DWC 22 - Harga Diri

22 8 13
                                    

Hari sudah siang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari sudah siang. Sejak kemarin belum ada sesuap nasi pun masuk ke perut. Hanya kerupuk melempem sisa orang yang sempat kuambil sebelum dibuuang ke tempat sampah.

Entah sudah berapa bulan aku mondar-mandir dari toko ke toko, dari kantor ke kantor, menawarkan ijazah SMK-ku yang ternyata tak bernilai apa-apa.

Semua selalu meminta sarjanan dengan IPK tinggi universitas ternama, untuk gaji yang hanya sepertiga UMR. 

Aku mengusap perutku. Kemarin aku sudah puasa sunnah Senin-Kamis. Apa perlu aku puasa daud kalau begini caranya?

Kutatap map yang sudah mulai lecek di tanganku. Aku rela digaji berapa pun asal dapat makan siang. Namun, tetap saja, tidak ada yang mau menerimaku yang katanya pemuda berwajah beringas dan tak cocok untuk bekerja kantoran atau menjaga toko-toko kecil mereka.

Aku mencoba mengamen, tapi aku tidak bermain musik. Aku hanya menyanyi dan tak banyak yang memberiku recehan sekadar untuk makan.

Suara perut kembali terdengar. Aroma bakso menguar terhidu hidung dari raga yang kelaparan.

Tanpa sadar aku bergerak mendekat salah satu kedai bakso besar di pinggir jalan dengan bangku-bangku panjang yang berjajar di luar. Kedai viral yang sedang banyak pengunjungnya.

Tanpa sadar aku langsung bergerak ke salah satu meha berdendang....

Aku di sini berdiri

Menyanyi disambut terik mentariiiii....

Perut lapar belum terisi....

Rasanya mau mati ketika harga barang semakin tingiiiii


Tak ada pekerjaan yang mampu kudapati

Bahkan ketika sudah kulamar san-sini

Aku tak pernah mengerti

Mengapa ujian ini harus kujalani?


Tiba-tiba mataku menatap sesuatu jatuh dari tas seorang ibu paruh baya. Sebuah gawai model terbaru yang sangat canggih. 

Kulirik sang ibu yang masih asik menuang saus ke mangkoknya.

Otakku menjerit minta mengambilnya! Namun, nuraniku berseru....


Biar hampir mati

aku masih punya harga diri


Aku membungkuk dan mengambil ponsel itu dan kuletakkan di sisi ibu itu.


Tak akan aku mencuri

Uang haram tak akan membawa rezeki

Malah menjadi bara saat di akhirat nanti....

Aku mengangguk padanya dan bergeser menjauh. Aroma bakso ini makin menyiksa perutku. Sebaiknya aku pergi saja dari sini segera.

"Mas!" 

Terdengar suara. Aku tetap berjalan

"Mas pengamen!"

Kali ini aku menoleh  dan melihat ibu tadi melambai padaku.

"Sudah makan?"

Entah kenapa mataku berkaca-kaca.

Entah kenapa mataku berkaca-kaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

22 deb 24

Akhirnya si Pengamen menikah dengan anak si Ibu kaya dan mewarisi seluruh hartanya [ga gitu]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhirnya si Pengamen menikah dengan anak si Ibu kaya dan mewarisi seluruh hartanya [ga gitu]

Bertunas Setiap HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang