✿ Bag. 16 - Just Two of Us (2)

27 7 0
                                    

°•°•°•°•°•°•°•°•

Lilitan terakhir di pergelangan tangan Ayana, menjadi pertanda bahwa gadis itu selesai diberi pertolongan. Dayzen tempelkan plester berwarna merah muda, persediaan yang Axelle punya di kotak P3K apartemennya. Lutut Axelle tidak berhenti gemetar, satu tangannya menopang tangan lainnya yang sedang gugup. Berulang kali Axelle mengusap wajahnya, menutup mata, lalu melirik Ayana yang sedang ditangani Dayzen di atas ranjang.

Saat Dayzen selesai menempelkan plester ke kedua lengan Ayana, segera Axelle berdiri dari duduknya di sofa. "Gimana?" Tuntut Axelle buru-buru meminta penjelasan.

Dayzen sedang terlelap di sebelah Diandra tadi, saat tiba-tiba ponselnya berdering brutal. Melihat satu nama yang bahkan tidak pernah menelefonnya jika sudah malam hari tiba, membuat Dayzen berpikir bahwa Axelle benar-benar membutuhkannya. Jadi segera ia datang ke apartemen ini, dan menemukan temannya yang sudah kacau. Rambut acak-acakan, bekas darah yang sudah mengering di baju tidurnya, dan mata yang sembab.

"It's okay, Xelle. Lukanya nggak dalem. Kayanya agak tumpul benda yang tadi Ayana pakai. Lo beres-beres dulu, gih. Ayana gue yang jaga." Ucap Dayzen, memberi perintah pada Axelle dengan dagunya.

"Thanks God."

Lutut yang sedari tadi berusaha sekuat mungkin menggotong Ayana keluar dari kamar mandi, akhirnya rapuh juga. Axelle berlutut di pinggir ranjang, menyusuri surai kesayangannya. Perlahan, ia daratkan sebuah kecupan di kening Ayana. Lalu Axelle bawa tangannya mengelus pipi gadisnya.

"Aku pernah bilang bertahan sebentar lagi kan, Ay? Kenapa tetap dilakuin?" Satu tetesan air mata lolos dari kelopak Axelle, membasahi punggung tangan Ayana yang sedang lelaki itu hujani dengan ciuman.

"Xelle, bersihin badan Lo dulu."

Suara bariton di belakang Axelle menginterupsi, memaksa lelaki itu untuk segera melepas baju tidur dengan bekas darah. Dayzen bantu temannya berdiri, lalu memberi satu tepukan pelan di bahu Axelle. Mencoba memberi kekuatan untuk pria yang lebih tinggi darinya.

°•°•°•°•°•°•°•°•

Isapan Axelle pada rokok elektrik di tangannya tidak kunjung berhenti. Menyulut emosi Dayzen yang sejak tadi di sebelahnya. Sofa di balkon sengaja Axelle putar posisinya, tidak lagi menghadap pada pemandangan kota Bandung, tapi menghadap ke kamar dimana Ayana sedang terlelap. Dayzen tarik paksa rokok elektrik warna putih di tangan Axelle. Meletakkannya ke atas meja.

"Udah, cukup." Ketus Dayzen, memberi perintah pada lelaki seumuran di sebelahnya.

Tidak ada perlawanan, Axelle hanya menutup matanya kelelahan. Bayangan bagaimana darah masih ada di kamar mandinya sekarang, membuat lelaki itu meringis lagi. Apa yang gadisnya lakukan saat 15 menit tidak bersamanya tadi?

"Kalau gue nikah sekarang, gimana Zen?"

Kopi hitam yang baru saja Dayzen seruput, menyembur keluar. Untung saja, tidak mengenai siapapun diantara mereka. Pertanyaan dari Axelle benar-benar tidak masuk di nalar Dayzen malam ini. "Tidur gih. Makin malem otak Lo makin ngawur." Titah Dayzen.

"Gue serius, Zen. Lo lihat kan, cuma lima belas menit gue tinggalin udah ada kejadian kaya gini lagi. Gue beneran ngga bisa kalau sampai hal yang lebih buruk dari ini terjadi ke Ayana."

"Dengan Lo yang statusnya masih mahasiswa?"

"Tapi usia gue udah legal buat nikah. Gue bisa ambil cuti."

"Lo anak pemilik kampus, kalo Lo lupa. Berapa banyak yang bakal jadiin Lo panutan buat nikah di tengah-tengah study."

"Tapi, Zen..."

Mata Dayzen memicing, memberi tatapan tajam untuk Axelle . Debat diantara mereka makin panas saja. Kalau sedang tidak dalam keadaan begini, bisa dipastikan tinju Dayzen sudah melayang dari tadi dan berakhir di pipi Axelle.

"Beneran nggak mau sampai sekarang?"

Axelle paham apa yang ditanyakan temannya. Membawa Ayana pada psikiater, itu yang sangat ingin Axelle lakukan. Namun gadis itu selalu menolak, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Padahal Axelle selalu menghubungi salah satu psikiater yang keluarganya kenal, menginformasikan segala hal yang terjadi pada Ayana, meminta pertolongan secara diam-diam. "Belum juga." Ucap Axelle, pasrah.

"Tapi Lo masih sering ngehubungin beliau kan?" Dayzen lemparkan pertanyaan yang hanya dijawab anggukan oleh Axelle. "Coba ajakin lagi, atau seenggaknya jangan biarin Ayana ngelakuin apapun sendirian buat beberapa saat ini." Lanjut Dayzen.

Kepala Axelle mengangguk untuk ke sekian kalinya. Lalu pria itu pijat pelipisnya sendiri.

"Yaudah gue balik, ya?" Pamit Dayzen, yang berhasil membuat Axelle membuka mata.

"Nggak nginep? Udah tengah malem."

Dayzen menggelengkan kepala, menilik jam tangannya yang tertutup kemeja. "Memangnya, Lo doang yang punya cewek gampang kebangun kalo ditinggal?"

Gurauan dari Dayzen berhasil membuat Axelle terkekeh, lalu bangkit dari duduknya. Dayzen yang sudah tahu bahwa Axelle akan mengantar kepergiannya sampai di pintu masuk apartemen, secepat mungkin menahan temannya.

"Gue bisa balik sendiri, jangan tinggalin Ayana." Ucap Dayzen.

"Thanks ya."

Senyum manis dari Dayzen menjadi jawaban bahwa ia dengan senang hati melakukannya. Jadi Dayzen langsung undur diri, meninggalkan Axelle yang hanya mengantarnya sampai pintu kamar.

°•°•°•°•°•°•°•°•

Sudah pukul 1 pagi, tapi mata Axelle masih saja terjaga. Hampir 30 menit Axelle habiskan untuk memandangi wajah kecil di sampingnya, cantik sekali. Rambut legam yang selembut sutra, bibir tipis berwarna merah muda, dan hidung kecil yang bangir. Tidak lupa pipi yang mirip mochi, berwarna kemerahan tanpa riasan. Axelle angkat tangannya, merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik pujaannya.

"Xelle,"

Suara lirih Ayana mengejutkan Axelle, ia tarik tubuh gadis itu mendekat, mendekapnya erat. "Iya, aku disini."

Lantas Ayana nyamankan posisi dalam keadaan setengah sadar. Axelle sadari tubuh Ayana menghangat saat dipelukan, lalu lelaki itu menunduk mengecup bibir gadisnya.

Axelle bukan pria muda yang mudah menangis, apalagi di depan banyak orang. Terakhir kali tangisannya meledak adalah saat kabar kecelakaan pesawat kedua orangnya sampai ke telinganya. Saat itulah titik terendah Axelle terlihat di berbagai media. Namun tangisan-tangisan kecil karena Ayana, tidak pernah ada yang tahu selain dirinya dan yang kuasa.

Membayangkan bagaimana jika 6 tahun lalu dirinya tidak bertemu Ayana secara kebetulan di sekolah menengah yang sama, membuat Axelle merinding. Tidak bisa memikirkan hal yang lebih buruk terjadi selain hal-hal seperti ini. Percobaan yang sudah beberapa kali Axelle temukan dengan mata kepalanya sendiri. Tapi lelaki itu tidak bisa memaksa, gadisnya sama keras kepalanya dengan Axelle.

Aku baik-baik saja, kok.

Itu yang selalu Ayana katakan, seolah melupakan apa yang sudah dirinya lakukan. Tapi sepertinya kali ini Axelle akan lebih tegas, tindakannya harus lebih keras dari Ayana. Sungguh, Axelle hanya ingin melindungi Ayana. Lelaki itu hanya ingin wanitanya merasakan apa itu bahagia tanpa tekanan yang menghantui di kepala.

Lengan Axelle melingkar posesif, tidak membiarkan seseorang yang menempati posisi penting dihatinya jauh darinya. Kemudian perlahan, Axelle pejamkan mata. Tubuhnya sudah lelah, ia harus cepat beristirahat. Sebelum kesadarannya benar-benar terbawa mimpi, Axelle sanjungkan doa. Berharap angin malam membawa doa-nya lebih cepat untuk Tuhan dengar.

Tuhan, jika dunia memang terlalu jahat untuk gadis selemah Ayana, maka kuatkan aku untuk menjaganya. Izinkan kami, untuk tetap bersama.

°•°•°•°•°•°•°•°•

To be Continued

Wrote : Feb, 26th 2024

Published : March, 2nd 2024

Dyarydaaa

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang