Part 16. || Kegelisahan Naomi

9 5 0
                                    

                 Yuhuuu .... bismillah.

~ Selamat Membaca, ya ~

S

epanjang hari selama dia memulai pekerjaannya menjadi seorang pemilik catering, mulai dari memasak sampai mengantarkan pesanan secara langsung. Hati Naomi terasa ada yang mengganjal. Biasanya wanita itu tiap mendapatkan berlembar-lembar uang warna merah sepanjang dia bekerja akan terus tersenyum sembari mencium lembaran berwarna merah tak henti-hentinya.

“Ini dah mau sore. Kenapa anak sialan itu tidak terlihat batang hidungnya sama sekali, ya, apa jangan-jangan Mas Kinan benar-benar akan mengambil gadis itu? Tidak, jangan sampai!” gumamnya. 

Mengistirahatkan dirinya di sofa butut yang sudah tak layak pakai itu. Naomi memejamkan matanya sesaat. Untuk sesaat menenangkan dirinya dari segala masalah yang menghadapinya.

Akan tetapi, tiba-tiba hatinya tergerak untuk menghubungi seseorang dan secepatnya dia bangkit menuju ke kamarnya. Mengambil ponsel miliknya yang sejak tadi dia letakkan di kamar. Terlepas dari menanti kabar Livia, sebenarnya dia pagi tadi sangat emosi sekali sebab tahu jika putrinya telah melarikan diri.

Tapi sekarang anehnya dia mendadak merindukan anak yang tidak diharapkannya itu. 

“Semoga saja bocah itu tahu di mana keberadaan anak sialan saya,” gumamnya lagi. 

Dia mencari-cari nomor bocah yang mengajaknya kerjasama serta seseorang yang menolongnya semalam. 

Begitu menyambungkan teleponnya dengan nomor si bocah itu. Naomi tidak menemukan jika sambungan teleponnya terhubung. Malah terus berbunyi dan sepertinya tidak ada yang menjawab. 

“Apa dia masih di sekolah sama seperti anak sialan itu?” pikirnya. 

Naomi semakin tidak tenang. Mulailah dia mengirimkan pesan kepada bocil yang mengajaknya kerjasama. 

Me 

[Eh anak bocah. Apa kamu menemukan anak sialan itu di sekolah dan bagaimana keadaannya, mengapa sejak tadi saya menghubungimu tidak kamu jawab? Katakan atau tidak saya datangi rumahmu!]

Pesan pun telah dikirim. Naomi kembali menaruh ponselnya dan mulai membenarkan seluruh isi rumahnya. Mulai dari; menutup gorden sampai ke menyalakan lampu di seluruh ruangan. Sepanjang melakukan aktivitas itu tidak tahu mengapa kalau Naomi semakin merasakan jika dirinya dihantui rasa bersalah terus-menerus bahkan Naomu saja belum menemukan putrinya.

Ke mana ini? Apa harus saya pergi sekarang mencari anak itu?’ pikirnya dalam hati. 

Ketika hendak ke dapur, Naomi merasakan jika pintu di depan ada yang mengetuknya. Tidak tahu siapa, namun berhasil membuat Naomi urung melangkahkan kakinya ke dapur. Alhasil, wanita itu pun membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan ke depan.

Pintu terbuka dan menampilkan sesosok gadis SMA dengan masih mengenakan seragam SMA. Raut wajahnya terlihat seperti seseorang yang tengah hancur dan sama-sama merasa bersalah seperti Naomi. 

Apa yang membuatnya bersalah, ya?

“Bangun kamu!” 

Kata itulah yang pertama kali terucap dalam bibir Naomi untuk gadis di depannya yang memilih menjatuhkan diri di depan Naomi. Gadis itu semakin terisak saja dan memohon ampun pada Naomi, padahal dipikir selama Naomi mengenalnya dia sama sekali tidak memiliki salah apapun. 

Naomi berkata jujur, bahkan gadis itu membantunya untuk pergi dari keheningan malam yang akan membuat siapa saja mungkin bisa berakhir tragis. 

“Apa kamu punya mulut untuk jawab pertanyaan saya dan telinga untuk mendengar kalau saya bertanya, Lea?” tanya Naomi dengan tatapan datarnya.

Iya. Gadis itu tidak lain dan tidak bukan ialah Azalea, lebih tepatnya dipanggil Lea. Naomi tak paham mengapa gadis itu datang dan tiba-tiba menjatuhkan dirinya seraya menangis seperti ini, hari semakin gelap. Naomi tidak mau tetangga dekat kontrakannya salah paham tentang Azalea.

Maka dari itu, dia memutuskan untuk mengajak Azalea ke dalam saja daripada menunggunya di luar.

“Tidak, Tante!” tolak Lea. 

“Ada apa sama kamu, hah?! Saya hanya meminta kamu masuk rumah saya, saya tidak mau kalau sampai ada orang lain yang coba-coba berpikir kalau saya sudah ngapa-ngapain ka—-”

“Bukan Tante.” Azalea memotong ucapan Naomi cepat, “tapi aku. Aku yang udah ngapa-ngapain anak Tante sampai masuk rumah sakit. Aku, Tante Naomi! Tolong … aku mohon sama Tante untuk tidak melaporkan aku ke kantor polisi, Tan. Aku bakal minta maaf sama Livia.” 

Tidak tahu apa yang ada pada jalan pikiran Naomi. Namun, detik itu juga mendadak wanita itu tertawa terbahak-bahak sampai-sampai membuat Azalea yang sejak tadi termenung jadi semakin terdiam dan sulit rasanya untuk percaya.

Azalea merasa kalau Naomi sudah gila. Lea pikir setelah dia datang ke rumah ini akan mendapatkan tamparan atau tuntutan karena telah mencelakai putrinya sendiri. Tapi apa maksudnya ini?

Apa ada orang tua yang tertawa setelah mendengar putrinya di rawat? Gila, pikir Lea.

“Kerjamu bagus, Lea. Sudah sangat lama saya menginginkan dia celaka memang, tapi tangan saya rasanya gatal kalau tidak menyuruh orang melakukannya. Untuk urusan rumah sakit sebenarnya sejak dahulu anak itu sering keluar masuk rumah sakit dan cukup sangat merepotkan saya!” 

“Ma-maksudnya?” tanya Lea tidak mengerti.

Naomi mengajak Azalea untuk masuk ke rumahnya setelah itu dia mulai menceritakan tentang perjalanan cinta Naomi bersama seorang pria yang mana keluarganya sangat menentang keras hubungan keduanya, sampai lahirlah Livia yang mana kelahirannya tidak diinginkan. Naomi yang waktu itu bersikukuh ingin anak laki-laki agar bisa membuat keluarga si pria setuju, nyatanya berakhir dengan si pria meninggalkannya dan menikahi seorang dokter.

Tak hanya itu hampir semua selama perjalanan hidup gadis itu—-Livia yang telah disiksa bahkan dikurung berjam-jam sampai berhari-hari pun telah diceritakan pada Lea sampai penyakit berupa Leukimia yang diderita Livia tak kalah Naomi ceritakan.

“Aku nggak nyangka kalau ada ibu segila Tante. Tega banget sama anak sendiri sampai rela keluarin Livia di tengah rasa sakitnya yang seharusnya mendapatkan perawatan.” 

Hanya itu yang Lea ungkapkan setelah mendengar cerita dari Naomi. Gadis itu perlahan meninggalkan Naomi seorang diri dan dia gegas bangkit dari tempat duduknya.

“Mau ke mana kamu?” tanya Naomi.

“Ke manapun. Kalau perlu aku akan ke rumah sakit aja ketemu sama Aksa dan Livia buat minta maaf. Aku nggak mau ada di sini bersama seorang ibu yang tidak punya hati kayak Tante,” ada sedikit jeda saat Lea akan melanjutkan kalimatnya, “bisa mati berdiri kalau aku di sini lama-lama. Lagian … sebenci apapun aku sama Livia. Aku masih punya hati. Nggak kayak Tante!” 

Naomi memejamkan mata saat mendengar Lea menutup pintu rumah kontrakan Naomi dengan membantingnya. Dia berpikir, ‘Jadi ini yang sedari tadi buat hati saya gelisah? Tapi ya sudahlah. Toh ada tidaknya anak itu nggak akan mempengaruhi hidup saya. Selama ini saya miskin, kan?’ batinnya.

Ya Tuhan, di mana adab dan letak hati seorang Naomi? Apa dia benar-benar dibutakan oleh dendam yang selama ini dia miliki?

“Sepertinya saya harus tidur. Karena besok saya harus menyiapkan para tamu yang datang untuk menjenguk jenazah anak yang malang itu.”

             ~ Bersambung ~

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang