Bismillah, ~ Selamat Membaca ~
Kebiasaan orang ketika ditinggal orang terkasihnya mereka akan melakukan suatu hal yang mungkin saja bisa membuat diri mereka sendiri. Akan tetapi, ketika melihat seorang Aksa semakin lama cowok tampan itu semakin rajin.
Rajin?
“Shodaqollohuladzim,” ucap Aksa selepas dia membaca ayar suci Al-Quran sore itu.
Sejak membawa Livia ke rumah sakit bahkan sampai Aksa pulang ke rumah dan hampir seminggu dia menjalani hari-harinya tanpa sang kekasih. Aksa pun semakin menyembunyikan dirinya dari teman-teman sepergaulannya sendiri. Tidak tahu untuk apa. Namun, masalahnya sampai sekarang Aksa menanti kabar sang kekasih.
Jelasnya pada saat waktu itu di rumah sakit. Aksa tidak diperbolehkan untuk menjenguk sang kekasih walau hanya sekalipun atau bahkan satu detik saja.
Salahkah bila dia merindukan sosok Livia sekarang?
‘Sa! Sama adik sendiri nggak boleh kasar gitu loh, kasihan Davina tahu. Dia juga punya perasaan,’ kata Livia waktu itu.
‘Sa! Aku boleh saranin kamu sesuatu nggak? Tapi, kalau kamu tidak mau melakukannya nggak apa-apa, nanti aja saat kamu siap dan sanggup. Gimana?’
Livia melukiskan senyum terindahnya saat setelah dia melihat Aksa sedang akan balapan motor. Tepatnya saat sebelum Aksa mengenal dekat dengan Livia. Sehingga, saat itu Aksa pun mendekat dan bertanya apa yang dilakukan Livia di jalanan ramai banyak geng motor begitu.
Sayangnya saat itu Aksa malah dihadiahi pertanyaan balik, meski setelahnya Aksa memang mendapatkan jawaban kalau Livia saat itu tak sengaja lewat sehabis mengantar pesanan catering.
‘Mau nyaranin apa?’ tanya Aksa.
‘Aku hanya menginginkan kamu untuk tidak mengikuti ajakan mereka balapan liar seperti itu, dan alangkah baiknya waktu yang kamu punya diisi dengan sesuatu yang bermanfaat. Kek misal ngaji, atau ikut bantu-bantu orang atau bisa cari sesuatu yang nantinya tidak merugikan kamu. Bisa?
Hem, kalau nggak, nggak apa-apa. Tapi … raba hati kamu, Sa, apa yang kamu dapatkan setelah balapan motor atau lakuin sesuatu yang tidak penting seperti itu? Oke, aku pamit. Mama aku pasti nunggu kepulangan aku, eh … iya nunggu aku pulang, pulang … sama pemilik bumi ini,’ celetuk gadis berpipi tembam itu.
Semakin mengingat kenangan di kala pertama kali bertemu dengan gadis malang yang memiliki kapasitas otak di luar BMKG, baik, mempunyai tutur kata lembut dan suka menolong tak lantas membuat hati Aksa semakin sakit mengingatnya.
Aksa rindu Livia. Apakah Aksa akan terus menyendiri seperti ini tanpa kehadiran seseorang di dekatnya?
“Yang! Gimana sama kondisi kamu sekarang, hem? Separah itukah sampai dr. Viola tidak memberanikan seseorang untuk masuk? Kamu kritis, Yang?” tanya Aksa di sela-sela kegiatannya membaca sebuah novel sejarah Islam. “Yang! Lihat deh, perlahan tapi pasti aku mulai melakukan sesuatu yang positif. Kamu bener, jika kita dekat dengan sang pencipta sedang apapun kita pasti hati kita akan tenang, sejuk, karena Sang Pencipta kita baik, lindungi kita. Iya, kan? Semoga Allah melindungi kamu, ya.”
Tanpa Aksa sadari dari Arah belakang ada yang sedang memerhatikan isak tangisnya serta racauan tentang sang pacar.
Di sana—-di balik pintu, tiga orang dengan salah satu dari ketiga orang di sana merupakan seorang gadis yang berusia 16 tahun. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak menitikkan air matanya kala rasa rapuh menghampiri sosok si kecil Damian—-Aksa.
“Apa kita masuk aja, Ma, Pa?” tanya si gadis kecil.
“Tidak, Nak! Biarkan kakak kamu menyendiri dulu, ya, jangan diganggu.”
***
Mentari terbit dan cahaya terangnya telah menembus masuk melalui celah jendela di kamar seorang cowok tampan. Aksa. Cowok itu bangun dengan sendirinya sebab dia terganggu sekali oleh sinar yang datang dan membuat matanya menyipit.
Masih sama. Tidak ada yang berbeda. Begitulah hari-hari Aksa yang mesti dilalui tanpa kehadiran Livia di sisinya. Tidak tahu sampai kapan tapi Aksa berharap secepatnya akan mendapatkan kabar mengenai sang kekasih.
Lain halnya dengan Aksa yang melewati semua harinya dengan perasaan kosong dan tanpa arah.
Di sisi lain Azalea beserta satu temannya, Elena Grace menghentikan langkahnya pagi ini di kanti sekolah.
Ya Azalea mengajak Elena berangkat pagi saat ini, tidak tahu untuk apa tapi sebelumnya Azalea sempat mengajak Vania berangkat. Sayangnya nomor teman dia yang satu tidak aktif dan sulit sekali dihubungi.
Azalea duduk termangu menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong.
“Masih mikirin kesalahan lo sama Livia, Le?” tanya Elena.
Azalea tak menggubris, dia meneguk minumnya sampai tandas. “Gimana caranya agar gue bisa temui Livia dan minta maaf sama dia? Gue udah terlalu sering sakiti dia dan gue … gue mau terbebas dari rasa bersalah.”
“Setahu gue yang gue denger itu katanya pas setelah Livia dibawa ke rumah sakit, Aksa aja yang notabenenya sebagai pacar dia nggak diizinin masuk sama dokter. Apalagi lo kayaknya, atau lo nggak coba tanya sama nyokapnya?”
Azalea menggeleng. Teringat dalam pikirannya tentang pengakuan Naomi tempo lalu di mana wanita itu sangat menginginkan kematian untuk Livia. Azalea yang tidak mau bebannya ditanggung sendiri, Azalea menceritakan semuanya pada Elena tentang Naomi membuat gadis cantik berambut dark brown itu membelalakkan matanya.
“Astagfirullahalazim, allohuakbar. Gila. Bener-bener gila itu orang, masa ada yang tega sampai segitunya sama anak sendiri?” Elena mendadak merinding setelah mendengar cerita dari Azalea.
“Maka dari itu, gue mutusin pergi dari sana setelah gue pikir dengan ke sana Naomi bisa memaafkan gue atas kesalahan gue sama anaknya. Gue emang benci sama Livia, tapi nggak mungkin sama menginginkan Livia mati. Apa lagi … dia terlalu banyak menderita sejak kecil karena menjadi seorang anak yang tidak diinginkan.”
Tanpa sadar obrolan panjang mereka membuat bel masuk. Semua anak-anak yang ada disekitaran kantin sontak berhamburan menuju kelas masing-masing begitupun dengan Azalea dan Elena.
Azalea berjalan gontai seperti telah kehilangan sesuatu dalam hidupnya. Tidak tahu apa tapi yang jelas yang dirasakan Aksa sama halnya dengan perasaan Azalea.
Kelas tak terlalu riuh saat ini. Bahkan terasa hening karena pembuat onar alias seseorang yang selalu membuat seisi kelas riuh mendadak jadi bungkam. Iya, siapa lagi kalau bukan Aksa cs.
Tampaknya semua orang telah kehilangan sosok Livia. Sudah hampir seminggu tidak mendapat kabar bahkan kabar itu pula mereka sulit dapatkan.
“Anak-anak. Ibu mohon maaf sama kalian karena kemarin ketika kami, para guru hendak menjenguk siswa kami, Livia ke rumah sakit. Pihak rumah sakit mengatakan kalau Livia ternyata sudah dipindahkan sama orang tuanya ke luar negeri atas penyakit yang dideritanya. Ibu, minta kita berdoa untuk kesembuhan teman kalian, ya,” ungkap Bu Vivian selaku guru mata pelajaran Fisika.
Dalam benak Azalea. Gadis itu terasa sedikit lega walau sebenarnya sakit karena Livia akan separah itu. Sepertinya yang dirasakan Azalea sama halnya dengan Aksa, Aksa merasa sepulang sekolah dirinya harus bertemu dengan Chessen.
Aksa yakin kalau Chessen pasti tahu dan orang tua yang disebutkan Bu Vivian, gurunya itu pasti Kinan dan dr. Viola.
~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅
Teen FictionTernyata tanpa diduga keegoisan Naomi selama ini sebagai sosok mamanya mengantarkan putri kandungnya yang malang menuju ke jurang kematian. Setiap hari bahkan setiap detik hidup Livia tidak lepas dari bayang-bayang Naomi, Livia sendiri sudah muak da...