✿ Bag. 27 - A Woman He Should Know

15 7 0
                                    

°•°•°•°•°•°•°•°•

"Bakar buku-buku mu, atau saya lakukan hal mengerikan pada gadis buta itu."

Tangan Rangga sudah mengepal kuat, kuku jarinya sudah memutih menahan emosi. Tidak pernah ia duga papah-nya akan bertindak sejauh ini. Atau mungkin memang Rangga yang sudah keterlaluan tidak pernah mengindahkan permintaan orang tuanya sehingga kali ini, Januar  sudah muak dengan apa yang Rangga lakukan.

"Pah, aku nggak harus bakar buku-buku ini. Aku bisa kasih ke orang lain yang butuh. Lagipula, aku nggak pernah gagal dapat nilai bagus, aku juga selalu ikut setiap papah rapat. Aku bisa bagi waktu buat pendidikan dan urus perusahaan, pah!"

Januar tenggak minuman keras di botol yang tersisa beberapa tegukan lagi. Matanya makin merah, kesadarannya sudah hampir menghilang seluruhnya. Pria paruh baya itu tatap mata anak tunggalnya.

"Kamu benar-benar anaknya. Keras kepalamu menurun darinya. Sama sekali tidak ada sifatmu diturunkan dari saya, sifatmu seratus persen mirip mamahmu."

Entah pengaruh alkohol atau Januar sepenuhnya sadar mengatakan itu, tapi pengakuan dari papahnya mampu membuat Rangga melongo. Baru pernah dalam hidupnya, papahnya mau membahas tentang wanita yang melahirkan Rangga.

"Mamahku?" Rangga spontan bertanya. Ia pun penasaran, seberapa cantik wanita yang melahirkannya, mengapa ia tetap dibiarkan hidup jika akan dikekang oleh Januar sepanjang hidupnya.

"Ck!"

Tubuh Januar bangkit, jalannya sempoyongan namun menolak diberi bantuan saat Rangga menyentuh tangannya. Pria tua itu berjalan keluar pintu, diikuti suruhannya yang sedari tadi menonton keributan ayah dan anak itu. 

Mungkin kesadaran Januar sudah hilang sepenuhnya. Dia tidak mengatakan hal apapun lagi mengenai buku-buku milik Rangga. Atau bercerita tentang wanita yang hanya menimbulkan tanya di otak Rangga. Jadi ia biarkan papahnya pulang, pergi dari apartemennya.

°•°•°•°•°•°•°•°•

Matahari sudah muncul dari timur. Tapi mata Rangga masih terjaga sejak semalam. Lihatlah bagaimana kantung mata hari ini timbul di bawah mata Rangga, akibat dari seberapa Rangga memikirkan kalimat Januar tengah malam tadi. Rangkuman dari segala yang terlintas di pikiran Rangga adalah, siapa mamahnya?

Dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang orang tua lain yang Rangga miliki. Terbiasa untuk memahami bahwa ia hanya memiliki satu orang tua, membuat Rangga tidak pernah terpikirkan tentang mamahnya. Dilingkari suster dan asisten rumah tangga yang jumlahnya belasan, menjadikan Rangga tidak merasa kekurangan akan hadirnya sosok ibu. Bahkan yang ada di benaknya selama ini hanyalah, mengapa ia harus dilahirkan oleh ibunya?

Rangga pijat pelipisnya. Jam baru menunjukkan pukul 7 pagi tapi ia sudah siap dan rapi. Mengenakan kaus putih dan celana jeans warna abu, serta jaket denim. Lelaki itu siap untuk mengunjungi rumahnya hari ini. Salah satu asisten rumah tangganya yang paling lama mengabdi, pasti tahu siapa yang melahirkannya. Rangga tidak tahan untuk mencari tahu.

Saat jarum panjang jam sudah berhenti di angka 6, Rangga sambar kunci mobil di atas nakas. Pukul 7 lebih 30 menit. Papahnya pasti sudah berangkat menuju kantor, dan ini saatnya Rangga datang ke rumahnya. Langit mendung meski matahari terlihat pagi ini. Jadi Rangga pilih membawa mobil dibanding motor hari ini.

Tepat sekali seperti dugaan ketika ia sampai di garasi rumahnya. Papahnya sudah pergi, terlihat dari satu mobil yang menghilang di garasi. Kemudian Rangga masuki rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi.

"Bi Imah dimana, mbak?" Rangga segera lontarkan pertanyaan saat satu asisten rumah tangga menyapa dirinya masuk ke rumah.

"Sepertinya ada di lantai dua, tuan muda. Membersihkan kamar tuan muda."

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang