-*.✧41✧.*-

3.4K 387 8
                                    

"Bawa aku sekarang wahai kau kematian!"

---🌹🌹🌹---

Isaac dengan senyum santainya menangkupkan kedua telapak tangannya di atas meja makan, menghiraukan berbagai tatapan yang seakan ingin melubangi kepalanya dengan luncuran peluru.

"Ck!" Damien berdecak. Kenapa pula setan itu ikut makan di sini coba?

"Apa paman sudah miskin? Hingga menumpang makan di sini," celetuk sinis Eleander mewakili Miguel. Isaac tidak melunturkan senyumnya, ia menatap Eleander.

"Apa? Miskin? Hah! Jangan bercanda!"

Luntur sudah senyum tadi, tergantikan oleh seringaian licik di lengkapi dengan tatapan kelam. Danielo menatap datar.

'Apa-apaan dengan ekspresi itu? Menyebalkan.'

Danielo menumpukkan dagunya, dirinya lebih memilih untuk menyuapi Sylvester dengan sereal kesukaan sang adik. Daripada memerhatikan orang tidak waras yang menumpang makan di sini.

"Em, kak," Sylvester mendongak, "Makan sendiri ya...?"

Danielo merenggut. Dirinya terpaksa membiarkan sang adik makan sendiri jika di beri tatapan memelas layaknya tadi. Cih, hatinya tidak kuat.

"Sudahlah abaikan makhluk itu dan makan makanan kalian."

Semua mematuhi titah dari Fransisco dari pada peduli pada satu makhluk yang sedang senyam-senyum tidak jelas bagaikan hantu duduk di bangku seberang Sylvester.

.*✧—Sylvester—✧*.

Sylvester sedang berada di ruang santai. Ia dengan tenang dan asik mencorat-coret kertas putih layaknya seni abstrak, dirinya baru belajar seni tersebut tadi malam.

"Cantik," celetuk Isaac, "Gambar yang cantik dan penuh makna."

"Syl baru mempelajari seni ini semalam paman," sahut Sylvester menyangkal pujian dari pria yang dirinya ketahui sebagai salah seorang dari empat marga besar yaitu Ephraim, singkatnya dirinya tahu kalau Isaac adalah ayah dari Pearl.

'Meong

Mare melompat ke atas meja, merebahkan diri di sebelah kertas gambar Sylvester. Sylvester sendiri hanya mengelus singkat lalu melanjutkan gambarnya.

'Oh...?'

"Kucing ini...."

"Kucing yang di berikan oleh kak Pearl saat Syl pertama kali bertemu dengan kak En dan kak Pearl," jelas Sylvester setelah melihat raut bingung yang di tutupi wajah datar Isaac.

"Ah, pantas saja paman tidak pernah melihat lagi kucing tidak tahu diri ini." Pantas saja, kala dirinya sampai di mansion Isaac tidak lagi menemukan Mare yang selalu mengacau di penjuru mansion. Ternyata sudah ganti pemilik toh.

"Jangan menyebutnya kucing tidak tahu diri paman. Namanya Mare, Mare." Sylvester mengangkat Mare dan di tunjukan kepada Isaac.

"Iya-iya Mare, paman akan memanggilnya Mare."

Setelahnya Sylvester meletakkan Mare dan melanjutkan lagi gambarnya yang sempat tertunda.

Isaac menumpukan dagunya. Kaki panjangnya pun ia tumpukkan dengan kaki kanan di atas kaki kiri, netranya menatap minat anak bersurai perak serta ber netra biru es di depannya ini. Ekspresinya sangat menghibur. Apalagi saat air muka keseriusan yang jatuhnya malah kelucuan.

'Lucunya....'

Tangan kanannya tiba-tiba terangkat guna mengelus surai lembut itu, tapi langsung di tepis kasar oleh Margareta yang baru datang. Terlihat coklat hangat ada di tangan kanannya.

"Jauhkan tangan kotor mu dari rambut cucuku," titah garang Margareta. Walau begitu air mukanya datar dan dingin menatap eksistensi Isaac yang seolah bagaikan kuman kotor.

Margareta kesal, padahal baru di tinggal sebentar tapi si Isaac malah ingin menyentuh cucu bungsunya. Untung dirinya cepat datang tadi.

Isaac mengalah, dirinya mengangkat kedua tangan sebagai kode dirinya menyerah pada Margareta. Margareta mendengus kasar lalu duduk di sofa samping kiri Sylvester. Ia menyerahkan coklat hangat untuk sang cucu bungsu.

"Oh! Coklat, makasih grandma." Sylvester menyeruput coklat itu setelah tersenyum lebar. Sudah hangat, sang pas untuk membangkitkan mood.

Margareta menggeleng, "Apapun grandma lakukan untuk cucu bungsu grandma ini."

'Termasuk membunuh seluruh nyawa manusia di muka bumi ini pun akan grandma lakukan.'

Margareta tersenyum tipis seraya mengelusi pipi sang cucu. Terkadang memberi instruksi kala Sylvester bertanya sesuatu. Isaac menatap nyalang, dirinya tahu isi batin wanita tua itu.

'Astaga, dasar nenek gila.'

Mengatai Margareta gila, sama saja mengatai dirimu sendiri gila dasar kau Isaac. Isaac bangkit, ia hendak memakai mantel miliknya.

"Yasudah, karna diriku ini sibuk, aku akan pergi terlebih dahulu," pamitnya seraya memasangkan mantel pada tubuh besarnya.

"Memangnya ada yang menyuruhmu untuk tetap tinggal di sini?" Tanya Margareta sinis.

"Ck," decak Isaac. Ia perlahan menjauh. Sebelumnya ia melambaikan tangan terlebih dahulu pada Sylvester dan di balas oleh Sylvester.

"Syl, kau tidak boleh mengurusi orang aneh seperti dia ya?" Margareta menunjuk punggung Isaac yang mulai menjauh. Sylvester mengangkat alis, tapi tak ayal dirinya mengangguk.

✿✿✿Bersambung....

Aku dah mayan, makasih atas komen kalian ya (⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Sylvester [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang