Part 23. || Senyum Bahagia Aksa

5 1 0
                                    


                  ~ Selamat Membaca ~


“Cieee yang udah dapet kabar dari ayang mah beda, nih, ye. Senyum mulu, nggak kebas itu mulut?” Davina menyengir sendiri dan dia langsung pergi ngacir takut di sembur oleh sang kakak.

“Dek! Awas kamu, ya!” seru Aksa.

Hari sudah mulai larut malam. Selepas menjalankan ibadah salat isya, Aksa turun dari kamarnya menuju lantai dasar untuk menyantap hidangan yang telah disediakan oleh pelayan untuk makan malam kali ini. 

Bak kejatuhan durian runtuh. Sepertinya Aksa tak jua berhenti untuk tidak menebar senyum kebahagiaan kepada siapa saja yang melewatinya sampai membuat mama dan papa saling pandang dan keduanya sama-sama menggeleng. Bahkan mereka melihat putra mereka begitu lahap makan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

“Ma!” panggil sang suami lirih.

“Pa!” 

Takjub sekaligus tak menyangka seorang Aksa Damian yang sebelumnya tak pernah menyantap makanan menggunakan tangan, kali ini dia melakukannya.

“Nggak pake sendok, Boy?” tanya sang papa.

Aksa mendongak menatap raut wajah papanya. Walau sudah keriput tapi di mata putranya laki-laki paruh baya itu tetaplah tampan, sama halnya seperti dirinya. 

“Makan pake tangan itu lebih enak loh, Pa, Ma. Dan sunahnya pake tiga jari, coba kalian lakuin. Beuh makin mantep deh pokoknya,” sahut Aksa sambil melahap kembali makanan yang tersisa.

“Wah-wah. Anak Mama udah mulai tahu, ya, sunah nabi. Siapa yang ngajarin sih? Kek nya akhir-akhir ini juga mama sama papa nggak pernah lagi denger kamu tawuran, pulang babak belur. Udah kek berubah 180° kelihatannya, mama penasaran sama orang yang udah bikin anak mama hebat begini,” ungkap mama Aksa sejujur-jujurnya, ya siapa yang tidak bahagia dengan perubahan putranya.

“Ya siapa lagi kalau bukan Kakak cantik, Ma, Pa. Apalagi tadi dia abis video call-an lewat hp-nya Chessen. Duh, jadi nggak sabar nih pengen lihat kalian ketemu. Kak Liv pasti pangling deh sama kakak,” sahut Davina yang baru saja turun dan duduk di samping sang kakak.

“Papa harap semoga kebahagiaan akan terus menyertai kalian, ya. Livia juga, semoga anak itu sembuh dan kembali sama kita,” tambah sang papa.

“Aaamin.” 

Selepas makan malam selesai Aksa langsung kembali ke kamarnya. Lain halnya dengan Davina yang ikut serta duduk bersama sang mama di ruang keluarga. Kalau papa mereka sudah pasti malam ini ada di ruang kerja dan tengah menyelesaikan pekerjaannya sebab besok laki-laki paruh baya itu akan ke suatu tempat bersama sang istri tanpa sepengetahuan anak-anaknya.

Davina merebut makanan yang hendak di makan mamanya. Gadis mungil itu cengengesan aja tanpa mau meminta maaf dan menyandarkan kepalanya di bahu sang mama.

“Ma!” panggil Davina lembut.

“Iya, Sayang. Kenapa? Ada apa nih anak mama kayaknya ada yang mau disampein, ya?” tanya wanita itu penasaran.

“Hehehehe. Iya, Ma.” 

“Coba katakan apa yang mau bungsunya mama sampein, hem?” Wanita itu menangkup pipi putrinya.

Davina melepaskan genggaman tangan sang mama dan dia memeluk wanita itu penuh sayang. “Dari apa yang terjadi pada Kak Liv, aku bersyukur setidaknya aku bisa terlahir dari rahim mama yang tidak pernah memiliki atau melakukan hal jahat bahkan membentak anak-anak mama. Ma! Terima kasih, ya, karena udah lahirin Davina kedunia ini. Mama sama papa juga sayang sama kami tanpa mau melihat mereka laki-laki atau perempuan.”

“Duh. Kok pelukannya nggak ngajak-ngajak papa sih? Papa juga pengen ikutan dong,” katanya sambil sedikit berlari memeluk putri kecil dan istrinya. “Sayang kalian banyak-banyak, ya.” 

“Papa kerjanya udahan?” tanya sang istri.

“Tentu. Papa udah janji sama kamu, Ma, besok nemenin kamu ke manapun.” 

Davina yang tak paham akan mereka pun, tiba-tiba dia merasa seperti menjadi seorang nyamuk di antara pasangan lanjut usia itu yang sepertinya tengah menebar bumbu-bumbu keromantisan.

“Kalian mau ke mana, sih, kok nggak ngajak aku sama kakak?” Davina menaruh curiga pada keduanya.

“Bocil dilarang ikut!” seru papanya sambil memeletkan lidahnya, bersembunyi di belakang tubuh sang istri.

Davina berdecak sebal. 

Sementara sang kakak, di atas sana masih asyik bertukar pesan sambil sesekali merajuk ingin ditelepon. Alasannya kangen, katanya. Hum, tapi raut kebahagiaan yang terpancar di wajah Aksa sejak sore tadi itu semakin bertambah cerah ceria bak cahaya mentari yang telah bersinar kala pagi tiba.

Saat dering telepon berbunyi nyaring dan di sana tertulis, ‘My Princess is calling.’ Buru-buru Aksa mengangkat teleponnya.

“Halo, Yang? Kamu belum tidur? Tadi katanya nyuruh aku tidur?” 

Aksa melontarkan bermacam pertanyaan membuat seseorang di sana terkekeh pelan. Dia—-gadis di balik sambungan video call itu pun melepaskan oksigen yang menutup hidungnya.

“Aku mau nemenin seseorang dulu yang kayaknya dari tadi ngerajuk pengen denger suara aku katanya,” ucap gadis itu dengan senyum manisnya.

“Yang. Kalau kamu nggak bisa mah ya udah jangan, mending sekarang tidur aja. Istirahat, ya! Aku juga nanti mau solat tahajud, doain kamu supaya cepet sembuh. Hem?”

“Masya Allah. Makasih, ya, Sa. Kamu selalu ada buat aku dan bantu aku di saat aku susah.”

“Sssstt. Udah. Ini sudah tugas aku sebagai pacar kamu, Yang! Pokoknya kamu di sana harus nurut sama apa kata dokter, ya. Kalau suruh minum obat, obatnya diminum jan—-”

“Kalau obat dari segala penyakit aku itu kamu, gimana?” 

Blush …

Aksa yang terus mengoceh mendadak jadi bungkam dan dia memalingkan pandangannya ke arah lain. Terdengar suara cekikikan di seberang sana menjadikan Aksa menoleh dan dia kembali menatap wajah pucat sang kekasih yang tengah tersenyum.

“Kalau dengan kamu gombal sama aku itu bisa buat kamu senyum begini aku rela. Tiap hari aku rela, Yang, panas dingin salah tingkah. Asal kamu harus senyum, bahagia selalu, ya! Cepat pulang, jangan terlalu lama di rumah sakit aku kangen sama kamu.”

“Makasih Aksa-nya Livia. Aku izin tutup dulu, ya, besok-besok kalau aku mendingan aku hubungi kamu lagi.”

“Iya, Sayang. Cepat sembuh, ya! Aku menunggu kamu di sini sama mama papa.”

Sambungan telepon pun terputus. Sebelum Aksa benar-benar merebahkan dirinya di atas ranjang sejenak dia menengadah menatap ke atas langit di sana yang terlihat sinar bintang serta bulan menerangi gelapnya malam kali ini. Hati Aksa berharap semoga akan ada kebahagiaan menyertai siapapun termasuk keluarganya dan sang kekasih dan dijauhkan dari segala hal yang membuat siapa pun nantinya celaka.

Sedikit lebihnya Aksa sudah mulai merelakan dan ikhlas atas segala ujian yang datang menghampiri dia dan teman juga keluarganya. Bagaimanapun itu, sudah menjadi rencana Allah yang perlu kita syukuri dan ambil hikmah dari segala sesuatu yang telah terjadi. 

Good night, Princess. Get well son, Livia Pramudita Wiliam. Nanti setelah kamu kembali, aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.” 

~ Bersambung ~

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang