Assalamualaikum semuanya ...
Jumpa lagi sama aku, ya. Hehehe. Bagaimana part yang kemarin?Hem, jangan lupa vote komen dan kawal semoga bisa terbit, ya. Hehehe.
~ Selamat Membaca ~
“Tante. Tante cerita aja sama Lea semuanya, nggak usah takut. Lea bakal bantuin Tante kok kalau misalkan ada apa-apa,” kata Azalea.
Naomi termenung. Wanita itu melirik ke arah gadis SMA yang usianya sama seperti putrinya, dia sekarang berada di kediaman bocah itu. Semalam Azalea menemukan Naomi di tepi jalan dan mengajaknya ke sana.
Terbersit dalam pikiran Naomi untuk dia bercerita terus terang pada gadis itu. Namun, lagi-lagi hatinya seakan ada yang mengganjal karena Naomi kurang bisa memercayai gadis itu. Iya bukan apa, hanya saja belajar dari pengalaman semalam kalau dia tertipu oleh dua bocah SMA. Takutnya mereka komplotan untuk membuat Naomi mengakui semua perbuatannya.
Naomi mengulur-ngulur waktu. Dia tidak mau salah lagi melangkah dan takut kejadiannya akan seperti semalam.
“Tante. Sekali lagi Tante nggak ngomong, aku bakal usir Tante dari rumah aku!” ancam Lea.
Bagaimana ini? Apakah dia harus jujur?
“Kamu anterin Tante ke rumah aja sebelum kamu berangkat sekolah. Tante ada perlu sekarang,” kilah Naomi, lalu berdiri mengambil tas bututnya.
“Dih. Emang aku siapa? Sopir? Anak? Atau aku babu Tante juga bukan, jangan sok nyuruh-nyuruh deh!”
Naomi memutar bola matanya malas. Rupanya pandai sekali anak itu merajuk dan membuat dirinya seakan merasa iba alias terpaksa membeberkan semua masalah yang terjadi sampai Naomi sendiri ada di jalan sepi malam-malam seperti tadi malam.
Jarum jam terus berputar. Naomi tidak mempunyai banyak waktu lagi selain dia mesti membujuk Lea agar mengantarkannya dan lebih tepatnya dia ingin sekali melihat bagaimana kondisi Livia. Bukan apa … sudah dua hari mengurungnya apa gadis itu baik-baik saja atau jangan-jangan ….
Berbagai pikiran jelek terus mengisi kepalanya. Sampai Naomi pun pergi mendahului Lea yang masih mematung. Tidak tahu mengapa tapi Naomi rasa jika Lea tidak sepintar Livia. Terbukti malah sekarang terbengong saja padahal hari sudah siang. Mungkin, bisa saja beberapa menit lagi kelasnya akan masuk.
“Tante-Tante. Tungguin!”
Naomi menghentikan langkahnya. “Ada apa?” tanyanya.
“Aku bisa bantuin Tante kalau semisal Livia semalam lari dari rumah, cari pertolongan. Nah, setelah nanti aku bisa dapetin dia. Tante bisa balesin dendam Tante sama dia. Toh gara-gara dia, kan, Tante jadi diberhentikan di tengah jalan. Hampir aja diculik dan untung saja ada aku. Iya, kan?”
‘Apa iya. Dia bisa dipercaya?’ pikirnya.
“Gimana, Tan?”
Naomi menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Baiklah. Tapi ingat kalau sampai kamu sekongkol sama mereka awas aja!” seru wanita itu memperingatkan.
“Ya udah. Anter Tante pulang, setelah itu kamu berangkat sekolah!”
Lea spontan mengangguk. “Oke. Yuk,” ajak Lea.
***
Sesampainya di rumah baru saja menginjakkan kaki di pintu kontrakan kumuhnya itu. Naomi merasakan seperti ada seseorang yang mengawasinya. Semakin lama … semakin dia mendengar jelas langkah kaki seseorang. Sempat terpikir dalam benaknya jika yang mengikutinya itu mungkin saja polisi atau seseorang yang akan menangkapnya karena dituduh melakukan kekerasan sama anak sendiri?
Naomi memutar knop pintu, lalu dia bergegas masuk.
“Naomi Odelia Pramudita. Wanita licik yang selalu menggunakan segala cara demi kepuasannya, bahkan sampai tega mengurung anak sendiri di toilet. Cck … ckkk … ckkk.”
Suara itu?
Nada bicaranya mengingatkan dia pada seorang laki-laki yang beberapa tahun yang lalu pernah mengisi hatinya. Seseorang yang telah membuatnya melahirkan seorang anak yang tidak dia inginkan ke dunia ini, lantas apa mungkin dia ada di sini sekarang? Di belakang tubuh Naomi?
Rasa penasaran kini menyelimuti dirinya dan begitu dia membalikkan tubuhnya ke belakang, menatap lawan bicaranya. Bola mata Naomi seketika membelalak dan mulutnya menganga mendapati seseorang yang sempat beberapa menit lalu dia pikirkan. Rupanya nyata ada di depan mata.
‘Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan untuk menghindar dari dia tentang pertanyaan putrinya?’ batinnya.
Mendadak seluruh tubuhnya bergetar hebat, dia sampai mencari sesuatu untuk dia gunakan menahan diri agar tidak sampai terjatuh, sebab dia tak sanggup lagi menahan beban berat tubuhnya.
“Ma-Mas Ki-Kinan? Ini kamu, kan? Kinandra Wiliam?”
Laki-laki yang dipanggil tidak merespons apa-apa selain memberikan tatapan tajam pada mantan kekasihnya, mantan istri siri tepatnya. Kinandra Wiliam—-suami dr. Viola—-papi Chessen dan ayah kandung dari seorang gadis malang yang kelahirannya tidak pernah diinginkan wanita itu apalagi oleh keluarga besar William memutari tubuh Naomi, sesekali dia memandang remeh pada mantannya itu.
Dulu … Kinan memang sangat menurut pada keluarganya. Dia rela melakukan apapun demi membuat mereka bahagia. Namun sekarang, setelah fakta baru diketahui olehnya dia tidak mungkin tinggal diam begitu saja mengingat Livia adalah darah dagingnya, buah cintanya atas pernikahan siri dengan Naomi.
“Mas ke sini mau ngapain? Apa yang Mas Kinan inginkan?” tanya Naomi gemetaran.
“Kedatangan saya ke sini jelas akan mengambil alih hak asuh Livia, putriku. Saya tidak akan sudi membiarkan putri saya dibesarkan olehmu. Saya akan mengambilnya dari tangan kamu dan asal kamu tahu saya telah mengirimkan surat permohonan pada pengadilan,” tutur Kinan menjelaskan.
“A-apa?” Langkah Naomi perlahan mundur. “Maksud Mas apa, sih? Bukankah selama ini keluarga William tidak menginginkan anak perempuan dan menginginkan anak laki-laki karena—--”
“Itu dulu. Karena sekarang baik keluarga William atau dr. Viola istriku. Atau bahkan anak laki-lakiku. Semua menerima kehadiran Livia. Hem, saya tidak bisa membayangkan kalau kamu kehilangan dia dan ya … bukankah itu yang kamu inginkan? Terbebas dari anak itu?” potong Kinan cepat.
“Selamat tinggal Naomi dan selamat hidup dalam kesendirian!” pamit Kinan.
Selepas kepergian Kinan, Naomi murka dan dia tidak bisa membiarkan sesuatu terjadi menimpa dirinya. Bagaimanapun, menurut Naomi dia sendiri yang berhak untuk memperoleh Livia karena dia yang melahirkannya, dia pula yang membesarkannya sampai seperti sekarang.
Namun, apa pantas seseorang disebut ibu setelah perlakuannya selama ini pada seorang anak yang dia anggap ‘anak?’
“Tidak! Livia … anak sialan itu tidak boleh jatuh ke tangan Kinan. Kalau sampai itu terjadi alangkah lebih baiknya aku mengurung anak itu selamanya di toilet!” seru Naomi sembari menghentak-hentakkan kakinya.
Baiklah. Lupakan tentang Kinan sekarang, Naomi harus segera masuk dan melihat keadaan Livia di dalam toilet. Dia mesti memeriksa keadaan anak itu dan dia berharap anak itu masih kuat tidak ke mana-mana.
Langkah demi langkah menuntunnya untuk memasuki rumah tersebut, setiap sudut ruangan dia periksa sebab pandangannya tadi menemukan ada sesuatu yang aneh yang membuat Naomi merasa cemas bukan main.
Tunggu! Apa Livia selamat karena Kinan? Mengapa setiap diperiksa di semua ruangan tidak ada tanda-tanda keberadaan gadis itu.
“Aargh! Sial. Kurang ajar sekali karena semalam aku kehilangan gadis pembawa sial itu!” seru Naomi murka. “Aku harus segera mencarinya. Aku tidak bisa membiarkan Kinan mengambil alih Livia.”
- Bersambung -
Komen dong, jangan lupa. Pengen tahu tanggapannya gimana hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅
Teen FictionTernyata tanpa diduga keegoisan Naomi selama ini sebagai sosok mamanya mengantarkan putri kandungnya yang malang menuju ke jurang kematian. Setiap hari bahkan setiap detik hidup Livia tidak lepas dari bayang-bayang Naomi, Livia sendiri sudah muak da...