Part 18. || Naomi Bertemu Seorang Pria

8 3 0
                                    

                  ~ Selamat Membaca ~

Naomi melangkahkan kakinya menuju sebuah restoran termahal yang berada di Kota Jakarta, Jakarta Selatan lebih tepatnya. Setelah merasa lelah dihantui rasa bersalah serta bayang-bayang wajah Livia yang semakin lama semakin membuat Naomi muak sebab bekas luka di wajah gadis itu berhasil membuatnya terpaku diam membisu.

Wanita itu ke restoran tentu tidak lain karena dia masih memiliki uang. Iya, uang siapa lagi kalau bukan milik anaknya yang dia rampas waktu itu.

Naomi melangkahkan kakinya ke arah kanan dua meja dari depan tepatnya di dekat jendela.

Sore-sore begini rasanya sangat nyaman sekali kalau makan ditemani dengan suara rintik hujan yang telah turun beberapa menit lalu. Tanpa Naomi sadari dia selain table yang mengarah dekat jendela itu pun, di depannya terdapat sebuah pemandangan yang sulit sekali bisa di jelaskan.

“Papa akan izinkan kamu nanti buat kuliah di mana aja, tapi Papa harap kamu bisa jaga diri baik-baik aja, Nak,” kata laki-laki paruh baya di sana sambil mengusap lembut puncak kepala si anak itu.

Gadis kecil yang berada di depan laki-laki itu Naomi merasa jika usianya hampir sama dengan Livia. Melihat pemandangan mereka menjadikan dia tiba-tiba mengingat putrinya yang telah dia terlantarkan selama belasan tahun.

Si pelayan restoran itu pun datang membawakan pesanan untuknya yabg tadi dia pesan. Hanya es capucino dan cake coklat. 

Tidak tahu kenapa tiba-tiba Naomi tergerak hatinya untuk bangkit sambil membawa makanan tersebut ke meja yang ada di sana—-laki-laki paruh baya dengan gadis kecil di depannya. Tanpa malu, dia langsung meminta izin dan duduk di sana.

“Maaf. Apa kedatangan saya mengganggu kalian?” tanya Naomi gugup.

Laki-laki itu tersenyum. Sementara gadis cantik yang memiliki hidung mancung bak perosotan itu pun tidak kalah samanya menjawab seperti papanya. 

“Terima kasih,” kata Naomi sungguh-sungguh. “Oh iya. Istri Anda di mana, Pak? Nak? Apa kalian hanya berdua saja dan … sepertinya saya harus kembali ke tempat semula, khawatir jika—--” 

“Mama saya sudah berada di atas, di sisi Sang Pencipta, Tante,” potong gadis itu cepat. 

Astagfirullah, maaf. Maaf sekali lagi.” Naomi meneguk es capucino pesanannya dengan rasa canggung. 

“Nggak apa-apa kok, Tante. Kami memang selalu ke sini setiap weekend tiba dan kami selalu menghabiskan waktu berdua,” lanjut si gadis bercerita. 

Naomi hanya mendengarkan saja tanpa mau menyela ucapan gadis itu. Diam dan menikmati hidangan spesial yang disajikan dari restoran itu sepertinya cukup lebih baik.

Terbersit dalam hati Naomi untuk dia mengorek sesuatu tentang laki-laki di depannya. Naomi duduk di sampimg si gadis itu, tapi hati kecilnya mengatakan tidak sebab takut jika akan menyinggung ucapannya.

Seakan tahu apa yang tengah ada dalam pikiran Naomi. Laki-laki itu berucap, “kebahagiaan terbesar dalam hidup seseorang ialah di mana kita sebagai orang tua bisa meluangkan waktunya untuk menemani buah hati mereka.” 

“Ma-maaf,” kata Naomi terbata-bata.

“Kalau Tante ke sini sama siapa? Anak Tante ke mana?” 

Berbagai macam pertanyaan terucap dari bibir si gadis itu, Naomi tidak tahu mesti menjawab apa tapi yang jelas dia saat ini merasakan sesuatu bahwa hatinya tersentuh oleh ucapan laki-laki itu dan tanpa disangka membuat benteng pertahanan Naomi perlahan memudar dari yang awalnya penuh dengan kebencian kini bimbang.

Kala sesendok cake telah dimasukkan ke mulut Naomi sambil menyeruput es capucino setelahnya. Naomi mengatakan sesuatu terus terang pada mereka, tanpa atau dengan kesadarab wanita itu. Semua yang ada pada dirinya dan yang terjadi pada putrinya tak sedikitpun terlewat. 

“Kamu tahu nggak, Nak? Cake itu di mana-mana rasanya manis, ya?” tanya Naomi, membuat si gadis dan laki-laki itu menggeleng.

“Bagi saya. Semanis apapun makanan yang saat ini saya makan, itu semua tidak akan mampu membuat semua yang sudah terjadi di hidup saya kembali seperti semula. Cake ini manis, tapi tidak tahu kenapa saya merasa cake ini seperti tercampur oleh setetes racun yang membuat saya harus menelan itu, walau terasa pahit.” 

Si gadis tampaknya tak mengerti. 

“Dengan kata lain awalnya saya merasakan kehidupan antara saya dengan seseorang sangat begitu manis, kami saling mencintai satu sama lain, tapi semua hancur setelah sembilan bulan saya mengandung dan saya melahirkan seorang bayi perempuan.” 

Bayangan-bayangan kejadian masa lalu berputar ke sana-ke mari bagai kaset kusut. Dengan gamblangnya Naomi mengungkapkan isi hatinya tentang ketidakinginan dia akan bayi perempuan karena dianggapnya telah menghancurkan impian Naomi yang waktu itu masih berstatus istri Kinan walau siri.

Ibarat bayi perempuan itu ialah sebuah racun yang tanpa sengaja ditaburkan ke sebuah cake manis yaitu kehidupan Naomi sendiri.

Begitulah.

“Maaf kalau saya lancang sama Anda, Nyonya. Tapi menurut saya baik laki-laki maupun perempuan setiap anak mempunyai keistimewaannya sendiri, mereka titipan Allah yang patut kita jaga sebaik mungkin. Tanpa adanya mereka, tidak akan ada seorangpun yang bakal membantu kita di kala sakit, kita akan merasa sendirian saat kita tak mensyukuri kala Allah memberikan kita titipan,” tutur laki-laki itu panjang lebar. 

“Sekarang … sebelum semuanya terlambat, sebaiknya Anda cari dia dan memohon maaf atas semuanya. Kembalilah pada dia dan ajak dia pulang bersama Anda, saya yakin putri Anda akan memaafkan semua kesalahan yang telah Anda beri ke dia.”

 “Ih, Papa. Keren banget nasihatnya, Vania jadi bangga sama papa. Vania beruntung deh kayaknya punya Papa sehebat ini. Hem, andai saja mama masih ada pasti kita akan menjadi keluarga bahagia. Vania salut sama papa, terima kasih karena telah menjaga Vania sampai detik ini, Papa. I love you more, Papa.” 

Si gadis bernama Vania itu pun lantas berdiri dan beralih tempat duduk ke dekat laki-laki itu, kemudian memeluk laki-laki itu tampak sangat erat.

Ya Tuhan. Kenapa rasanya sesakit ini saat melihat kebahagiaan Vania dengan papanya, kehidupan mereka saja bahkan tampaknya lebih bahagia walau hanya berdua. Dan saya … saya malah merusak semuanya,’ lirih Naomi dalam hati. ‘Ya Tuhan, kalau seandainya saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan anak itu, apa bisa saya meminta maaf sama dia dan dia memaafkan saya? Aargh, kenapa kepala saya seperti dihantam batu besar, saja?’ 

Di senja yang kelam kali ini semua berakhir menjadi kelam tepat setelah Naomi mendadak mengeluarkan cairan merah dari hidungnya, lalu tidak sadarkan diri di depan anak dan papa yang tengah berbahagia itu. 

Tubuh Naomi diangkat oleh laki-laki itu ala brydal style. Sementara, Vania mengekorinya dari belakang. 

Semua mata tertuju pada Naomi dan keduanya. Laki-laki itu meminta putrinya untuk membuka pintu mobil, setelahnya mereka pergi dari restoran tersebut menuju suatu tempat untuk mengecek keadaan Naomi yang tak sadarkan diri.


~ Bersambung ~

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang