Part 08. || Bodyguard untuk Pacar

14 6 0
                                    

~ Selamat Membaca ~

S

ambil menunggu waktu bel masuk masih ada sisa waktu sepuluh menitan lagi. Aksa, Fares dan ketiga temannya yaitu Haikal, Zegan dan Ryan berada di kantin sekolah. Mereka berbincang hal-hal random sembari memesan makanan ringan untuk teman mereka ngobrol. 

“Bos. Lo habisin duit puluh-puluh juta buat kita apa lo nggak rugi dan itu cuma demi cewek?” tanya Haikal, cowok itu menyomot kentang goreng milik Ryan. 

Zegan yang mulutnya penuh dengan makanan pun lantas mengangguk sebagai tanda menyetujui ucapan sahabatnya—-makanan kesukaan cowok tampan satu itu tidak lain yaitu roti saat pagi-pagi begini kalau di kantin sekolah. 

“Gue tanya nih sama lo pada. Kalau posisi Livia sekarang ada sama adek-adek lo pada atau kakak lo, apa yang lo lakuin?” Aksa bertanya balik, tapi pandangannya tidak pernah berhenti dari ponselnya. 

“Ya gue lindungi segenap jiwa dong. Kalau perlu nyawa gue taruhannya,” sahut Ryan mantap. 

“Kalau gue. Entahlah, gue nggak bisa mendeskripsikan sesuatu. Intinya gue ngeri kalau apa yang dialami Bu Bos kejadian di keluarga gue,” tambah Fares. 

“Sama,” sahut Zegan. 

“Eh, tapi Bos. Tadi gue sempet denger si nenek lampir sebut biaya pengobatan. Apa Bu Bos sakit parah?” 

Semua orang yang ada di kantin termasuk mereka beralih pandangan ke Aksa menunggu jawaban cowok itu. 

Sementara itu, Aksa mengangguk dan dia menceritakan detail sesungguhnya pada sahabat-sahabatnya itu. Tidak lupa Aksa meminta mereka untuk jadi bodyguard dadakan untuk sang kekasih, apapun syarat mereka Aksa akan penuhi toh kalau soal uang sekalipun dia akan sanggup membayar mereka.

“Ah, nggak-nggak. Gue rela siap lahir batin jadi bodyguard buat Bu Bos, secara jujur aja sih kalau gue kelupaan bikin PR atau kena sesuatu di jalan entah gimana bisa Bu Bos Livia selalu bantu gue,” kata Zegan, mencoba mengingat kenangan demi kenangan yang terjadi kepadanya sampai Zegan pun mendapatkan uang jajan berkali lipat itu semua karena gadis itu yang mana telah mengubah perjalanan hidupnya.

Ya begitulah sosok Livia di mata sahabat-sahabat Aksa tanpa Aksa ketahui. Mungkin sesuatu yang orang lain anggap remeh itu pun terkadang selalu dianggap sepele oleh mereka yang tidak tahu kata terima kasih, namun bagi Zegan, Haikal dan Ryan terutama lain. Pertolongan Livia beberapa hari ke belakang ini telah mengubah sesuatu menjadi yang lebih baik.

Seperti Zegan yang jarang sekali mengerjakan PR dan di sekolah selalu mendapatkan rangking terakhir, tapi saat dulu menginjak kelas XI Livia datang dan memberi kunci jawaban kepadanya hingga alhasil hampir semua mata pelajaran yang diulangankan waktu itu mendapatkan hasil yang sempurna. 

Zegan berhasil meraih peringkat ke tiga dari 30 siswa di kelas mereka. Pun dengan Haikal dan Ryan tak kalah sama. 

Sampai orang tua mereka bangga pada anak-anak mereka yang telah berubah ke jalan yang lebih baik, walau kelakuan mereka di motor masih sama tapi setidaknya dalam soal pendidikan mereka tidak mengecewakan orang tua masing-masing.

Bel masuk pun berbunyi …

“Balik ke kelas yuk,” ajak Aksa. 

“Yok,” sahut Ryan dan yang lainnya.

“Tapi Sa setelah ini apa yang mau lo lakuin? Nggak mungkin lo biarin Livia pulang ke rumahnya dong? Secara dia yang spek bidadari gitu punya nyokap lampir?” tanya Haikal.

“Gue ada rencana bawa cewek gue ke Singapura buat sembuhin penyakitnya dan setelah itu gue mau ajak dia tinggal di rumah gue. Lagian nyokap bokap setuju aja apalagi adek gue,” jawab Aksa tenang. 

***

Mata pelajaran pertama yaitu Biologi berjalan dengan sangat lancar, tidak ada kegaduhan di dalam kelas dan yang terjadi sama seperti sebelum-sebelumnya di mana Bu Lina akan selalu meminta Livia menjelaskan sesuatu yang tidak dimengerti anak-anaknya dan semua anak tampaknya justru lebih mudah diajari oleh Livia ketimbang guru Biologinya langsung yang malah muter-muter kanan kiri. 

“Baiklah. Untuk tugasnya Ibu sudah bikinkan kelompok di mana perkelompok terdiri dari lima orang, ya. Tugasnya itu membuat makalah tentang yang pernah kita pelajari sampai barusan, kemudian nanti kalian mempresentasikan. Inget, semua harus kerja dan ini berpotensi untuk nilai kalian nanti,” kata Bu Lina.

“Bu!” seru salah satu murid.

“Iya?” 

“Untuk kelompoknya gimana?” tanyanya lagi.

“Ibu udah bikin kelompoknya dan dari tiga puluh siswa dibagi menjadi enam kelompok. Sebentar,” jawab Bu Lina. “Nah ini, kelompok pertama Vania, Azalea, Ryan, Tio dan Gabriel. Kelompok kedua … Livia, Zegan, Aksa, Elena dan Fares. Kelompok tiga … Elmira, Haikal, Adam, Pipit dan Bian. Kelompok empatnya … Trisna, Gia, Sabila, Wahyu dan Berrelina. Kelompok lima. … Xila, Civana, Teo, Elang, Zizi. Sisanya kelompok terakhir.” 

Yes. Gue sama cewek gue,” kata Aksa bersorak senang. 

“Gue juga sama sekelompok sama Bu Bos, yeee!” tambah Fares dan Zegan bertos ria.

“Kok gue sama Haikal kayaknya yang apes. Huft,” keluh Ryan. 

Aksa, Fares dan Zegan tampak meledek mereka berdua. Lain halnya dengan para cewek-cewek di mana Azalea tentunya memasang raut wajah sinis pada Livia. Pun dengan Elena tidak kalah bedanya. Padahal Livia sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun. Toh semua keputusan ada di tangan guru.

“Habis sekolah, ya, kita mulai kerjainnya. Ada waktu 4 hari dari sekarang, pelajaran Biologi ada lagi selasa depan,” kata Livia memberitahukan ke teman kelompoknya.

“Di rumah aku aja, ya, Yang,” kata Aksa mengusulkan.

“Ciee … yang udah ayang-ayangan mah beda. Hihihi, iri deh gue sama lo, Liv,” sahut Elmira.

Dari bangku depan, tiba-tiba saja Azalea, Elena dan Vania berjalan ke arah bangku di mana Elmira dan Livia berada. Hal itu membuat Aksa serta yang lainnya terdiam harap-harap cemas.

“Buat apa sih, El. Iri sama orang penyakitan kayak dia? Hidupnya aja dah dijadiin babu sama nyokap sendiri, masih ada yang harus diiriin?” kata Azalea setengah meledek.

Saking kesalnya mendengar Azalea menghina kekasihnya sampai dia menggebrak meja, tetapi berusaha ditenangkan oleh yang lain. Memang Aksa yang kali ini terdiam, tapi lain lagi dengan Elmira. 

Elmira berdiri, lalu melayangkan tamparan keras pada pipi Azalea. Seisi kelas yang menyaksikan perdebatan itu pun langsung terdiam, Bu Lina sendiri sudah keluar beberapa menit yang lalu. 

“Setiap orang punya kekurangan dan kelebihan, Lea. Lo nggak bisa terus menerus hina Livia sebegitunya dong, emangnya lo siapa sampai lo bisa ngatain orang lain kayak gitu, hah?! Anak presiden? Ckk, kayaknya presiden aja malu punya anak yang mulutnya busuk kayak lo,” geram Elmira.

“El. Udah! Aku nggak apa-apa kok, aku sadar diri emang aku penyakitan. Udah, nggak apa-apa,” sahut Livia akhirnya membuka suara.

Azalea mengepalkan kedua tangannya bersiap melayangkan bogeman selanjutnya yang sepertinya arah tujuan Azalea bukan pada Elmira, iya melainkan pada Livia yang telah menghancurkan semuanya.

“Dasar penyakit—-”

“Sekali lagi mulut busuk lo bilang kalau cewek gue penyakitan. Lo gue sumpahin kena kanker rahim anjir!” potong Aksa cepat, lalu dia menarik sang kekasih untuk duduk di meja belakang di mana tempat dia dan Fares duduk.

Bersambung

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang