Prolog

98 24 1
                                    

Halo, hai. Anyyeong!! Hehehe.

Ketemu lagi sama aku di sini, kali ini dengan cerita baru yang lebih iwaw. Heheh, semoga kalian suka, ya. Tapi jangan lupakan cerita lamaku juga dong.

Yuk, ah. Kita mulai.

~ Happy Reading ~

Hidup itu pilihan. 

Tergantung kita bagaimana menyikapinya, bagaimana kita menentukan pilihannya tersebut untuk keberlangsungan hidup seseorang. 

Namanya—-Livia Pramudita. Gadis malang berambut panjang dengan poni rata serta si pipi chabby itu pun mengusap peluh di keningnya, sebab sepulang sekolah tanpa dibiarkan untuk menyantap makan siang lebih dulu atau hanya sekedar meneguk minumnya sedikit saja setidaknya agar tenggorokannya merasa basah. 

Sayangnya, atas keegoisan Naomi Odelia Pramudita—-sebagai sosok ibu justru tidak membiarkan Livia melakukan aktivitas tersebut. Perut Livia bahkan sudah memberi kode sejak beberapa jam yang lalu meminta untuk diisi. 

“Ma! Boleh, ya? Perut Livia perih banget,” keluh gadis itu. 

Naomi dengan lantang menolak keras permohonan putrinya. “Kamu ini gimana, sih. Nggak lihat ini kita lagi banyak pesenan begini. Masih mau males-malesan, nggak! Nggak ada. Kamu sekarang anterin pesanan ini ke Jln. Muara Hitam no. 76 sana!” titahnya sembari berkacak pinggang.

Seingat Livia, Jln. Muara Hitam no. 76 itu komplek tempat tinggal keluarga terpandang seperti Aksa Damian Axelle. Namun, haruskah dia tetap pergi ke sana dengan kondisi perutnya sendiri masih perih. Sementara, hari sudah sore seperti ini. 

“Tapi, Ma. Boleh Livia minta uang jalannya, nggak apa-apa buat beli cilok lima ribu juga. Livi—-” 

“Jangan harap!” tolak Naomi dengan keras. “Bukannya kamu punya uang gaji dari hasil nulis kamu itu, kan? Hah? Gunain aja sendiri!” 

Astaga. Dari mana Mama tahu kalau aku punya uang? Tapi … bukannya uang itu dia sendiri yang mengambilnya. Aku masih inget, sungguh!’ batin Livia.

“Tunggu apa lagi! Pergi cepat!” usir Naomi. 

Pada akhirnya Livia berjalan dengan langkah gontai, keringat di keningnya tak berhenti keluar. Sebenarnya cuacanya kali ini tak terlalu terik, sejuk yang ada ditambah semilir angin berembus menerpa kulit wajahnya. Namun, ya tetap saja bagi Livia terasa panas. Bahkan dia belum sempat mengganti pakaiannya. 

Jarak dari rumah Livia ke tempat tujuan lumayan jauh, membutuhkan waktu sekitar sejam kurang. Syukurnya Livia berhasil sampai di tempat tersebut dengan keadaan selamat walau dia tidak bisa memungkiri jika sekarang tubuhnya benar-benar bergetar. Lemas tak berdaya.

Gegas dia memencet bel, berharap si pemilik rumah secepatnya keluar. Supaya Livia bisa segera pulang dan beristirahat, membersihkan tubuhnya sebab tak tahan dengan badannya yang lengket.

“Ke mana, ya?” tanyanya pada diri sendiri. 

Jalanan di sekitar pun tumben-tumbenan sepi. 

“Cari siapa, ya?” tanya seseorang yang muncul dari belakang Livia. 

Mendengar suara-suara yang berasal dari jarak dekat membuat Livia langsung berbalik dan menyapa si pemilik suara. 

“Ka-kamu? Ba-baru pulang, ya?” 

Pertanyaan Livia dijawab anggukan kecil oleh si pemilik nama yang menyapanya tadi. 

“Ma-Mama kamu ad ….” 

Livia menggantung kalimatnya bukan dengan sengaja sebab tiba-tiba saja kepalanya terasa pening dan pandangannya sendiri mulai kabur dan dalam sepersekian detik setelahnya tubuh Livia terjatuh begitu saja. Dia tidak sadarkan diri. 


                        ~ Bersambung ~

Semoga temen-temen suka, jangan lupa untuk share, vote and comment, ya.

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang