~ Selamat Membaca ~
“Sebenarnya Livia sejak setahunan ini mengidap penyakit Leukimia, Sa. Dulu dia sampe dirawat di sini lama banget, tapi sayangnya mamanya memutus pengobatan dia dan saya sebenarnya menyarankan agar Livia bisa segera ditangani,” tutur Dokter Livia menjelaskan.
“Tapi, Dok. Apa penyakit gituan bisa sembuh?” tanya Aksa penasaran.
Sejujurnya Aksa tidak bisa berbohong. Aksa semakin mencemaskan keadaan Livia dan sisi lain dia juga geram pada mamanya Livia yang tega menghentikan pengobatan anaknya sendiri, tapi tunggu.
Kalau benar mamanya sempat menghentikan pengobatan begitu, itu artinya wanita itu tahu dong tentang Livia punya penyakit?
“Setelah masa pengobatan, beberapa pasien bisa dinyatakan sembuh dari Leukimia dan sel kanker tidak lagi terdeteksi setelah bertahun-tahun, tetapi, leukimia bisa saja kambuh karena ada sel-sel yang tertinggal di dalam tubuhnya. Ada juga pasien yang bisa bener-bener sembuh dari leukimia sepanjang hidupnya,” jawab Dokter Viola lagi.
“Jadi?”
“Kemungkinan besar masih ada beberapa sel yang tertinggal dalam tubuh gadis itu, sehingga menyebabkan seperti sekarang. Sejujurnya tadi dia melarang untuk saya tidak kasih tahu kamu,” lanjut Dokter Viola.
Kini Aksa mengerti sekarang. Setelah perbincangan dengan Dokter Viola dan Dokter Arjuna yang panjang, Aksa berpamitan pada mereka untuk menemui Livia yang katanya masih ada di ruang perawatan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB Aksa yakin kalau gadis itu pasti sekarang sedang kelaparan.
Aksa meraih gagang pintu, lalu membuka pintu ruangan itu dengan sekali putar saja dan di ruang tunggu menampilkan Livia. Gadis itu terduduk dengan rambut panjang yang hampir menutup seluruh wajahnya.
“Pulang yuk, Liv,” ajak Aksa, sembari menggenggam erat tangannya.
Livia membalas tanggapan Aksa hanya mengangguk, tanpa mau mengeluarkan kata-kata lainnya.
Sementara, Aksa sendiri sambil berjalan dan menggandeng tangan Livia pikirannya kalut. Ada rasa iba sekaligus geram pada mama Livia. Terbersit dalam pikiran Aksa untuk dia menyembunyikan sosok Livia dari mama gadis itu, bukan apa sebenarnya hanya ingin melihat sejauh mana Livia ketika di mata wanita itu.
Apakah benar-benar seperti seorang ibu yang merindukan buah hatinya sebab lama tidak kunjung pulang?
Atau mungkin saja mama Livia masa bodo dan peduli pun karena di rumahnya tidak ada siapapun lagi yang bisa diandalkan.
Ah, ya. Sepertinya Aksa harus meminta bantuan pada mama dan papanya. Aksa yakin kalau mereka akan membantu niat baik Aksa ini, terlebih mereka—-mama papa Aksa pun mempunyai anak perempuan. Ya, bagaimana kalau yang dialami Aksa terjadi pada Davina—-si bungsu kecil menggemaskan yang selalu membuat suasana di rumah ramai?
Oh, tidak! Jangan sampai.
Setiba di depan sebuah rumah berlantai dua dengan bangunan rumah tersebut sangat indah dan megah. Aksa menghentikan motornya, meminta agar Livia turun sebab hari semakin gelap saja.
Aksa dan Livia kembali dari rumah sakit saat jam tujuh malam lewat.
“Kok kamu malah bawa aku ke sini, sih?” tanya Livia dengan raut wajah bingung sekaligus heran.
“Ya kenapa?” Aksa melepaskan helm fullface-nya dan menaruhnya di atas motor, lalu mengajak Livia masuk.
Sayangnya yang diajak tidak mau bergerak sama sekali, malah diam membeku seakan Livia tengah memberikan kode untuk minta digendong lagi seperti tadi saat akan memasuki rumah sakit.
“Minta gendong lagi?” tanya Aksa.
Livia menggeleng.
“Terus?”
“Aku mau pulang. Aku takut kalau mama nyariin aku, lagian kamu ngapain bawa aku ke sini coba? Kita itu ….”
“Bukan siapa-siapa, pasti mau bilang gitu, kan?” jawab Aksa.
Tidak ada angin maupun hujan tiba-tiba saja Aksa meraih kedua tangan Livia. Di depan rumah Aksa dengan disaksikan ribuan bintang yang berkerlip di atas langit sana serta terlihat sepasang suami istri di teras rumah. Aksa berlutut di hadapan Livia.
“Kamu ngapain, Sa? Aku nggak minta buat kamu berlutut gitu, tapi aku mau pulang.”
Aksa mengembuskan napasnya kasar. Dia memejamkan mata sejenak mengumpulkan keberanian untuk dia bersiap mengatakan isi hatinya. Sebab, Aksa ingin menjaga Livia sepenuhnya tanpa ada embel-embel, ‘Kita bukan siapa-siapa.’
“Gue tahu ini dadakan banget dan bikin lo bertanya-tanya pastinya kenapa sampai gue lakuin ini. Iya, kan?”
Dengan penuh percaya dirinya, Aksa mengecup punggung tangan Livia membuat si gadis terkejut bukan main.
“Tapi, Liv. Izinkan buat gue bisa ngejaga lo sepenuhnya, izinkan gue masuk ke kehidupan lo yang sempurna ini. Gue tahu, gue bukan cowok baik-baik, gue bukan anak Osis atau seseorang yang hafal rumus kimia sekalipun. Tapi, gue ya gue. Aksa Damian Axelle anaknya Pak Javier Damian. Ingin mengungkapkan perasaan gue ke elo, kalau gue sayang dan cinta mati ke elo. Mau, kan, jadi pacar gue?”
Entah bagaimana caranya Livia mengungkapkan semua isi hatinya tentang tanggapan akan ucapan Aksa barusan. Bagi Livia bahkan tidak pernah terpikir dalam otaknya untuk menjalin sebuah hubungan terlebih sekarang kehidupannya yang tidak jelas dan dalam tubuhnya masih mengalir penyakit yang belum sembuh secara total.
Pastinya Livia bahagia akan ungkapan keseriusan Aksa terhadapnya. Gadis mana coba yang tidak senang saat cowok tampan di sekolahnya menyatakan cinta secara mendadak begini?
“Lo diem berarti lo mau. Iya, kan?”
Livia berusaha mengelak, tapi hatinya berkata lain. Setiap kali dekat dengan Aksa memang degup jantungnya selalu tidak bersahabat.
“Apa sih, kok jadi gitu?” Livia hendak melepaskan tangannya, namun tetap di tahan oleh Aksa.
“Sekali lagi berkutik itu artinya lo minta dicium bibir. Hem?”
“Iya-iya. Is, awas dah. Puas kan, kamu?” ketus Livia, sebelum Aksa benar-benar mendaratkan bibirnya di bibir Livia.
Oh, jangan sampai kalau itu terjadi.
“Yes!” Aksa bersorak senang, kemudian memeluk Livia.
Samar-samar terdengar suara tepukan yang meriah dan lambat laun suara-suara tersebut semakin jelas. Aksa dan Livia pun melepaskan pelukan dan beralih ke arah teras. Aksa gelagapan saat aksinya ternyata diketahui mama serta papanya.
Mereka semakin berdekatan. Suasana mendadak jadi canggung begini, Aksa menggenggam erat tangan Livia.
“Cowok gentle itu cowok yang mau mengungkapkan perasaannya langsung tanpa perlu mengulur waktu. Cowok gentle itu yang mau terima pasangannya dalam segala kekurangan apapun, karena sejatinya manusia tidak ada yang sempurna. Bukankah begitu, Tuan Aksa?” goda Javier Damian.
Sedangkan, sang istri hanya tertawa sembari menggeleng. “Ada-ada aja kamu, Pa. Anak sendiri digodain,” kata Iva—-istri Javier—-mamanya Aksa dan Davina.
“Pa, Ma. Aksa mau ngomong penting boleh, kan? Demi kesejahteraan rakyat Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat nelangsa,” sambung Aksa malah melipir ke mana-mana kata-katanya.
“Ya sudah. Papa sama Mama tunggu kamu di ruang kerja, ya, kalian masuk aja. Ganti baju terus makan jangan lupa. Davina udah dia, anaknya tumben-tumbenan sekarang lagi belajar Fisika. Katanya biar bisa pinter kayak kakak cantik,” jawab Javier, kemudian melirik ke arah samping di mana kekasih putranya berada.
“Lo ke atas dulu, ya. Ganti baju dan langsung makan, nanti gue nyusul!”
“Ta-tapi—-”
“Gue pacar lo sekarang bahkan kalau perlu calon suami lo, puas?” potong Aksa cepat.
“Masuk!”
~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅
Teen FictionTernyata tanpa diduga keegoisan Naomi selama ini sebagai sosok mamanya mengantarkan putri kandungnya yang malang menuju ke jurang kematian. Setiap hari bahkan setiap detik hidup Livia tidak lepas dari bayang-bayang Naomi, Livia sendiri sudah muak da...