~ Selamat Membaca ~
Terlalu memutuskan untuk terus bekerja dan tidak memikirkan bagaimana kondisi kesehatannya jelas hal itu membuat Naomi sampai drop. Rasa bersalahnya terhadap Livia yang tak mendapatkan kabar dan tidak tahu sekarang ada di mana terlebih setelah mendengar ucapan papa Vania tempo lalu.
Naomi merasakan pening yang menjalar di kepalanya. Perlahan indra penciumannya mulai berfungsi sebab merasakan bau-bau sesuatu yang tak mengenakkan.
“Di-di mana? I-ini di mana?” tanyanya seorang diri.
Pintu terbuka dan menampilkan seorang gadis dengan laki-laki berjas hitam serta dasi yang terpasang di lehernya.
“Tante Naomi udah bangun?” tanya gadis itu.
“Bagaimana keadaan Anda, Nyonya?” Kali ini laki-laki berjas itu yang bertanya.
Naomi tidak menjawab hanya dia memerhatikan sekilas seisi ruangan dan begitu tangannya terpasang jarum infus segeralah dia menyadari bahwa dia sedang ada di rumah sakit. Namun, siapa yang membawanya ke mari? Bukankah sebelum itu seingat dia masih berada di jalan mengantarkan catering pesanannya.
Ya Tuhan. Apa ini? Cobaan apa ini, mengapa sampai Naomi mesti berada di tempat yang sama sekali tidak dia inginkan?
Naomi memandangi gadis yang tampak terlihat seperti seseorang yang mencemaskan ibunya saat sakit, begitupun kala dia menatap ke arah laki-laki berjas.
“Saya kenapa? Kalian yang bawa saya ke sini?” tanya Naomi.
Keduanya sama-sama mengangguk. Bagaimana bisa ini? Kali keduanya dia sampai bertemu dengan mereka. Pertanda apa ini? Ah, sudahlah. Tidak baik rasanya memikirkan sesuatu yang mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi. Namun, Naomi rasanya mendadak penasaran apa ada sesuatu yang terjadi padanya sampai berakhir di sini?
“Dokter bilang Anda terlalu kelelahan, Nyonya. Kami menemukan Anda pingsang di jalan dan sepulang saya menjemput putri saya di sekolah. Vania melihat Anda tergeletak di kerubungi orang-orang,” jelas laki-laki berjas yang tidak lain ialah papanya si gadis cantik itu.
“Kalau boleh tahu. Apa di rumah Tante sendiri? Keluarga Tante mungkin atau anak Tante?” tanya Vania.
Naomi hanya menjawabnya dengan menggeleng.
Di sinilah Naomi sekarang. Di rumah keluarga Erlangga. Rumah yang menjadi tempat tinggal Vania dan papanya. Hanya berdua. Iya, tidak ada siapapun lagi selain mereka dan satu pelayan di rumahnya. Meski begitu terkadang Vania baik papanya selalu saling membantu meringankan pekerjaan rumah atau yang lainnya agar si pelayan tak kewalahan mengurus rumah seluas itu.
Setelah membujuk dan sedikit rasa empati dari Vania dan papanya mereka berdua mengajak Naomi tinggal di rumah mereka. Bukan untuk apa hanya saja Vania merasa senang sekaligus ingin sekali mengurus seseorang yang ternyata mama teman sekolahnya sendiri.
Vania dan papa Vania sudah tahu semua hal menyangkut Naomi. Maka dari itu entah ide dari mana Vania memutuskan begitu, syukurnya disetujui sang papa.
“Jika Anda tidak keberatan setelah tadi mendengar bahwa Anda sering mengurus catering dan lain sebagainya. Apa Anda mau memegang salah satu restoran keluarga saya?”
Tidak tahu apa maksudnya. Namun, begitu mendengar ucapan papa Vania yang seperti itu, membuat langkah Naomi terhenti dan segera membalikkan badan menghadap lawan bicaranya.
“Maksud Anda bagaimana, Pak?” tanya Naomi sedikit ragu tampaknya.
“Saat kondisi Anda telah membaik, saya mengajak Anda bekerja sama di salah satu restoran milik keluarga saya. Saya kewalahan sendiri mengurusnya, sementara Vania masih harus belajar dahulu dan menyelesaikan pendidikannya sampai S2 nanti. Saya mau dia meneruskan perusahaan saya saja. Sementara restoran, apa boleh Anda memegangnya?” terang papa Vania.
Seperti mimpi. Tapi itulah kenyataannya, Naomi belum memutuskan apa-apa setelah percakapan dengan papa Vania. Hanya langsung masuk ke kamar karena hari sudah malam, sedangkan di dalam sana Naomi termenung seorang diri.
Entah mimpi apa semalam sampai harus menghadapi seakan dijatuhi durian runtuh. Ah, apapun itu Naomi sadar selama ini tingkah dan segala hal yang ada dalam dirinya mungkin bisa dibilang sulit dimaafkan. Tapi dengan mudahnya Tuhan seakan memberi jalan untuknya sebuah kebaikan.
“Livia.”
Hanya satu nama yang dia sebutkan saat ini. Hatinya terasa berdesir hebat saat mengingat satu orang yang tiba-tiba menembus pikirannya.
“Apa ini pertanda dari Tuhan agar saya bisa memperbaiki kesalahan saya? Rasanya saya tidak pantas mendapatkan ini semua,” lirihnya.
Samar-samar terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang. Gegas Naomi beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan mendekati pintu dan melihat siapa yang datang.
“Vania, Nak. Ada apa?” tanya Naomi selembut mungkin.
“Apa Vania boleh masuk, Tante?” tanya gadis itu balik.
Tidak memungkinkan untuk dia tidak membiarkan Vania masuk. Naomi menyilakan Vania masuk, lalu dia menutup pintunya kembali. Naomi melihat gadis itu duduk di tepi ranjang dengan tatapan yang sendu.
Jika melihatnya begitu tidak tahu mengapa Naomi semakin mengingat posisi Livia dan tiba-tiba merindukannya.
“Vania kenapa?”
Baru saja ditanya gadis itu sudah menitikkan air matanya. Membuat Naomi belingsatan dan bingung harus apa, terlebih kala gadis itu memeluk Naomi, dirinya.
“Vania. Kalau boleh kamu cerita aj—-”
“Vania mimpi, Tante. Vania melihat mama Vania tersenyum terus dia bilang sama Vania kalau Vania nggak boleh sedih. Tapi … Vania kangen mana, Tante.” Gadis itu kian erat memeluki Naomi.
“Yang sabar, ya, Nak. Itu tandanya mama kamu pengen kamu doakan dia dan kamu bahagia. Nggak boleh sedih, ya? Sedih kenapa memangnya coba, kalau bisa cerita aja sama Tante nggak apa-apa. Tapi kalau nggak mau nggak apa-apa.”
Semakin menunduk, Vania mulai menceritakan betapa dia merasa kesepian pasca kehilangan mama tersayang. Yang tentu belum sepenuhnya gadis itu merasa ikhlas. Hatinya meronta menginginkan bagaimana rasanya mendapatkan kasih sayang seorang mama. Vania ingin sekali memberitahu keresahan hatinya pada sang papa.
Sayangnya apa daya, Vania urung sebab beberapa kali dia melihat sang papa tampak kelelahan karena mengurusi bisnisnya yang di mana-mana.
“Cerita kamu mengingatkan Tante sama anak Tante yang dia entah di mana. Sejujurnya Tante merasa menyesal dan setiap hari semenjak kepergiannya setelah Tante mengurung dia, hidup Tante dihantui rasa bersalah. Rasanya capek, mungkin itu juga yang dirasakan olehnya. Kamu sedikit lebih beruntung karena pernah sebentar mendapatkan kasih sayang mama atau papa kamu.”
“Sementara. Livia … 17 tahun, setelah dia lahir ke dunia ini … Tante terus menyiksanya. Sampai sakit yang diderita dia Tante nggak peduli, Tante ingin dia mati aja karena telah membuat kehidupan Tante sengsara dengan kehilangan orang yang dicintai. Namun, setelah sekian lama ketiadaan dia membuat Tante sadar kalau Tante juga ….”
Tampaknya Naomi tak sanggup lagi membagi kisah hidupnya lebih dalam lagi pada gadis itu. Iya, malam ini mereka berdua sama-sama berbagi kisah hidup masing-masing sampai akhirnya keduanya terlelap dalam satu ranjang.
Naomi memeluk Vania penuh sayang, seperti seorang ibu yang tengah menidurkan anaknya dan tidur bersama.
Tanpa diketahui siapa pun di balik pintu ada yang menyaksikan pemandangan menyejukkan itu. Sampai dia berderai air mata dan dia menghilang di balik pintu. Hatinya berdesir dan pikirannya tak menentu kala tahu sang anak menginginkan sosok mama selama ini. Menyesal, itulah yang dirasakan olehnya.
~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅
Teen FictionTernyata tanpa diduga keegoisan Naomi selama ini sebagai sosok mamanya mengantarkan putri kandungnya yang malang menuju ke jurang kematian. Setiap hari bahkan setiap detik hidup Livia tidak lepas dari bayang-bayang Naomi, Livia sendiri sudah muak da...