Part 07. || Ulah Naomi

21 10 3
                                    

                   ~ Happy Reading ~

Amarah dalam diri seorang Naomi Odelia semakin memuncak setelah tahu putri yang selama ini dia sia-siakan itu nyatanya selain terlambat pulang. Sekarang malah dia tahu kalau Livia benar-benar tidak kembali ke rumahnya. 

Naomi tentu tahu kalau Livia tidak pulang. Sebab, dia telah mencari keseluruh ruangan benar-benar tidak menemukan keberadaan putrinya.

“Anak sialan. Nggak tahu diuntung, bisanya nyusahin aja,” omelnya sepanjang dia melakukan aktivitas membersihkan rumah.

Naomi kerepotan sendirian tatkala baru saja mentari terbit, rumahnya sudah kedatangan orang-orang yang hendak memesan catering kepadanya. Memang semua orang sudah tahu tentang Naomi yang suka sekali dengan masakannya, sehingga tidak heran kalau pagi-pagi sekali dia kedatangan tetangga sampai ponselnya pun penuh dengan orang-orang yang memesan.

Yah begitulah. 

Tahu Livia tidak juga datang bahkan memberi kabar sekalipun. Naomi memencet nomor putrinya dan menghubungi gadis itu.

“Jangan pernah berharap saya akan membiayai pengobatan atau sekolahmu lagi, Anak Sialan! Kalau sampai nanti siang nggak pulang, semua barang-barangmu akan saya lenyapkan!” seru Naomi berapi-api, pada telepon ke putrinya.

Orang tua macam apa coba yang seperti itu? 

Hanya bisa berteriak, menyuruh dan mengancam. Begitulah Naomi—-wanita yang tidak punya perasaan itu. Sedangkan, ketika menghadap para tetangganya terkadang Naomi selalu bersikap manis lain saat sedang berdua di mana dia bak singa betina yang hendak menyantap mangsanya. 

Sungguh, menyedihkan. 

Sebenarnya hari ini dia akan datang ke sekolah. Iya, mau apalagi selain untuk menemui putrinya yang bagi Naomi tidak tahu diri itu. Entahlah, manusia satu itu entah kenapa bisa setega itu sama anaknya. Sayang, niatnya tertunda sebab dia diberondong dengan banyaknya pesanan. 

***

“Nggak usah dipikirin. Biar dia jadi urusan aku, ya? Kita berangkat aja sekarang,” ajak Aksa sambil meraih tangan Livia. 

“Makasih, ya, tapi aku nggak mau kalau sampai mama nanti ngapa-ngapain kamu.” 

“Nggak akan. Aku janji sama kamu,” sahut Aksa, lalu memakaikan helm ke kepala sang pacar.

Aksa dan Livia pun naik ke atas motor. Kendaraan itu pun dinyalakan si pemiliknya dan bersiap keluar dari halaman rumah meninggalkan bangunan megah milik papa dan mama Aksa. Jarak dari rumah ke sekolah tidak membutuhkan waktu terlalu banyak, hanya tiga puluh menit saja sudah sampai, tapi itu pun kalau ketika jalanan lenggang dan si pemilik kendaraan lagi kebut-kebutan di jalan.

Senyum si pemilik motor terbit tatkala dia melihat sebuah tangan mungil memeluk pinggangnya. Entahlah. Merasakan pertama kali mendapatkan pelukan seperti ini jelas membuat dadanya berdesir hebat. Ada rasa kehangatan dalam hatinya yang tidak pernah dia miliki dari siapa pun. 

Sesampainya di sekolah … di depan parkiran sana sudah terlihat anak-anak sedang berkumpul. Tidak tahu apa yang terjadi, sehingga memilih Aksa dan Livia menghentikkan motornya tidak jauh dari mereka tapi masih dalam posisi di parkiran. 

“Yang, tunggu!” panggil Aksa.

“Apa?” 

“Rambut kamu rapihin dulu, sini!” Aksa merapikan sedikit rambut panjang sang kekasih, lalu setelahnya mengecup kening gadis itu. “Dah sana.” 

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang