✿ Bag. 37 - Breakfast

16 6 0
                                    

⚠️ Mention of kiss ⚠️

°•°•°•°•°•°•°•°• 

Pagi hari pukul enam lebih tiga puluh menit, Dayzen keluar dari kamar mandinya masih dengan bathrobe yang ia kenakan. Langkahnya ringan menuju lemari pakaian, lalu kenakan satu kemeja pendek berwarna navy dan celana katun panjang berwarna coklat. Lanjut, Dayzen mendekat pada meja nakas di sebelah kepala ranjangnya. Ambil satu parfum kesayangan lalu ia semprotkan ke tubuhnya.

Dayzen tarik laci paling atas pada nakasnya, hendak menyimpan parfum ke dalam laci. Ngeri jika dibiarkan tergeletak di atas akan pecah oleh sang bibi. Matanya temui satu botol putih yang sudah beberapa tahun ini menemaninya. Dayzen tersenyum, jemarinya keluarkan botol itu dari laci. Seusai memasukkan parfum, pria yang rambutnya mulai panjang itu bawa botol di tangannya ke tempat sampah kamar. Keluarkan semua isi didalamnya dan buang ke tempat sampah beserta botol tersebut.

"Sudah nggak butuh, kan?" Ujarnya bertanya pada diri sendiri, lalu Dayzen tersenyum.

Rumah keluarga Alvarendra menghangat akhir-akhir ini, tidak ada lagi teriakan atau suhu dingin yang mencekam. Bahkan mungkin untuk beberapa pembantu rumah tangga akan keheranan dengan Tuan, Nyonya serta Tuan muda mereka yang kini terlihat begitu dekat.

Dayzen bawa kakinya turun ke bawah, selesai mandi ia harus segera kembali ke kediaman kekasihnya. Semalaman sudah ia tidur disana, dan tadi Dayzen meninggalkan Diandra saat masih terlelap. Dayzen harus segera kembali sebelum bayi singa itu terbangun.

Sampai di bawah, Dayzen temukan dua orang tuanya yang sudah duduk di meja makan. Sudah rapi dan siap untuk berangkat bekerja. Jadi Dayzen mendekat pada mereka, bermaksud untuk menyapa.

"Pagi mah," Dayzen bubuhkan kecupan pada dahi sang ibu. "Pagi pah," dilanjut dengan melingkarkan lengan singkat pada bahu Alvarendra. "Nggak ada yang libur praktik hari ini?"

Dayzen duduk sejenak di kursi sebelah kiri papahnya, tuang satu kotak susu ke dalam gelas lalu meminumnya.

"Papah mau ketemu donor bapakmu. Selesai cek kesehatan pendonornya, habis itu cek cabang." Jelas Alvarendra.

Alis Dayzen terangkat ke arah mamahnya, bermaksud bertanya tanpa suara.

Perempuan paruh baya bergelar Sp. M itu melirik ke arah putra angkatnya seusai mengunyah omelet. "Ada appointment jam 10 habis itu mau ke salon."

"Sibuk semua bapak ibu Alvarendra." Ujar Dayzen, yang direspon dengan gelak tawa kedua orangtuanya.

"Ngomong-ngomong mah," Dayzen berhenti sejenak, rasanya ada kupu-kupu di perutnya setiap kali ia bisa memanggil mamah dan papah kepada dua orang di depannya ini. "Mamah bisa transplantasi kornea?"

"Kalau ada yang pendonor dan resipiennya, ya tentu saja bisa. Kamu butuh sesuatu?" Tanya wanita tua yang rambutnya hari ini dibiarkan tergerai.

Dayzen tersenyum, lalu mengangguk mantap. "Untuk saat ini, belum. Dayzen akan minta bantuan mamah suatu hari nanti."

Selesai dengan segelas susunya, Dayzen berlalu pergi meninggalkan meja makan. "Dayzen ke rumah Diandra dulu ya mah, pah. Selamat bekerja."

"Kamu nggak sarapan dulu?" Teriak nyonya Alvarendra, karena putranya sudah berlari sampai ke pintu depan.

"Nanti saja di sana, keburu ada yang ngambek, Mah!"

°•°•°•°•°•°•°•°• 

Kalau saja cermin rias di kamar Diandra ditanya siapa gadis cantik di dunia ini, cermin itu pasti akan berdusta. Nyatanya tuan putri Diandra pagi ini sedang mengeringkan rambut dengan merengut. Satu menit, dua menit masih berjalan lancar. Sampai di menit kelima, Diandra matikan hairdryer di tangan, lalu letakkan di atas meja riasnya dengan kesal.

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang