Ketika membuka mata, hal pertama yang kurasa adalah gigil yang menyusupi telinga dan membelai tengkuk. Selimut tebal yang menutupi tubuh hingga bahu, gagal menghalau beku.
Ruang gelap dan lampu yang padam, membuatku kembali merasa sendu. Perasaanku masih kacau sisa bergadang menyelesaikan tenggat menulis di salah satu platform novel premium. Rasanya lelah sekali menyelesaikan bab demi bab dengan aturan yang kadang berubah begitu saja.
Kepalaku terasa sedikit berdentam. Perutku pun keroncongan. Aku baru sadar kalau kemarin, aku bahkan belum makan malam.
Aku terlalu sibuk merangkai kata hingga lupa sekitar. Jika alarm azan tak berbunyi, aku mungkin tidak akan bangkit dari kursi dan menunaikan salat. Jika hal krusial yang memengaruhi kehidupan abadi pun harus menggunakan alarm, bagaimana dengan makan dan lainnya?
Lagi-lagi aku merinding ketika angin pendingin ruangan menyapa wajah. Siapa yang menyetel AC dengan suhu serendah ini?
Perlahan kusibak selimut dan bergerak duduk. Menggigil sekali lalu dengan rasa penasaran aku menoleh ke arah nakas. Kucabut pengisi daya yang terpasang di badan gawai berukuran lima inci itu.
Aku membuka aplikasi untuk menaikkan suhu pendingin ruangan ke 23 derajat dan mematikan kipasnya.
Mataku menangkap indikasi baterai menunjukkan 99%. Senyumku terkembang. Membiarkan gawai beristirahat sejenak setelah dipakai seharian untuk bekerja, lalu mengisi dayanya sejak malam adalah kegiatan rutinku.
Suatu hal menyenangkan di pagi hari ketika menyadari gawai siap dipakai penuh setelah semalam menunjukkan angka 8%.
Aku tersentak.
Suara perut keroncongan dan rasa sakit yang melilit seolah menyadarkanku. Aku selama ini terlalu sibuk bekerja. Mencari sesuap nasi, menorehkan kata dalam lembar putih untuk merajutnya jadi cerita. Namun, aku mengabaikan banyak hal.
Aku mengorbankan banyak hal!
Prioritasku berantakan.
Aku tidak seperti baterai gawai yang selalu terjaga baik. Jika sudah hampir habis, pemiliknya—yaitu aku—akan dengan telaten mencoloknya pada pengisi daya dan menunggunya hingga penuh.
Aku bahkan rela membeli pengisi daya mahal yang mampu menghentikan arus listrik secara otomatis jika sudah 100% hingga aku bisa tenang mengisi daya sambil tidur.
Namun, ternyata aku tidak lebih baik menjaga kesehatan tubuhku daripada menjaga kesehatan ponselku.
Mungkin sebenarnya, aku sudah lama sadar kalau tubuhku memberontak. Tubuhku tak ingin lagi aku menghabiskan waktu menulis ribuan kata seharian.
Namun, aku butuh uang. Biaya sekolah anak-anakku mahal. Aku bisa apa?
Kupandang sekali lagi gawai yang kini menunjukkan pukul tiga pagi. Gawai dengan sinar putihnya yang menyilaukan di tengah gelap.
Perutku kembali terasa perih. Jadwal makan dan tidur yang serampangan akhirnya mulai menimbulkan dampak. Apa uang yang kudapatkan cukup untuk mengobati sakitku kelak?
Kali ini aku mengeluarkan suara debas keras.
Ya ... Harusnya aku seperti baterai. Sadar ketika sudah terlalu lelah. Beristirahat dan kembali mengisi kekuatan.
Aku harusnya sadar kalau aku tidak setangguh penulis lain yang mampu menulis hingga sepuluh ribu kata setiap harinya.
Aku hanyalah aku. Penulis yang hanya mampu menulis 500-1000 kata setiap harinya.
Baterai tubuhku sudah menggelembung minta untuk diistirahatkan. Sejenak aku memejam mempertimbangkan banyak hal.
Tiba-tiba aku merasa kecupan lembut di jemariku.
"Mama? Peluuuk!"
Seketika itu juga keputusanku pun sudah bulat.
"We take better care of our smartphones than ourselves. We know when the battery is depleted and recharge it" ~
Arianna HuffingtonPhoto by Mohamed Abdelghaffar from Pexel
Jumlah kata : 476
08 Jan 23
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertunas Setiap Hari
غير روائيApa yang kamu pikirkan setiap baru membuka mata? Tentang rencana hari ini? Tentang mimpi yang ingin dicari? Atau justru duka malam tadi? Ini kisah acak tentang pikiran-pikiran yang muncul ketika menyesap teh, menghidu aroma kopi, menatap tetes huja...