Part 24. || Di Balik Kata Manis Naomi

17 1 0
                                    

~ Selamat Membaca ~

Kayaknya aku harus masuk ke dalam rumah ini dan demi melancarkan aksiku, aku akan mencari muka pada anaknya. Aku harus bisa menikahi laki-laki itu dan mendapatkan keturunan laki-laki. Setelahnya barulah aku bisa menyingkirkan gadis lemah itu.’ 


Naomi Odelia Pramudita   - 

—————

Acara makan malam keluarga Vania dilaksanakan di luar dan tentu dengan kehadiran Naomi di sana. Separuh dari keinginan wanita itu sebentar lagi akan segera terwujud, tetapi masih saja ada yang mengganjal dalam hatinya. Apa pun itu jelas Naomi tidak tahu, teringat akan sebuah karma yang pastinya akan berlaku dan tidak mengenal siapa mereka dari mana mereka berasal atau keturunan mereka.

Ah, sudahlah. Lupakan sejenak tentang karma, bodo amat dengan satu kata yang mengganggu pikirannya sejak tadi. 

“Nyonya Naomi, silakan Anda mau memesan apa?” tanya Papa Vania.

“Ah, terserah Anda saja, Tuan. Saya ikut saja,” jawab Naomi sok iya.

“Tante jangan bilang Tuan, dong, kenapa nggak bilang Mas aja atau ada panggilan spesial gitu? Kan, sebentar lagi Tante bakal jadi mama Vania. Iya, kan?” 

Naomi tidak tahan sejujurnya dengan kepura-puraan ini. Namun, bagi Naomi jika sesuatu telah terjadi. Maka tidak akan bisa untuk Naomi menarik kembali apa yang telah dia lakukan. Dia tidak peduli tentang bagaimana orang yang telah dia rugikan, atau dampak pada mereka atas perbuatannya tersebut.

Wanita itu masih memasang raut wajah kebahagiaan, lalu mengusap puncak kepala Vania dan mengecup kening gadis itu.

“Tante tahu nggak? Tadi tuh sebenarnya Livia kasih kabar ke Aksa, temen aku. Terus katanya dia sudah baikan. Mungkin beberapa minggu lagi akan pulang dan mereka romantis banget tahu. Semoga aja kalian berdua bisa seromantis kayak Livia sama Aksa, ya? Vania seneng deh sebentar lagi keluarga kita bakalan lengkap,” tutur Vania panjang lebar.

Ada yang senang dengan kabar Livia akan sembuh, pun banyak pula yang tidak. Tidak tahu mengapa padahal selama hidupnya Livia sama sekali tidak pernah mengusik siapa pun, termasuk ibunya sendiri.

Tidak mudah menenggelamkan seekor singa betina sepertinya. Aku harus hati-hati,’ batin Naomi.

Sementara itu sisi lain, Elena yang tengah berkumpul di rumah Lea pun merasakan sesuatu yang tidak enak. Seperti ada yang mengganjal di hatinya, berulang kali sekembalinya dari toilet lalu masuk lagi dan terulang sampai lima kali barulah Lea tersadar akan sahabatnya. Lea bangkit dan mendekati Elena yang sedang termenung di kursi menghadap ke arah meja rias.

Lea menepuk pundak sahabatnya. Lalu, sebisa mungkin menyalurkan energi positif agar setidaknya Elena bisa merasakan lega walau hanya sejenak.

“Coba cerita deh, El. Apa yang bikin lo begini? Kali aja gue bisa bantu,” ujar Lea memecah keheningan.

Malam ini Elena menginap di rumah Lea sebab keluarga Lea sedang bertugas beberapa hari ke luar kota. Jarum jam masih menunjukkan ke angka delapan kurang sepuluh menit. Elena balik menghadap Lea yang masih berdiri dan dia mendongak.

“Gue … gue ngerasain sesuatu yang nggak enak ini, gue ngerasa kalau Vania lagi nggak baik-baik aja dan dia butuh bantuan kita. Gimana ini, Lea?” 

Lea mengusap setetes bulir bening yang membasahi pelupuk mata Elena. Memang dari tiga sahabat itu hanya Elena yang paling peka dan selalu dapat merasakan sesuatu tidak enak saat masalah datang menghampiri sahabat-sahabatnya.

“Lo tahu, kan, kalau Vania itu masih polos walaupun usianya bisa dibilang sama kayak kita. Gue … cuma takut keluarga bahagia yang sedari dulu dia bangun bersama papanya itu hancur karena seorang wanita,” tutur Elena menjelaskan segala keresahannya.

Kok aneh, ya. Kenapa Elena bisa sampai kepikiran ke arah sana coba?’ pikir Lea dalam hati. 

Bersamaan dengan itu suara dering ponsel salah satu keduanya mengagetkan keduanya. Cepat-cepat Lea beranjak dan meraih ponselnya tersebut. 

Begitu melihat siapa yang menghubungi, ternyata dugaan Lea salah bunyi dering ponsel itu bukan semata-mata ada panggilan telepon maupun Video call, namun melainkan pesan dari kekasih barunya yang mana cowok tampan itu mengirimkan pesan dan dua gambar yang merupakan hasil tangkapan layarnya.

Sejenak Lea termenung. Rasanya seluruh tubuh Lea terasa melemas dan dia tidak menyangka kalau firaasat buruk yang terucap dari mulut Elena telah terbukti dengan adanya tangkapan layar yang dikirim Zegan.

“Ada apa sih, Le? Kok bengong git … astagfirullah.” 

Elena merebut ponsel Lea dan dia me-zoom gambar yang ada di room chat tersebut. “Tuh, kan, apa yang gue bilang. Gimana ini, Le?” 

“Tenang aja. Bukannya kata Vania Tante Naomi sudah berubah, ya? Nggak mungkin lah kalau Tante Naomi tega nyakitin Vania sama Om kek gitu buat apa coba,” ucap Lea, berharap Elena bisa tenang atas ucapannya.

“Dengar, ya, Lea. Manusia jahanam seperti Tante Naomi tidak akan pernah jera atau taubat sekali pun, selama dia belum mendapatkan karmanya. Nggak, gue nggak setuju kalau Papa Vania jalin hubungan sama manusia ular,” protes Elena.

Sejujurnya Lea juga masih ada sedikit keraguan. Namun, dia tidak tahu tapi hati dan pikirannya mengatakan kalau dia mesti meminta bantuan pada Zegan dan teman-temannya. 

Tanpa mereka sadari jauh diseberang sana Naomi sudah mampu menjalankan rencananya hampir 35%. Selangkah lagi untuk wanita itu bisa membuat laki-laki kaya seperti Papa Vania jatuh cinta terhadapnya, tentu dengan memasang wajah polosnya tersebut.

“Mas Hendra. Boleh minta tolong tidak, ya?” tanya Naomi, sesaat setelah dia keluar dari toilet dan mereka malam ini masih berada di restoran tadi, sengaja untuk dinner demi mempererat hubungan mereka, katanya.

Hendra—-Papa Vania yang kebetulan tidak sengaja lewat ke arah toilet perempuan pun, di mana tujuan dia ialah toilet laki-laki yang letaknya berada di ujung setelah toilet tersebut, terpaksa menepi lebih dahulu. 

“Mas bantu saya sebentar, ya. Sini,” ajak Naomi sembari menarik lengan Hendra untuk memasuki sebuah bilik perempuan.

Belum selesai sampai disitu, saat pintu masuk telah ditutup Naomi baru saja akan melancarkan aksinya. Tiba-tiba bilik toilet tersebut digedor berkali-kali sampai Naomi perlahan-lahan mengerang dan frustasi sendiri.

“Biar saya cek dulu,” katanya.

“Mas jangan!” cegah Naomi.

“Sebentar saja.” 

Hendra membuka bilik tersebut dan menyembulkan kepalanya melihat sekeliling tempat. Tidak ada siapapun di sisi kanan maupun kiri, Hendra yang merasa tak enak pun harus berada satu toilet dengan Naomi yang jelas bukan siapa-siapa lantas keluar dari sana dan beberapa menit setelahnya dia tak sadarkan diri setelah mendapat serangan dari arah belakang.

Naomi pun keluar dari sana dan dia tidak menemukan siapa pun. Naomi mencari-cari keberadaan Hendra. Begitupun dengan Vania. Anak dan bapak itu seakan hilang dari pandangannya.

Sejatinya sesuatu yang dimulai dengan tidak baik, tentu akan berakhir dengan tidak baik pula.

~ Bersambung ~

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang