°•°•°•°•°•°•°•°•
Lima kepala yang duduk melingkar dalam diam sudah masuk ke dalam rumah, sesaat setelah keluarga Alva menyapa sang pemilik rumah. Hanya ada suara detak jam dinding tua yang gambar latarnya sudah memudar. Dan mata Dayzen yang sedari tadi tidak henti mengabadikan setiap sudut rumah yang sudah tidak ia masuki 14 tahun ini.
Deretan foto Dayzen sejak kecil terpampang di salah satu tembok. Dilanjut dengan matanya menangkap kamar di sudut yang berisi baju bayi dan anak kecil, tertumpuk rapi di dalam keranjang baju di atas kasur. Padahal Dayzen yakin betul kedua orang tuanya tidak memiliki putra selain dirinya.
"Ekhem."
"Silakan diminum dulu, Pak."
Deheman dari papahnya, juga suara dari bapaknya membuat Dayzen kembali fokus pada ke empat orang di depannya. Dilihatnya surat perjanjian bermaterai tergeletak ditengah kopi dan teh di atas meja. Ahh, surat perjanjiannya betulan ada ternyata. Pikir Dayzen.
"Maaf kalau saya terlalu egois dulu, meminta kalian untuk menjauh dari putra kalian. Saya terlalu takut bahwa Dayzen mungkin saja akan kembali diambil, dan saya akan kehilangan putra untuk kedua kalinya. Sementara saya sudah tidak mungkin memiliki putra lagi semenjak operasi pengangkatan rahim."
Penuturan dari mamahnya membuat Dayzen sedikit banyak terkejut. Dia tidak pernah tahu bahwa mamahnya melakukan operasi sebesar itu. Dan mengingat bahwa mereka bahkan jarang berkomunikasi kecuali untuk bisnis dan pendidikan, menyadarkan Dayzen bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang latar belakang keluarga Alva.
"Saya minta maaf karena perjanjian itu membuat kalian harus menahan diri selama ini. Saya sayang dengan putra kalian, dan menganggap bahwa kami satu-satunya orang tua Dayzen. Tapi ternyata itu justru menyulitkan kalian semua. Saya menolak kenyataan bahwa Dayzen punya dua orang tua. Saya menyesal, saya minta maaf."
Bibir Dayzen melengkung ke bawah, ia sudah siap menangis tapi harga dirinya sebagai seorang laki-laki sedang dipertaruhkan. Jadi ia bendung air matanya di kelopak, menahan sebisa mungkin untuk tidak mengalir.
Lengan ibu Dayzen terulur, mengenggam tangan wanita lain yang bahunya mulai gemetar. Sejak pertama kali ia membuka suara, kepalanya menunduk sempurna. "Nggak ada yang perlu disesali. Ibu juga sudah menjaga Dayzen dengan begitu baik. Tidak perlu minta maaf karena perjanjian ini kita buat secara sadar."
"Seperti perjanjian yang kita buat, saya akan melakukan operasi setelah Dayzen setuju mengambil jabatan itu."
Bapak dan ibu Dayzen memutar kepala, melihat pada putra semata wayangnya yang entah kenapa terasa cepat sekali bertumbuh. Kini ia sudah tampan dan berwibawa. Sebentar lagi jadi seorang dokter dan memiliki title yang bukan main kerennya.
Melihat bagaimana hidup Dayzen sangat jauh dibanding apa yang saat ini mereka rasakan, membuat air mata Bapak dan Ibu Dayzen berlinang. Membayangkan jika anak tunggal ini tetap hidup bersama mereka, mungkin fasilitas sebanyak ini dan pendidikan sebagus yang ia terima sekarang tidak akan bisa Dayzen rasakan.
"Saya kira Dayzen akan setuju dengan tawaran saya saat dia masuk sekolah menengah atas. Tidak lama setelah ayah saya memutuskan untuk beristirahat. Tapi nyatanya kalian harus menunggu lama. Dayzen sekeras kepala itu sampai baru mau menyetujuinya sekarang. Saya minta maaf."
"Papah nggak bilang apapun soal ini, pah. Aku nggak mungkin terima tawaran kakek sementara aku cuma anak angkat di keluarga kalian." Dayzen bahkan terkejut dengan apa yang barusan ia katakan. Seperti ada sisi dirinya yang lain yang menyuarakan protes ketika mendengar pernyataan Alvarendra.
"Saya minta maaf juga mengenai itu, Zen. Saya hanya ingin kamu menerima tanpa tahu alasannya."
Dengusan sebal dari Dayzen terlihat jelas saat mendengar jawaban papahnya. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk Dayzen meminum semua obat penenang miliknya. Bukan waktu yang singkat untuk memikirkan bahwa akademiknya harus sempurna setiap saat. Bukan hal yang mudah untuk ia harus tetap terlihat menjadi satu-satunya calon paling sempurna, dari deretan nama calon penerus kakeknya.
"Jadi hari ini, saya putuskan untuk perjanjian kita selesai. Dayzen sudah menyetujui menjadi pemimpin bisnis keluarga saya. Dan saya sudah berjanji pada Dayzen untuk melangsungkan operasi yang saya janjikan kepada bapak."
Meski sempat merengut tadi, tapi kali ini Dayzen tersenyum melihat bapaknya. Mereka saling beradu pandang, dan untuk pertama kali setelah belasan tahun hati Dayzen menghangat melihat senyum kedua orang tuanya.
"Bapak ngga perlu khawatir, Papah Alva memang menyebalkan tapi dia nggak pernah ingkar janji." Ujar Dayzen reflek bersuara.
Kaki Alvarendra menyenggol putranya. Kemudian melanjutkan kalimat yang sempat terpotong. "Akhir bulan ini sudah bisa dilaksanakan transplantasinya."
Dapat Dayzen lihat dengan jelas ibunya menggenggam tangan bapaknya erat. Diikuti deraian air mata yang tiba-tiba saja mengalir deras.
"Syukurlah, bapak ngga ngerasain sakit lagi. Nggak perlu cuci darah lagi." Untaian kata dari ibunya membuat Dayzen ingin menangis lagi sekarang.
Dayzen rasakan sentuhan di ujung jemarinya. Satu lengan wanita yang saat ini duduk di sebelahnya sedang mengusap punggung tangannya. Ia tolehkan kepala dan temui senyuman hangat yang lagi-lagi, baru pernah ia lihat. Mamahnya mendekatkan bibir ke telinga, mengucapkan kalimat yang benar-benar jauh dari yang biasanya Dayzen dengar.
"Kamu nggak mau samperin mereka? Peluk mereka?"
"B-boleh?"
Seperti diri Dayzen masih diatur untuk tidak mendekat dengan orang tua kandungnya, ia meminta izin pada orang tua angkatnya. Satu anggukan kepala disertai senyuman mamah Dayzen berikan. Dan dengan itu, pria muda itu mendekat. Memeluk kedua orang tua yang sejak dulu ingin ia rasakan kehangatannya.
"Ibu sayang sama kamu, nak. Kangen sekali mau peluk kamu." Ucap ibu Dayzen bersamaan dengan tangisnya yang tak kunjung reda.
Maka air mata yang sejak tadi ditahan-pun akhirnya lolos juga. Dayzen menangis dipelukan ibunya. Melepaskan segala emosi yang belasan tahun sudah tertahan. Anak kecil yang tidak mengerti apa-apa. Tidur di kasur lusuh dan bangun di kasur mewah. Tiba-tiba saja menjadi anak orang kaya dan memiliki segalanya, kecuali rasa kasih dan sayang.
Kini Dayzen bisa rasakan kasih dan sayang dari dua pasang orang tua. Rasa aman dan nyaman serta rumah untuk pulang. Dayzen tidak akan lagi kesepian, dia bahkan punya rumah ketiga untuk pulang. Iya, dia juga punya Diandra di hidupnya.
°•°•°•°•°•°•°•°•
To be Continued
Wrote : June, 2nd 2024
Published : June 4th 2024
Dyarydaa
KAMU SEDANG MEMBACA
A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]
Fiksi PenggemarSiapa sih yang nggak kenal "Tiga Pujangga" milik Universitas Darmawangsa? Diketuai sama cowok dingin bernama Askara Rangga yang bodoh banget urusan cinta, lebih ngerti caranya ngurus motor daripada ngurus cewek. Tapi bunga sama cokelat di pintu loke...