Part 15. || Firasat Seorang Ayah

9 4 0
                                    

Bismillah, selamat membaca semuanya.

Prang … 

Kinandra William—-Direktur perusahaan yang pagi ini harus menjalankan meeting penting di salah satu restoran mewah yang ada di Jakarta. Begitu dia keluar bersama sang sekretaris tanpa sengaja Kinan menjatuhkan pas bunga sesaat setelah dia mampir sebentar ke bagian divisi pemasaran.

Kinan menunduk. Bermaksud membersihkan pecahan pas bunga itu, tapi baru akan menyentuh satu demi satu pecahan beling itu, tangan Kinan mendadak terluka dan terkena pecahan pas bunga tersebut.

“Hati-hati, Pak,” kata sang sekretaris, “biar saya saja.” 

“Aargh.” 

Darah segar keluar dari jari telunjuk Kinan. Sejenak dia merasakan sesuatu mengganjal di hatinya sekarang dan semakin lama dia semakin merasakan rasa perih. Tidak tahu disebabkan oleh apa. 

“Permisi, Pak Kinan. Di luar ada Tuan Chessen, sepertinya beliau tergesa-gesa sekali dan dia mengenakan seragam sekolah,” kata Pak Satpam tiba-tiba muncul. 

“Ini masih jam delapan,” kata Kinan sambil melirik ke arah arloji mewah miliknya tak lagi memedulikan rasa perih yang menjalar di jari telunjuk dan perasaan tidak enak di hatinya. “Dia nggak sekolah, kah?” 

Pak Satpam lantas menggeleng. 

Tak lama Chessen muncul dari balik kerumunan. Pemuda tampan berseragam SMA itu tampak terlihat sangat cemas dan khawatir terlebih melihat papanya terluka. 

“Papi. Kita ke rumah sakit sekarang!” ajak Chessen.

“Memangnya ada apa, Nak? Kamu tidak sekolah?” Kinan bertanya balik. 

Di lobby tinggallah Kinan dan sang sekretaris juga putranya. Sebab, yang lainnya memilih melanjutkan pekerjaannya kembali pun dengan satpam. 

Sang putra—-Chessen Keanandra William—menceritakan mengapa dia langsung menemui papinya dan memilih izin tidak sekolah. Chessen mengajak segera papinya dan berharap secepatnya ikut bersamanya. 

“Mami kamu gimana, Nak?” 

“Mami saat ini sedang nangani Kakak, Pi. Ya udah ayo,” ajak Chessen lagi. 

“Gita! Saya minta tunda rapat kali ini sampai kondisi putri sulung saya membaik, saya harap selama saya tidak ada kamu bisa menangani semuanya. Jangan lupa kirim laporan ke email saya!” 

“Baik, Pak,” kata sang sekretaris. 

“Ayo, Nak.” 

***

Di sebuah rumah sakit elite di Jakarta seorang kakak beradik tengah menunggu pasien di luar dengan kondisi masing-masing sulit diartikan. Sang kakak yang terus saja menangisi pasien di dalam, tak lain kekasihnya. Sedang, sang adik dengan raut wajah antara kesal, sedih, cemas semuanya bercampur menjadi satu.

Sebisa mungkin Davina—-yang merupakan satu-satunya manusia paling waras di antara dirinya dan sang kakak. Davina sebisa mungkin menenangkan sang kakak dari rasa cemas yang terus melanda dirinya. 

“Kak. Cari makan dulu, yuk? Kakak dari tadi belum makan loh, atau cari minum?” Davina hanya mengajak, tapi nyatanya Davina mendapatkan penolakan. 

Davina melihat sang kakak beranjak dari tempat duduknya, lalu dia berdiri di balik pintu melihat ke arah dalam. 

“Kak!” seru Davina selembut mungkin, sambil menepuk pundak kanan kiri Aksa. 

Ma, Aku Ingin Bebas! [Telah Terbit] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang