~ Selamat Membaca ~
Sepulang sekolah Aksa dan Livia terpaksa berpisah. Aksa meminta izin untuk pergi ke kantor sang papa pada sang kekasih, karena ada beberapa hal yang perlu dia selesaikan setelah perjanjian pagi tadi terucap. Sementara itu, Livia terpaksa pulang sendirian ke rumah. Sejujurnya, hati kecil Livia tidak ingin kembali ke tempat itu di mana mamanya pasti akan murka atas kejadian kemarin.
Livia berharap pada waktu agar bisa melambat supaya dirinya tidak cepat sampai ke rumah. Akan tetapi, kenyataan lain dengan apa yang diharapkan Livia pun sudah berbelok memasuki gang kecil menuju kontrakan rumah di mana tempat tinggal mama dan dirinya.
“Ya Allah, aku takut,” kata Livia.
Hati kecilnya terus merapalkan beberapa doa yang dia hafal. Sepanjang jalan dia terus menunduk sampai dia tidak sadar ketika tiba di depan sebuah rumah, mendapati seluruh tubuhnya basah kuyup. Livia tampaknya tidak bermasalah saat sesuatu yang mengenai tubuhnya bukan cairan panas, tapi ini?
“Aaarghh! Panas, Mama … Mama panas, Ma. Ma, panas!” teriak Livia sembari langsung masuk ke rumah untuk membersihkan tubuhnya.
“Rasakan kamu!”
“Aaargh, panas!” Livia masih terus berteriak seperti orang kesetanan.
Gadis itu langsung masuk ke toilet tanpa peduli dengan tasnya. Begitu sampai di kamar mandi yang luas ruangannya tidak seberapa itu pun Livia melepaskan tas ranselnya, lalu mengantungnya di paku. Setelah itu Livia pun menyiramkan semua air ke tubuhnya demi menghilangkan rasa panas akibat cairan yang entah apa itu.
Sisi lain …
Naomi mengambil kunci kamar mandi itu, kemudian tanpa sepengetahuan Livia pun wanita itu pun mengunci pintu tersebut dan membiarkan Livia berada di dalam sana entah sampai kapan.
Terpikir oleh Naomi untuk menggeledah isi kamar putrinya sendiri. Seingat Naomi jika Livia mempunyai tabungan dari hasil kerja sampingannya sebagai seorang penulis novel, Naomi hanya ingin membuktikannya dan sepertinya tidak salah kalau Naomi mengambil sebagian daripada tabungan anak sendiri.
Bukankah itung-itung sebagai balas budi karena Naomi telah merawat Livia sejak kecil sampai sekarang?
Ah, andai saja waktu itu Naomi bisa melahirkan anak laki-laki mungkin mantan suaminya itu tidak akan menceraikannya. Namun, nasi sudah menjadi bubur bahkan sekarang dia tidak bisa untuk bertemu dengan pria yang dia cintai itu.
Seluruh ruangan kecil milik Livia digeledah oleh Naomi. Mulai dari meja belajarnya, kasur sampai seisi lemarinya sengaja dia keluarkan sampai pada akhirnya dia menemukan sebuah buku kecil dan kartu berwarna abu-abu di balik pakaian Livia di atas lemari.
Naomi meraih buku kecil serta kartu tersebut, lalu melihat isi di dalam buku itu yang ternyata begitu Naomi membuka buku berbentuk tabungan itu terdapat nominal dalam jumlah cukup banyak.
“Dasar anak bodoh. Bisa-bisanya dia menyembunyikan uang sebanyak ini dari saya, hem … kamu pikir saya akan tinggal diam aja gitu? Ckk … enak saja,” gerutu wanita itu.
Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. Senyuman licik. Iya, dia membayangkan jika dia bisa pergi belanja dan membeli sesuatu yang dia butuhkan dengan uang tabungan yang dia dapatkan.
“Daripada buang-buang waktu. Hem, mending saya belanjakan saja. Tapi bentar, anak itu nggak apa-apa, kan, saya kurung di toilet?” pikirnya.
“Ah, ya. Bodo amatlah. Yang penting saya bisa belanja dan menginjakkan kaki di mall, aaargh!”
***
Senja kali ini sepertinya akan indah jika menikmatinya bersama seseorang yang spesial dalam hidup kita. Bukankah begitu? Oh tentu pastinya.
Seperti hal yang dilakukan oleh gadis imut nan juga ceriwis yang tidak lain adik kandung dari seorang Aksa Damian—-Davina Grizelle Damian bersama sang kekasih tercinta—Chessen Keanandra William. Davina mendapatkan reward dari Chessen karena gadis itu memperoleh nilai tertinggi di kelas setiap kali ulangan dadakan.
“Makan dulu yuk?” ajak Davina.
“Boleh. Mau di mana?” tanya sang kekasih.
“Di lantai atas aja gimana? Ada stand makanan enak tahu, apa ya … namanya aku lupa hehehe.”
“Ya udah ke atas yuk,” sahut Chessen pada akhirnya.
Ketika Davina dan Chessen akan berbelok ke arah lift. Sudut pandang Davina menemukan sesosok wanita yang sangat dia kenali. Dia yakin dan dia tidak salah melihat orang itu. Langkahnya pun berbelok dan melupakan kalau dia bersama sang kekasih di sana hanya untuk bisa tahu apa saja yang dilakukan wanita itu.
“Ada apa, Yang?” tanya Chessen.
“Tunggu sebentar, ya. Aku pengen lihat dia … aku ngerasa ada sesuatu yang aneh sama wanita itu. Bentar,” jawab Davina yang memberanikan diri mendekat ke arah wanita itu berada.
Davina berjalan sepelan mungkin sambil menutupi sebagian wajahnya agar tidak terlalu kelihatan. Tidak tahu mengapa hatinya mengatakan kalau ada sesuatu yang terjadi, apapun itu Davina sendiri masih menebak-nebaknya.
Begitu wanita itu masuk tampak raut wajahnya terlihat sangat bahagia persis seperti orang-orang yang belum pernah mengunjungi tempat itu alias katro lebih tepatnya. Iya, mungkin itu gambaran yang bisa dikatakan untuk wanita itu menurut Davina bahkan orang-orang di sekitar pun melirik sinis ke arah si wanita seraya tersenyum mengejek.
“Astaga ya ampun. Mall ini, tempat impian saya selama saya hidup! Huft, ada untungnya saya mengurung anak sialan itu di toilet, dengan begini kan saya bisa ngabisin uang tabungannya. 35 juta, astaga … kapan lagi coba,” tutur si wanita sembari tersenyum lebar.
Bola mata Davina membelalak tak percaya dengan apa yang dia dengar. Sebisa mungkin dia berusaha kembali memasang kupingnya agar bisa mendengar celetukan si wanita itu, supaya Davina tidak salah mendengar dan mengatakan kebenarannya pada sang kakak.
Meski sejujurnya terkadang Davina kesal sekaligus geram pada para pengunjung yang seakan seperti sengaja tertawa kencang, ngobrol haha-hihi membuat Davina jadi sedikit terganggu.
“Baiklah. Saya tidak peduli, lagian biarkan saja dia meninggal. Toh masih hidup aja dah jadi beban keluarga,” celetuknya lagi, lalu pergi menuju ke arah eskalator berada.
Davina mengepalkan tangannya. Saking tidak bisa menahan rasa kesalnya Davina hampir menabrak patung yang terpajang di bagian depan dekat dirinya berdiri. Di mana patung itu terdapat baju pastinya super mahal.
Usai memastikan semua pendengarannya benar dan Davina pun memutuskan untuk mencari sang kekasih. Menunda berbelanja dan menikmati momen berdua di sore ini sepertinya harus tertunda, sebab ada sesuatu yang lebih penting daripada itu.
“Yang! Pulang, yuk?” ajak Davina.
“Kok gitu? Bukannya kamu tadi pengen shoping sepuasnya, nggak jadi nih?” tanya Chessen penasaran.
“Shoppingnya jadi, Yang. Cuma nggak hari ini, kita tunda aja sampai besok, ya. Besok, kan, weekend. Ada hal penting yang harus aku kasih tahu sama Kakak. Please, nanti juga kamu tahu,” pinta Davina setengah memohon.
Meskipun pada akhirnya Chessen tidak bisa untuk mengatakan tidak. Chessen akan menuruti kekasihnya, mau bagaimanapun setengil-tengilnya Davina dan seceroboh-cerobohnya gadis itu ketika ada sesuatu yang menyangkut kakaknya Davina tidak akan pernah berbohong sekalipun masalahnya hanya sepele.
“Ya udah. Besok kita ke sini, ya. Free buat kamu waktu aku seharian besok.”
Davina pun mengangguk, tersenyum senang.
~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅
Teen FictionTernyata tanpa diduga keegoisan Naomi selama ini sebagai sosok mamanya mengantarkan putri kandungnya yang malang menuju ke jurang kematian. Setiap hari bahkan setiap detik hidup Livia tidak lepas dari bayang-bayang Naomi, Livia sendiri sudah muak da...