~ Selamat Membaca ~
Terlahir dari keluarga menengah ke bawah sebenarnya bukan keinginan Livia. Hanya saja mau bagaimanapun itu Livia mesti bersyukur sebab sudah diberikan kesempatan dengan otaknya yang encer, sehingga dia bisa masuk ke sekolah SMA ternama di Jakarta tentu melalui jalur beasiswa.
Pagi ini Livia—-Livia Pramudita sengaja datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Sebenarnya tidak alasan yang bagus selain dia ke sekolah untuk menumpang tidur sebentar sebelum nantinya harus dihadapkan dengan mata pelajaran.
Di rumah bukan Livia tidak tidur. Tidur, memang. Hanya saja bisa dibilang kalau dia di rumah itu tidurnya tidak lebih dari tiga jam. Selebihnya?
Ya tahu sendiri, lah. Sepulang sekolah Livia harus membantu sang mama untuk mengantarkan catering pesanan ibu-ibu komplek dan tak jarang dia mengantarkan ke kantor. Setelahnya, Livia mesti belajar sisanya dia ngebut melanjutkan pekerjaan sampingannya sebagai penulis novel diam-diam.
Iya yakin kalau sampai sang mama tahu tentu wanita itu tidak akan mengizinkannya. Pastinya. Tapi entahlah kalau dia tahu tentang Livia yang pernah memiliki gaji lebih dari gaji PNS bahkan dengan sebulan.
Wah, bahaya yang ada.
“Lah. Tuh cewek ngapain sepagi ini dah di kelas?”
Aksa Damian Axelle—-putra sulung dari keluarga Damian—-pemuda tampan berdarah Amerika yang kebetulan pagi itu Aksa ke sekolah pagi sekali. Aksa ke sekolah ada alasan, di mana dia mesti menjalankan tugasnya menyapu kelas dan membersihkan papan tulis.
Namun, langkahnya mesti terhenti sebab baru saja dia menginjakkan kaki di kelasnya. Begitu dia melihat ke arah belakang pojok samping kanan. Dia menemukan Livia tengah tertidur, lelap sekali.
Aksa masih ingat jika gadis itu yang kemarin datang ke rumahnya, tapi tiba-tiba saja pingsan sebelum Aksa bertanya lebih lanjut.
“Kak Aksa! Anjir pisan aaarghhhhh, punya abang nyebelin banget sumpah demi manusia sebumi, rambut gue yang udah sejam dicatok jadi ngembang gara-gara naik ojol, sialan lo!” teriak seorang gadis kecil yang muncul dari arah pintu.
Aksa menutup kupingnya. Sungguh, dia tak tahan dengan suara cempreng yang dihasilkan si bocah.
“Diem nggak lo, berisik!”
“Serah gu … eh Kakak cantik lagi ngapain tuh?” tanya si bocah.
“Buta mata lo apa gimana, sih? Tuh anak lagi molor, kenapa? Jangan bilang lo mau gangg—”
Belum sempat Aksa menyelesaikan kalimatnya. Si bocah malah langsung lari menuju ke bangku belakang bertemu dengan teman kakaknya. Iya, bocah itu adik sekaligus junior Aksa yang usianya beda satu tahun.
Bocah cempreng itu pun mengguncang tubuh Livia cukup keras sampai-sampai tidur Livia terlihat gelisah dan si bocah mendengar gurauan pelan yang berasal darinya.
“Ma! Udah cukup, Ma. Livia capek, Livia pengen istirahat, Ma.”
Panik. Sebab mendapatkan respon seperti itu si bocah lantas memanggil sang kakak, kemudian mereka duduk di samping Livia yang masih asyik dalam mimpinya, walau Aksa dan si bocah cempreng tak bisa menampik jika raut wajah Livia semakin terlihat gelisah bahkan sekarang sampai berkeringat seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅
Teen FictionTernyata tanpa diduga keegoisan Naomi selama ini sebagai sosok mamanya mengantarkan putri kandungnya yang malang menuju ke jurang kematian. Setiap hari bahkan setiap detik hidup Livia tidak lepas dari bayang-bayang Naomi, Livia sendiri sudah muak da...