Part 06. || Kami Mendukungmu, Nak!

21 12 1
                                    

~ Selamat Membaca ~

Semalam saking lelahnya Aksa tidak jadi menemui mama dan papanya di ruang kerja. Aksa langsung tertidur selepas dia membersihkan diri, kemudian makan tidak lupa untuk dia menunaikan perintah Allah SWT. 

Walau terbilang Aksa terkenal merupakan cowok badung, suka seenaknya dan sulit didekati terkecuali dia sendiri yang sudah memulainya. Namun, Aksa tetaplah Aksa yang masih ingat akan perintah Allah SWT tentang salat lima waktu tentunya. 

***

Mentari baru saja menampakkan sinarnya di ufuk timur. Seorang remaja laki-laki terlihat telah bersiap dengan seragam kebesarannya—-seragam SMA—-terlihat masih baru dan sangat rapi bahkan remaja itu pun mengubah penampilannya tidak seperti biasanya. Ya, tentu tahu selama ini Aksa—-si remaja itu dulu selalu berpenampilan seadanya. 

Terkesan sangat pemalas sekali. 

“Lo … eh kamu tunggu di bawah aja, nanti aku nyusul!” titah Aksa pada gadis yang mulai detik ini statusnya telah berubah—-kekasih alias pacar.

“Jangan lama, ya! Aku malu,” sahut Livia sembari menunduk.

Tanpa sadar dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyuman. Aksa mengacak-ngacak rambut Livia sebelum dia pergi memasuki ruang kerja papanya yang berada di lantai yang sama. Sementara, Livia mulai menuruni satu demi satu anak tangga hingga tibalah gadis itu di meja makan.

Aksa membuka pintu ruang kerja papanya seraya mengucap salam. Di sana sudah terlihat jelas ada kedua orang tuanya. Tampak mereka seperti tengah menunggu kehadiran dirinya di sana. 

“Ma, Pa,” sapa Aksa.

Javier dan Iva kompak berbalik badan menatap putranya yang tengah berjalan ke arah mereka.

“Maaf, Ma, Pa. Semalam Aksa ngantuk, jadi langsung tidur abis solat.”

“Tumben. Biasanya kamu jarang solat,” goda Javier—sang papa—padahal sebenarnya Javier tahu dan diam-diam dia mengintip selalu aktivitas putranya yang sedikit berbeda, apalagi putri bungsunya. 

“Yeee. Pa! Apaan sih, Aksa rajin kali kalau urusan ibadah. Papa aja yang nggak pernah lihat anaknya,” jawab Aksa ketus, lalu dia duduk di kursi sembari mengangkat kakinya sebelah untuk bertumpu di kaki kirinya.

“Iya-iya, deh. Papa percaya kok sama kamu, hem … papa tahu nih penyebabnya. Karena gadis itu, kan? Papa denger ceritanya dari adik kamu,” kata Javier lagi. “Bahkan sekarang Davina makin semangat belajar, karena Kakak cantik katanya yang sekelas sama kamu.” 

“Mama waktu itu sempet di tolongin sama anak itu, Sa. Waktu inget nggak mama sempet nangis-nangis hampir kehilangan dompet mama?” tanya Iva pada putra dan suaminya.

Javier dan Aksa kompak mengangguk secara bersamaan. 

“Nah itu, tiba-tiba aja dia datang menenteng banyak sekali kantong keresek kayaknya seinget mama itu kek catering gitu. Dengan polosnya anak itu bilang, ‘Bang! Boleh kasih dompet itu nggak sama aku. Aku tuker aja sama makanan yang aku bawa. Lumayan loh makanan geratis, bisa buat di bawa ke rumah juga. Hem? Gimana?’ Terus abis itu si preman tukeran tuh.” 

“Waktu itu mama lupa nggak sempet kasih uang ganti, belum tahu juga namanya. Karena dia tiba-tiba pergi pas hidungnya mimisan,” lanjut Iva bercerita panjang lebar.

“Dah, kan, ceritanya? Sekarang izinkan anakmu ini yang bicara karena diriku cuma punya waktu tiga puluh menit. Mengerti?” 

Javier dan Iva menggeleng satu sama lain. Tertawa mendengar kelakuan random anaknya. 

Dan ya sekarang gantian Aksa yang bercerita panjang kali lebar kepada papa dan mamanya. Javier dan Iva sembari duduk berperan seolah mereka pendengar yang baik. 

Keluarga Damian sebenarnya tidak pernah menuntut anak-anaknya harus ini dan itu. Pun tidak pernah ikut campur akan urusan mereka seperti kebanyakan orang pada umumnya, hanya mereka akan datang ketika dibutuhkan dan memerhatikan dari jarak jauh tentang sesuatu yang menyangkut mereka. 

Semua diceritakan dari awal sampai akhir sampai pertemuan dia dengan Dokter Arjuna dan Dokter Viola—-Dokter yang menangani penyakit Livia sejak setahun yang lalu, hingga berujung pada kejadian semalam di mana Aksa menembak Livia untuk dia jadikan sebagai pacarnya pun turut Aksa ceritakan. 

Bagi Aksa hal sekecil apapun orang tua harus tahu. Apapun itu. Melarang atau menyetujui itu urusan nanti setelah mereka tahu maksud dan tujuan Aksa bertindak begitu.

“Boleh, kan, Pa, Ma?” tanya Aksa. “Kalian dukung aku apapun yang terjadi?” 

“Hem … aku mikirnya gini loh, Ma. Gimana kalau yang terjadi sama Livia kejadian juga sama yang lain? Aku juga nggak mau kalau ada Livia selanjutnya yang jadi korban keegoisan mamanya.” Aksa berharap apa yang dia lakukan tidak akan membuat mereka salah paham kepadanya. 

Javier dan Iva saling pandang, lalu pandangan mereka pun beralih pada putra sulungnya keluarga Damian.

“Papa seneng atas niat baik kamu, Sa. Papa harap ke depannya kamu akan jauh lebih baik dan lebih dewasa, tapi … papa juga nggak mau kalau kamu misal nyelesein masalah dengan cara kekerasan. Ya! Papa sama Mama dukung kamu, kok, apalagi kalau kamu mau nerusin perusahaan papa. Tentu sangat setuju, uang jajan kamu papa tambahin dua kali lipat kalau perlu?” 

Javier mengambil kesempatan saat Aksa menginginkan sesuatu darinya. Namun, bukan maksudnya Javier menyetujui usulan Aksa karena terpaksa dan ada syaratnya. Apa yang Javier lakukan memang tulus adanya, benar-benar menyetujuinya.

Cuma tidak salah, kan, kalau Javier ingin putranya mulai belajar bisnis sejak muda? Seiring berjalannya waktu tentu Javier tidak akan selamanya berada terus di perusahaan.

“Itu mah gampang, Pa. Aksa mau kok, cuma Aksa minta sebentar lagi, ya. Pas masuk kelas dua belas deh, baru kan tinggal beberapa bulan lagi. Sisanya Aksa belajar aja di rumah,” kata Aksa. 

“Oke. Papa setuju, mulai hari ini Papa naikkan uang jajan kamu. Ya udah gih, sarapan dulu.”

“Ngusir?”

 Aksa memutar bola matanya malas. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau seorang Javier suka mesra-mesraan di ruang kerja. Ah, ya. Jangankan di ruang kerja di tempat umum saja tampaknya papanya Aksa jabanin selama bersama Iva. 

Yah, keturunan Damian semuanya bucin akut.

Setelah keluar dari ruang kerja papanya, Aksa bergegas turun dari ke lantai satu untuk segera ke meja makan. Lupakan soal dia belum sarapan, Aksa ke meja makan mengajak Livia untuk berangkat mengingat waktu lima belas menit lagi dan pintu gerbang pasti akan ditutup.

“Sa!” panggil Livia dengan nada suara bergetar, saat keduanya sudah tiba di depan rumah.

“Ada apa?” 

Langkah mereka terhenti, Aksa melepaskan genggaman tangannya lalu meraih dagu kekasih barunya dan menyeka bulir bening yang menetes di kedua pipi gadisnya.

“Jangan menitikkan air mata hanya untuk seseorang yang tidak pernah peduli dengan kita, Yang!” 

“Hah? A-apa tadi katanya?” 

Aksa mengulum senyum, kemudian menangkup pipi bulat si kekasihnya sambil tidak lupa mendaratkan kecupan pagi alias morning kiss di kening Livia. 

“Sayang,” jawab Aksa santai. 

                      ~ Bersambung ~

Terima kasih telah membaca tulisan aku ini, ya. Jangan lupa buat baca, komen, Vote dan share-nya, oke?

Oh iya, satu lagi. Jangan lupa buat nabung juga, ya. Agar bisa ikut PO Novel Hidden Love.

Hari jumat.

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang