Part 04. || Bukan Berarti Aku Diam

23 16 0
                                    

                       ~ Selamat Membaca ~

“Da-darah, Liv. Hidung lo mimisan,” kata Aksa. 

“Ah, iya, Sa. Hem, tapi nggak apa-apa deh aku mesti anter makanan ini, aku pamit ya.” 

Aksa menahan tangan Livia agar gadis itu tidak pergi begitu saja. Raut wajah Aksa tampak sulit diartikan tatkala melihat kondisi Livia yang semakin hari semakin bertambah menyedihkan. Aksa yakin ada yang tidak beres dengan gadis itu di rumah. Aksa merogoh sakunya mencari benda pipih miliknya.

Setelah berhasil mendapatkannya, Aksa bergegas menghubungi teman-temannya dan mengirimkan lokasi di mana mereka berada. 

“Lo tunggu sebentar!” seru Aksa.

Livia menoleh ke arah Aksa dengan cairan merah semakin banyak keluar. “Tapi, Sa.” 

“Diem atau gue gendong lo ke rumah gue, mau? Coba lo nengadah dulu supaya mimisannya sedikit berhenti. Sini, biar gue bersihin hidung lo.” 

Selang beberapa lama kemudian, terdengar suara deru motor yang makin mendekat dan perlahan motor-motor itu berhenti tepat di depan mereka. Kelima dari pengendara motor itu salah satunya ada Fares di sana yang langsung membuka helm fullface-nya seraya mendekat ke arah sang sahabat.

“Sa! Kenapa? Tadi lo di tel … eh tuh anak kenapa, Sa?” 

Aksa tak menjawab. Hanya saja dia mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan kartu hitam pada tangan Fares, sementara keempat teman lainnya saling pandang satu sama lain.

“Di situ ada duit uang jajan gue dari bokap 20 juta, lo semua bebas beli apa aja mo ps apapun itu. Tapi dengan syarat lo anter semua catering-catering itu ke alamat tujuan, gue mau bawa dia dulu ke rumah sakit.”

“Bos. 20 juta cuma disuruh anter beginian doang? Serius lo, duit lo gimana dong?” tanya salab satu temannya yang lain.

“Gue masih ada 4 kartu lagi. Tenang aja, dah lo semua anter itu awas kalau sampai nggak. Gue kirim lo ke planet pluto!” ancam Aksa. Dia merebut selembar kertas yang ada di genggaman Livia dan menyerahkannya ke Fares serta yang lainnya.

“Ya udah. Lo hati-hati deh, Bos. Eh, cewek lo juga semoga sehat-sehat, ya! Makasih karena lo kita di traktir nih,” sambung yang lainnya.

“Tapi jangan lupa entar cerita bos, pacarnya kenapa, ya!” teriak si tinggi dengan bulu mata lentiknya.

Aksa tidak menghiraukan celotehan teman-temannya yang tidak bermutu itu. Satu hal yang terlintas di kepala Aksa yang perlu dia lakukan adalah membawa Livia ke rumah sakit dan memeriksakan keadaan gadis itu.

“Naik atau gue cium bibir lo?” 

Livia pun pada akhirnya menurut saja. Livia tidak mau jika Aksa bertindak lebih di depan teman-temannya apalagi sekarang posisi mereka di pinggir jalan. 

Tanpa membuang banyak waktu lagi Aksa melajukan kendaraan roda duanya menuju ke rumah sakit. Cuaca sore ini syukurnya sangat cerah sekali tidak terlalu panas ataupun mendung padahal ini di Jakarta yang notabene-nya selalu panas pastinya.

Hampir sejam lebih dua puluh tujuh menit akhirnya Aksa tiba di sebuah rumah sakit di mana tempat itu milik teman papanya. Arjuna Erlangga. Aksa menggendong Livia begitu saja sebab rasa cemasnya melebihi rasa malu yang dia miliki sekarang. Gadis itu bahkan sudah berteriak-teriak meminta untuk diturunkan.

“Dok! Dokter!” teriak Aksa seperti di tengah hutan saja, teriakannya sangat kencang sekali.

“Dokter!” teriaknya sekali lagi, yang datang malah perawat. “Eh anjir ke mana dokternya?”

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang