✿ Bag. 41 - The Last Petals

23 6 4
                                    

°•°•°•°•°•°•°•°•°

Dibandingkan dengan dinding rumah ibadah, dinding rumah sakit lebih sering mendengar doa-doa paling tulus dari hati manusia. Doa yang dijunjungkan dengan begitu pasrah, doa yang seringkali terselip rasa bersalah. Tempat dimana semakin rendah kepala yang menunduk, semakin erat Tuhan memeluk.

"Xelle, minum dulu."

Satu gelas kertas berisi teh hangat Dayzen ulurkan pada temannya yang rupanya sudah tak karuan. Rambut acak-acakan, seluruh baju dan celana yang berlumuran darah, dan gestur tubuh yang tak kunjung tenang.

Sudah hampir 30 menit Ayana di dalam sana, dan Axelle sama sekali tidak berubah dari tempatnya duduk. Ia masih terpaku di tempat yang sama ketika Dayzen menariknya untuk duduk di kursi tunggu. Lehernya masih saja menunduk, dan kakinya tidak berhenti gemetar. Dibawah sana, air mata yang lelaki itu tumpahkan sudah berubah menjadi genangan. Kedua jemarinya bertaut.

Axelle sungguh merayu Tuhan untuk lebih baik padanya hari ini dibanding hari-hari sebelumnya. Demi Tuhan, Axelle benci kembali pada keadaan seperti ini. Lelaki itu tidak ingin kembali ke ruang mayat seperti beberapa tahun lalu. Bertemu dengan orang kesayangannya yang sudah terbujur kaku. Bahkan memori kepergian kedua orang tuanya masih membekas. Dan kali ini, Axelle sedang merayu Tuhan agar ia tidak merasakan kehilangan untuk kedua kalinya.

Melihat bahwa lengannya dibiarkan terulur, Dayzen menyerah lalu bawa dirinya duduk, letakkan dua gelas kertas itu di sisi kirinya. Ia tidak akan menuntut cerita apapun, ia akan biarkan Axelle tenangkan diri. Jadi tugas Dayzen disini hanya pastikan Axelle tidak lakukan hal nekat apapun yang mungkin bisa laki-laki itu lakukan.

Netra Dayzen kembali menatap ruangan yang masih saja tertutup. Ia kenal betul dengan dokter yang saat ini bertugas di dalam. Salah satu dokter terbaik yang papahnya kenal, dan ditugaskan di cabang sini. Jadi Dayzen yakinkan diri bahwa beliau, adalah perantara Tuhan untuk keselamatan Ayana.

Di sisi lain, Dayzen khawatir kalau nantinya, ia harus menuruti permintaan terakhir Ayana.

°•°•°•°•°•°•°•°•°

Kedua mata cantik milik gadis yang tubuhnya sudah tak berdaya, memberikan respon ketika tersorot lampu terang. Berikan satu alasan sang dokter untuk kembali percaya bahwa ia akan berhasil. Meski tubuh perempuan di ranjang itu sudah pucat, dan suhu yang kian lama kian menurun. Namun tentu saja 5 orang itu usahakan segala upaya untuk lagi-lagi dengan lancangnya, bertarung dengan Tuhan siapa yang akan mendapatkan hamba-Nya.

Satu tetesan air mata mengalir membasahi pipi Ayana. Untuk kali ini, ia tidak bisa lagi rasakan apa itu sakit. Tubuhnya lemas, semua bagian dirinya terasa perih dan pegal sampai ia tidak bisa mengeluh lagi. Yang kini bisa Ayana lakukan hanyalah meremat gaunnya erat.

Pendengaran Ayana masih berfungsi, ia masih bisa tangkap suara riuh dari dokter di sisi kanannya. Meminta gunting, membuka luka dan membersihkannya. Beberapa kali memacu jantungnya agar Ayana tetap sadar. Dan dalam keadaan seperti ini, yang ada di pikirannya adalah lelakinya.

Ayana paham ia harus bertahan. Ayana tahu ia tidak boleh kalah dengan rasa sakit ini. Tapi tubuhnya tidak mau bekerja sama. Semakin lama, ia semakin tidak dapat merasakan apapun pada tubuhnya. Bahkan Ayana sudah tidak dapat rasakan seberapa banyak darah yang mengalir, seberapa banyak jahitan pada kulitnya.

"Pasien tidak sadarkan diri."

"Pacu kembali jantungnya."

"Ditemukan luka di pergelangan kaki kanan."

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang