~ Selamat Membaca ~
“Sampai sini aja, Sa. Nggak apa-apa biar aku jalan ke sana, lagian rumah aku deket dari sini,” kata Livia.
Tidak ada dalam sejarah hidup Aksa ketika dia mengantar seseorang tapi malah berakhir menurunkannya di tepi jalan. Bukan Aksa sekali, jelas. Dia hanya ingin memastikan Livia bisa sampai ke rumah dengan selamat. Ups, tapi salah tidak ya kalau Aksa ternyata memiliki niat tersembunyi di balik semua itu?
Semoga saja mah tidak, ya. Ini pun Aksa melakukan seperti itu sebab dia merasa penasaran tentang kehidupan Livia di luar sekolah terlebih dua kali Aksa memergoki Livia mengigau menyebut tentang dirinya seperti tengah mengalami penyiksaan.
Ah, tidak!
Membayangkannya saja membuat Aksa bergidik ngeri, sumpah.
Aksa mengembuskan napasnya kasar. Aksa menurut begitu saja usai Livia meminta turun hanya di tengah jalan saja, tapi tidak apa. Ketika Livia sudah memasuki sebuah gang kecil itu Aksa akan mulai beraksi nanti.
“Kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telepon gue, ya, Liv!” titahnya sebelum Livia memutuskan pergi.
Si gadis berambut panjang dengan pipi chubby-nya itu mengangguk seraya tersenyum singkat pada Aksa. Sejujurnya dia baru tahu kalau Aksa seorang berandalnya sekolah dan tukang gelut itu ternyata memiliki sifat baik yang mungkin saja tidak banyak orang yang tahu pastinya.
“Aku pulang, ya, Sa. Sekali lagi terima kasih,” kata Livia.
Kali ini Aksa mengangguk, kemudian dia menunggu Livia berbelok ke gang kecil dan tepat saat harapannya itu terealisasikan barulah Aksa turun dari motornya setelah melepas helm, lalu selang beberapa menit setelahnya dia menghampiri sebuah warung kecil yang posisinya berada di sebelah gang itu tak jauh dari tempat di mana motornya berada.
Tak mau ketinggalan dan membuang waktu lebih banyak lagi. Alhasil, selepas Aksa menitipkan motornya dia bergerak dengan berjalan mengendap-ngendap seperti orang lagi maling saja padahal suasana masih sore dan memang tidak terlalu banyak orang yang hilir mudik di sekitar sana.
Bola mata Aksa membelalak tatkala dia tiba di belokan sebelah kanan dekat rumah kontrakan bercat coklat tua. Dia tidak salah. Matanya benar-benar masih berfungsi dan dia tidak salah jelas di depan sana dia melihat seorang gadis didorong kuat-kuat oleh seorang wanita paruh baya.
Dia tidak tahu siapa. Namun jika dilihat dari jarak dekat seperti sekarang ini, Aksa sangat yakin dan pasti kalau itu Livia.
Astaga? Jadi, selama ini dia di rumah mengalami penyiksaan begitu? Semenderita itukah cewek itu saat lepas dari pandangan seorang Aksa Damian Axelle?
Ingin dia mendekat, tapi apa daya dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Selain satu-satunya cara yaitu merekam semua aksi bejat yang dilakukan wanita tua itu kepada Livia.
Tapi kalau dia terus berdiri di sana, itu artinya dia akan membiarkan Livia disiksa begitu saja oleh wanita itu?
“Saya nggak mau tahu pokoknya kamu jangan harap bisa masuk ke rumah. Sebelum mengantar semua itu,” kata si wanita tua itu seraya melemparkan selembar kertas yang entah isinya apa Aksa tidak tahu. “Nah itu, alamatnya. Jangan sampai salah! Awas kalau salah, saya akan kurung kamu di toilet tanpa ada makanan sekalipun!”
“Ta-tapi, Ma—”
Wanita itu memelototi Livia sangat tajam, sehingga membuat Livia tidak bisa berkutik dan dia mau tak mau hanya mengikutinya saja tanpa bermaksud menyela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅
Ficção AdolescenteTernyata tanpa diduga keegoisan Naomi selama ini sebagai sosok mamanya mengantarkan putri kandungnya yang malang menuju ke jurang kematian. Setiap hari bahkan setiap detik hidup Livia tidak lepas dari bayang-bayang Naomi, Livia sendiri sudah muak da...