wanita itu asik berbincang di sofa panjang tersebut. Membicarakan berbagai hal sembari menghias kuku mereka berdua, dengan wajah yang berseri-seri tanpa memperdulikan beberapa orang berpakaian hitam menggotong pria yang terbujur kaku berlumuran darah.

"Nyonya" Edith—asisten Violetta—menunduk hormat, ia lalu berucap ;

"Nyonya mempunyai tamu."

Lauriel dan Violetta menghentikan perbincangan mereka, wajah yang semula berseri berganti dengan wajah bingung terutama Violetta.

"Tamu?"

"Benar. Tamu anda sekarang sedang berada di ruang tengah."

Violetta bangkit, ia melangkah keluar sekalian mengajak Lauriel untuk ikut dengannya. Kedua wanita itu berjalan dengan anggun, di belakangnya ada Edith yang mengekori.

"Syl!" Pekik keduanya ketika melihat Sylvester yang sedang asik makan cookies, ia duduk di atas sofa dengan hadapan yang berkebalikan. Sylvester sedikit tersentak, ia menoleh ke arah belakang dimana Violetta dan Lauriel berdiri. Kedua wanita itu langsung melesat ke arah dirinya.

"Syl! mom Letta rindu!" Violetta memeluk erat Sylvester, dirinya memekik senang. Lauriel juga, ia peluk erat sang keponakan.

"Cute boy!"

Kedua wanita itu asik sekali, Sylvester kewalahan, ia tatap Fransisco yang tak berkutik. Yang di tatap malah menggeleng miris. Sylvester melotot, sang kakek malah tidak bisa apa-apa!

Sylvester menyesal. Menyesal karena sudah meminta untuk pergi ke mansion Rodrigo dengan alasan menyusul Lauriel dan merindukan Violetta karena obrolannya dengan Zavier. Fransisco pun tidak bisa apa-apa saat berhadapan dengan kedua wanita itu, ia hanya bisa berdiri kaku karena tidak mau kena semprot.

'Tolong aku!'

✿✿✿

Hai! (°▿°)/

Sylvester [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang