-*⁠.⁠✧33✧.*-

5.6K 580 44
                                    

"Memangnya siapa yang peduli? Tidak akan ada."

---🌹🌹🌹---

Pembukaan telah berlalu. Para pria berkumpul di tengah aula, sedangkan para wanita berkumpul di pojok atau sudut, hanya sekedar mengobrol atau menggosip.

Sylvester sudah berpisah dengan Lauriel, dirinya mengekori Marcellus. Si empu yang di ekori pun tidak mempermasalahkan.

"Sylvester...? " Agustin meletakkan gelas winenya, ia memperhatikan adik temannya itu dari kejauhan, sedikit terperangah melihat visual yang jauh lebih manis setelah terakhir kali bertemu.

A/N : Masih pada ingat nggak sama si babang satu ini? (⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

"Syl." Eleander melihat arah pandangan Agustin. Sylvester bersama kakak sepupunya, sedikit merasa lucu melihat Sylvester yang seperti anak ayam sedang mengekori induknya.

Zavier yang mengikuti arah pandangan keduanya juga terkekeh geli. Ia melambaikan tangan pelan, berharap Sylvester melangkah ke arah sini. Marcellus menoleh ke arah Sylvester.

"Mau bersama Ander?" tanyanya sembari menunjuk ke arah Eleander dengan tatapannya. Sylvester juga menatap ke arah Eleander, ada Agustin dan Zavier juga di sana.

"Iya, Syl mau ke kakak," tungkasnya lalu melangkah menuju Eleander dan keduanya berada. Marcellus berucap sebelumnya.

"Kalau begitu harus selalu bersama Eleander, tidak boleh sendiri." Ia elus lembut surai sang adik sepupu.

"Eum."

Sylvester mendekat ke arah ketiganya, tersenyum tipis ketika Agustin menatap ke arah dirinya.

"Halo kak," sapa Sylvester. Sudah lama sejak terakhir kali dirinya bertemu dengan teman kakaknya ini, Sylvester jadi merasa ada yang berubah dari Agustin.

"Halo juga adik manis," sapa balik Agustin. Ia tersenyum tulus.

"Syl!" Zavier merangkul Sylvester, pendek adiknya masih saja sama dan tidak ada tinggi-tingginya. Sylvester mendongak. Terakhir kali bertemu Zavier saat di restoran kala itu.

"Kak Vier baik?"

"Tentu baik, kak Vier itu kan kuat."

Sylvester tertawa renyah. Zavier ini selalu berhasil membuat moodnya meningkat. Ia lalu menatap Eleander, ingin bertanya.

"Kak Lea, kapan kenal sama kak Vier?"

"Sedari umur lima belas tahun," jawab Eleander. Dirinya di perkenalkan dengan Zavier oleh sang kakek. Saat itu Eleander mengikuti rapat perusahaan. Sylvester membeo, sudah selama itu toh.

Keempatnya berbincang ringan, sampai Theodore mendekat bersama dua orang di sampingnya.

"Jadi dia ya, adik manis yang kau sebut-sebut itu." Salah seorang itu mendekat ke Agustin sambil menaik-turunkan alisnya.

"Apa sih pa, menjauh sana." Agustin mendorong bahu sang ayah, ekspresi risih terlukis di air mukanya. Handry, ia menyeringai kecil.

"Dia ayah Agustin, Handry William." Eleander menjelaskan ketika melihat raut bingung samar sang adik. Sylvester mengangguk, jadi pria yang sekarang ini tersenyum lebar ke arahnya adalah ayah Agustin.

"Syl, tidak ingin bersama Daddy?"

Sylvester menggeleng sembari tersenyum atas tawaran Theodore tadi, lebih baik dirinya bersama kakaknya saja.

Theodore masam, tawarannya tidak berhasil. Satu orang lainnya tersenyum tipis-lebih tepatnya seringaian.

"Sekarang aku tahu, sosok anak manis yang selalu di ceritakan oleh Letta."

Theodore menoleh ke arahnya, ia menatap sengit ke arah temannya yang tadi berbicara itu. "Lalu kau mau apa?"

"Tidak, aku tidak mau apa-apa kok."

Theodore menyipitkan matanya tidak percaya, dirinya tahu jika sudut bibir temannya itu berkedut.

"Jadi kamu Syl ya." Ia sedikit menunduk, mengelus surai Sylvester.

"Kenalkan, Simon Rodrigo." Simon tersenyum tipis.

"Suaminya mommy Letta?" Netra Sylvester berbinar. Ia mendongak, menatap sosok yang lebih tinggi dari dirinya.

"Ya, benar." Simon membenarkan, sedikit kesal karena tangannya di tepis kasar oleh Theodore.

"Manis sekali anak ini. Jadi anak papa aja ya?" Handry merangkul Sylvester, mengusak pucuk surai anak itu. Eleander dan Theodore menatap sengit.

Sylvester menggeleng, ia tersenyum kecil. "Syl sudah jadi anak ayah Dami."

Tepat setelah kata itu keluar, Damien tiba-tiba muncul bersama Marcellus dan Ferlando juga Miguel. Pria itu tersenyum lebar mendengar kata si putra bungsu.

"Sini anak ayah."

Sylvester menurut kata Damien, ia mendekat ke Damien yang baru tiba. Damien mengusak pelan pucuk surai nya.

"Kurang satu lagi...." Theodore bergumam. Oh, baru di bicarakan sudah muncul orangnya. Itu Danielo sedang melangkah ke arah sini.

"Yah."

Damien mengangkat alis, raut wajah putra pertamanya terlihat buruk. Danielo mendekat ke arahnya, ia membisikkan sesuatu. Damien mengerti. Ia mengkode Theodore dan pria lainnya.

"Yasudah, Syl, ayah dan Daddy harus pergi dulu." Damien memegang kedua bahu Sylvester. Sylvester bingung, tapi tak ayal dirinya mengangguk.

Theodore, Damien, Simon, juga Handry melangkah pergi. Tapi sebelum itu Handry melambaikan tangan ke Sylvester terlebih dahulu dengan wajah menyebalkan.

Eleander mendengus kasar, ia menarik pelan sang adik untuk di bawa pergi.

✿✿✿Bersambung...

I badmood (⁠ノ⁠ಠ⁠益⁠ಠ⁠)⁠ノ⁠彡⁠┻⁠━⁠┻

Sylvester [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang