~ Selamat Membaca ~
S
epulang sekolah sesuai apa yang dia tekadkan kemarin siang, dan memang seharusnya kemarinlan dia mendatangi rumah Chessen. Hanya pemuda itu yang dapat membantunya agar menemukan keberadaan Livia karena kata Bu Vivian kemarin Livia dipindahkan perawatannya.
Aksa ingin mendapatkan pengakuan sesuangguhnya dari Chessen. Harapannya semoga saja bisa terwujud dan kini dia berada di halaman rumah keluarga Wiliam.
Dia melepaskan helm-nya. Sebelum memasuki rumah tersebut, dia melihat jam yang berwarna hitam melingkar di pergelangan tangan kirinya. Seharusnya Chessen jam segitu harus sudah pulang. Kalaupun tidak, mungkinkah dia masih melakukan ekstra basket? Mengingat dia sudah menjadi ketua ekskul basket sejak kelas X.
“Permisi, Bi. Chessennya ada?” tanya Aksa harap-harap cemas.
Si bibi yang membukakan pintu pun, tersenyum. “Silakan, Den. Tuan Muda sedang ada di kamar. Beliau sedari tadi nyerocos soal Non Muda.”
Non muda katanya? Apa itu Livia atau adiknya? Aksa tahu kalau Davina juga sering mendapatkan panggilan Non Muda kalau ke sini.
Aksa masuk ke rumah itu seperti yang sudah diizinkan oleh pelayan tadi. Dia langsung naik ke lantai dua menemui kamar Chessen dan meminta penjelasan pada bocah yang telah merebut hati adik kecilnya.
Sesampainya di sana, dia membukakan pintu dan mendapati Chessen tengah asyik menonton acara televisi sembari menyomot makanan di tangannya. Tidak tahu apa itu, tapi seketika setelah merasa ada seseorang yang menghampirinya. Chessen mematikan layar televisi dan mempersilakan Aksa duduk di ranjang.
“Ada apa, Kak?”
Aksa berdecak sebal. Dia berpikir seharusnya Chessen bisa menebak kedatangan dia, bukankah seorang Chessen Keanandra William pintar dan ketua ekskul basket? Ah, apa itu hanya pencitraan saja tapi sebenarnya Chessen pun sama dengan dirinya memiliki kapasitas otak pas-pasan tidak seperti Livia, sang kekasih.
Melihat tatapan Aksa seperti itu pada Chessen. Si pemuda tampan keturunan Amerika itu terkekeh pelan, lalu melangkah mendekati lemari samping meja belajarnya dan mengambil sesuatu dari dalam sana.
“Tangkap, Kak!” titah Chessen dan tanpa aba-aba pemuda tampam itu langsung melemparkam sebuah kotak yang tidak tahu berisi apa di dalamnya. Namun, untung Aksa bisa mengambilnya tepat.
“Sudah saatnya lo tahu tentang semuanya, Kak. Gue harap lo bisa terima semuanya dan lo tenang aja Kak Livia baik-baik aja. Buka gih, penasaran gue isinya apa!”
Apa-apan ini Chessen malah seenak jidatnya menyuruh ini itu? Ah, tapi tidak apa-apalah toh pemuda itu mau menjelaskan sesuatu tanpa Aksa harus mengeluarkan urat-urat nadinya dulu. Iya, begitulah.
Jari jemari Aksa membuka kotak berwarna peach yang telah dihiasi oleh pita dan terdapat tulisan di sana.
Untuk Aksa Damian, orang yang paling baik hati sedunia.
Tanpa disadari. Dia merasa bibirnya terasa berkedut ingin dia tersenyum lantaran merasa malu sebab tulisan berbentuk pujian yang khusus dilayangkan untuknya. Oh ayolah, sejujurnya Aksa tidak sebaik itu. Dia saja masih berusaha untuk menjadi seseorang yang baik.
Menjadi manusia paling bergunan selama hidupnya.
Dibukanya kotak tersebut dan dia menemukan sebuah album berukuran kecil dan terdapat foto dia dan gadis itu—Livia. Keduanya saling merangkul dan tersenyum di sana. Lalu, mengambil secarik kertas berwarna merah muda, mulai membuka serta membacanya.
Teruntuk Aksa, laki-laki terbaik dan orang paling ramah di dunia ini.
Hai, apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya. Kamu jangan sedih, ya, karena nggak bisa temuin aku di rumah sakit. Aku sengaja bilang ke Mami Viola agar dia meminta untuk tidak mengizinkan kamu masuk dan menyembunyikan aku dari semua orang. Maaf, kamu jangan marah, ya!
Aku tidak tahu, aku juga kenapa sampai bisa seperti ini. Yang jelas aku hanya ingin membuat mama Naomi setidaknya sadar. Apa dengan aku tiada dia bisa peduli sama aku atau dia malah biasa aja. Sa, maaf, ya! Aku tahu kamu pasti kangen sama aku, kan? Sama. Aku juga, hehehehe.
Kamu baik, aku yakin kamu nggak akan marah sama apa yang aku lakukan. Oh iya, bilang ke Lea untuk tidak merasa bersalah, ya! Aku pergi sebentar saja kok, aku cuma mau bisa pengobatan secara menyeluruh, aku nggak mau menahan sakit ini terlalu lama. Aku pengen bebas, iya. Bebas dari segala rasa sakit serta kebencian mama.
Jujur, kalau seandainya dengan kematian bisa buat mama Naomi bahagia. Sebenarnya aku mau, aku ikhlas jika Allah mengambilku detik itu juga. Tapi, sayangnya Allah masih sayang sama aku sampai Dia tidak ingin aku mati sia-sia.
Sa! Tunggu aku, ya. Aku akan kembali pulang. Jaga diri baik-baik dan jaga Davina juga. Oh iya, Vina pernah cerita kalau dia kesal banget sama kamu karena kamu selalu membuatnya marah. Sa! Jangan gitu, dia adik kamu! Buatlah dia bahagia dan merasa beruntung karena telah memiliki kakak sebaik dan seramah kayak Aksa Damian Axelle, ya.
Aku sayang kamu, sayang banyak-banyak.
Baik-baik di sana, ya. Aku pasti sembuh.
Love you, Aksanya Livia
Sontak saja Aksa tak bisa lagi membendung air matanya. Bola matanya yang sedari tadi memanas dan mencoba untuk bertahan agar tidak terlalu terlihat alay di depan Chessen tapi nyatanya semua salah. Aksa bisa menangis juga. Apa daya. Terlebih saat baca kalimat akhir.
Sekarang dia tahu alasan di balik kepergian Livia walau hatinya tidak rela. Namun, dia teringat jelas akan tulisan yang mengatakan kalau dia memaafkan kesalahan Lea. Ah, apa-apaan ini?
Kenapa dia sebaik itu, sih, terutam pada seseorang yang telah membuatnya celaka?
“Kapan dia kembali, Sen?” tanya Aksa sambil menyeka sisa air matanya.
“Nggak tahu. Kata Mami sama Papi kalau udah ada perkembangan lebih baik, ya Kakak pasti balik. Tenang aja, Kak. Serahin semuanya sama nyokap bokap gue. Kak Liv aman kok,” jawab Chessen mencoba menyabarkan Aksa yang sepertinya sudah tak bisa menahan kerinduannya.
“Oke. Gue percaya!”
Tanpa mau beranjak dari tempat duduknya sekarang Aksa malah menjauhkan tasnya dan melemparkannya di tempat asal. Setelahnya dia pun merebahkan tubuhnya di kasur sembari menatap figura yang mana ada foto dia dan pacarnya.
Foto itu diambil saat beberapa hari setelah pacaran dan mereka berkunjung ke salah satu taman bermain.
“Aku rindu, Yang. Kapan? Kapan kamu bakal pulang?” tanya Aksa pada dirinya sendiri.
Sedangkan Chessen dia sudah mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Ya itu lebih baik daripada dia harus mendengar racauan atas kerinduan calon kakak iparnya.
“Dia ada di sini, Bee. Tenang aja, kek nya molor dah hahaha.”
Terdengar suara tawa Chessen yang menggelegar di sana dan itu tak mengganggu Aksa yang mulai memejamkan mata. Saking lelahnya dia pun tertidur.
~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅
Ficção AdolescenteTernyata tanpa diduga keegoisan Naomi selama ini sebagai sosok mamanya mengantarkan putri kandungnya yang malang menuju ke jurang kematian. Setiap hari bahkan setiap detik hidup Livia tidak lepas dari bayang-bayang Naomi, Livia sendiri sudah muak da...