Part 12. || Panggil Aku Papi, Nak!

6 4 0
                                    

Halo semuanya ...
Jumpa lagi sama aku, ya. Hehehe. Eh, Astri. Salam kenal semuanya. 😊 sebelum baca alangkah baiknya nanti sambil vote dan spam komen, ya. Biar semangat hehehe. Biar aku semakin semangat dan supaya tahu menurut kalian cerita ini gimana, sih?

Bismillah

                ~ Selamat Membaca ~

“Ya … siapa juga yang nggak seneng punya kakak sepinter Kak Livia coba? Beuh, kalau kita bukan adek kakak asli, terus cowok seumuran dia. Udah pasti aku gebet, Pi, Mi,” kata Chessen menjawab pertanyaan kedua orang tuanya, tapi malah mendapatkan toyoran dari Aksa.

“Cewek gue anjir. Lo bilang sekali lagi gue suruh Davina putusin lo, tahu rasa!” ancam Aksa. 

“Yeee. Kakak ipar kok begitu,” sungut Chessen.

Tawa pun seketika mengisi keheningan ruang keluarga dan mampu membuat suasana yang menegangkan menjadi sedikit melegakan. Papi dan maminya Chessen—-dr. Viola berpikir kalau Chessen—-putranya akan menolak kehadiran Livia di tengah-tengah keluarga kecilnya itu, tapi nyatanya sang putra menyetujui bahkan terlihat sangat antusias sekali.

Jarum jam terus berputar malam semakin larut papi Chessen—-Tuan William—-menyarankan agar Aksa maupun teman-teman Aksa lebih baik untuk pulang biarlah esok mereka ke sini lagi untuk bertemu dengan Livia. Sayang, Aksa menolak dan ingin menjaga Livia. 

“Nak Aksa bisa ke sini lagi besok,” kata dr. Viola. 

“Ta-tapi—-” 

“Udah, Bos. Kita percayakan aja sama Chessen, gue yakin dia bisa jaga Bu Bos kok. Lagian lo nggak perlu khawatir lagi kan mereka ada di rumah orang tuanya juga,” potong Zegan.

Masih tidak rela, tapi nyatanya mau tak mau Aksa pun mengikuti saran mereka. Namun sebelum benar-benar pergi untuk kali ini, Aksa meminta izin pada Tuan William dan dr. Viola menjenguk Livia sekali lagi. 

“Ciah. Si Bos bucin bener sama Bu Bos,” celetuk Fares.

“Lo juga sama anjer.” Aksa memutar bola matanya malas. 

“Sudah-sudah. Nak Aksa silakan,” kata dr. Viola. 

***

Saat menginjakkan kaki di dalam ruangan besar dengan ranjang di sudut dekat jendela. Hati Aksa terasa bagai ditusuk ribuan belati ketika melihat gadis tersayangnya harus terbaring dalam kondisi seperti ini. Perih, namun Aksa tetap menguatkan dirinya agar tak terlihat menyedihkan kala menghadap sang kekasih.

Aksa duduk di tepi ranjang, mengusap lembut pipi yang masih membiru. Tanpa sadar usapan lembut dan kecupan hangat di kening sang kekasih membangunkan. 

“Aksa,” lirih gadis itu. “Kamu di sini? Ini kamu beneran, kan, aku nggak lagi mimpi?” 

Aksa mengusap lembut pipi kanan Livia penuh sayang. “Hei, Sayang. Iya, ini aku. Aksa Damian, pacar kamu. Kamu nggak lagi bermimpi kok, tenang aja kamu sudah ada di tempat yang aman, ya.” 

“Aku takut. A-aku takut kalau nanti Mama nemuin aku dan dia … dia ….” 

Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Aksa langsung mendekap Livia. Aksa sama sekali tidak mengizinkan siapapun lagi menyakiti kekasihnya. Pertama kali dalam hidupnya Aksa bisa sebucin ini dan peduli terhadap orang lain, namun sampai kapanpun dia akan tetap seperti itu. Semua karena Livia.

“Kamu jangan takut, ya! Ada aku, ada Chessen—adik kamu dan Papi William—Papi kamu. Sudah, jangan terlalu sedih, oke.” 

“Ta-tapi A-Aksa?” 

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang