✿ Bag. 34 - We've Face it Together (1)

14 5 0
                                    

°•°•°•°•°•°•°•°•

Sudah hampir 30 menit lamanya Rangga bersandar di bahu Raina. Tetesan air mata sudah mulai mengering, meninggalkan bekas pada lengan pendek gaun berwarna biru muda yang hari ini dipakai Raina. Gadis berambut sebahu itu sudah merasa kebas, tapi lelakinya masih belum juga lepas. Jadi Raina biarkan siang ini Rangga menunjukkan sisi lemahnya sampai puas.

"Rain?"

"Ya, kak?"

"Nggak capek?"

"Eum?"

Rangga angkat kepalanya menjauh dari sandarannya selama beberapa menit tadi. Lalu jemari lelaki itu selipkan pada jemari Raina. Rangga bawa punggung tangan si cantik untuk ia bubuhkan kecupan. "Makasih, ya?" Ucapnya sesuai mencium punggung tangan Raina.

"Untuk?" Tanya Raina, mengubah posisi duduknya menghadap Rangga di sampingnya.

"Makasih karena nggak ngeluh kak Rangga jadiin sandaran daritadi."

Raina terkekeh, ia bentangkan lengannya selebar mungkin. Saat dirasa tubuh di depannya tidak kunjung mendekat, Raina ajukan protes pada Rangga. "Kak Rangga nggak mau peluk?"

Yang ditanya hanya bisa melongo, membulatkan bola matanya sempurna sesaat mendengar pertanyaan Raina. "Kak Rangga boleh peluk?"

"Hari ini saja. Kak Rangga harus bagi sedihnya biar melebur dan hilang."

"Kakak nggak janji habis ini nggak kecanduan peluk kamu loh, Rain?"

Gadis muda itu miringkan kepala, alisnya bertaut memikirkan jawaban untuk perkataan Rangga. "Yang nanti biar nanti saja. Jadi sekarang Kak Rangga mau dipeluk, nggak? Pegel nih!"

Mendengar keluhan dari yang lebih muda, Rangga bawa lengannya melingkar di pinggang Raina. Kemudian kepalanya kembali beristirahat di ceruk leher sang dara. Usapan tangan mungil si cantik perlahan diberikan pada punggung bidang Rangga, mencoba menenangkan lelaki yang 3 tahun lebih tua darinya. "It's okay kak, mamah Kak Rangga pasti sekarang sedang tersenyum bangga lihat Kakak." 

Maka Rangga jawab perkataan Raina dengan anggukan. Sudah tidak ada yang bisa ia katakan. Pun, ego nya mengatakan bahwa ia hanya ingin terlihat kuat di depan kasihnya. Jadi Rangga hanya bisa eratkan pelukan, lalu tidak henti ucapkan terima kasih pada yang tersayang.

"Kak Rangga sudah ketemu papahnya Kakak?"

Penuturan dari Raina buat Rangga lepaskan tautan tangannya. Lalu tatap mata gadisnya yang berbinar. "Belum, kakak nggak berani."

"Kenapa?"

Ada jeda sebelum pemuda itu menjawab. Benar, kenapa? Kenapa pula ia justru datang kesini dibanding meninju orang tua satu-satunya itu? Menanyakan mengapa papahnya melampiaskan segala emosi kehilangan pada Rangga dan menyembunyikan satu-satunya wanita paling berharga di hidup mereka? Niat hati ingin mengeluarkan suara, yang Rangga terima saat ini adalah ia kehabisan kata.

"Harusnya kalian ketemu kak, selesaikan masalahnya. Kalian kehilangan orang yang sama, sudah seharusnya dihadapi bersama, kan?"

Raina tidak berniat mengusir yang lebih tua, ia hanya ingin abu-abu diantara Rangga dan papahnya menjadi jelas. Rasa rindu yang harusnya mereka obati bersama. Rasa kehilangan yang harusnya mereka jalani berdua. Bukan membiarkan ego menguasai mereka untuk selalu berkata, bahwa mereka baik-baik saja.

Maka yang selanjutnya Rangga lakukan adalah meminta izin cantiknya, usap pipi pualam Raina sebelum yakinkan diri untuk bertanya. "Izin peluk sekali lagi, ya? Setelah ini kak Rangga temui papah."

Tidak ada suara sebagai jawaban dari sebuah permintaan, tapi Raina kembali bentangkan lengan. Ia tunggu sampai lelaki di depannya memeluknya lagi. Dan saat gadis itu rasakan lengan kekar Rangga kembali melingkar di pinggangnya, Raina bisikkan kalimat manis untuk yang terkasih.

"Aku sayang Kak Rangga."

°•°•°•°•°•°•°•°•

Rumah berlantai dua itu terlihat sepi, padahal ada belasan pegawai di dalamnya. Mari kita tidak menghitung Januar sebagai manusia yang hidup di dalam sana. Karena sudah pasti, tempat dimana lelaki tua itu lebih sering berada hanya ada tiga.

Kantor, Bar, dan apartemen wanita sewaan.

Rangga susuri ruang tamu rumahnya, dan dapati satu buket bunga di atas meja. Ujung mata Rangga juga temui satu botol air mawar di sebelahnya. Dua barang yang buat Rangga penasaran karena tidak biasanya ada di rumah mereka. Namun lelaki muda itu acuh, pilih naik ke atas untuk tengok ruang kerja papahnya. Siapa tahu, Januar sedang lepas penat dengan botol anggur kesayangannya.

Satu langkah, dua langkah dan sampai akhirnya Rangga akan naiki anak tangga, netranya masih saja menangkap tatapan dari beberapa wanita muda disana. Maka Rangga tolehkan kepala, buat tiga perempuan yang sedang mengelap meja makan jadi memutus kontak secara tiba-tiba. Dan Rangga dapati satu netra yang sialnya sudah terkunci dengan miliknya.

"Saya Rangga, putra Januar. Papah dimana?"

Dibanding dengan tatapan kagum akan pahatan Tuhan di wajah Rangga, lelaki itu justru temukan gurat curiga dari para perempuan itu. Mereka kira pria tampan ini maling, kah? Apa mereka semua karyawan baru di rumah ini?

"Tuan ada di ruang kerjanya, tadi menolak makan malam dan naik ke lantai dua."

Lantas Rangga hadiahi anggukan beserta senyum tipis untuk balasan dari salah satu perempuan tadi, yang justru membuat heboh saat Rangga sudah naik ke lantai dua. Apalagi? Kalau bukan karena ketampanannya.

Sampai di depan pintu jati yang mati-matian Rangga hindari, ia ketuk pintu pelan. Lalu tangannya putar kenop pintu karena Rangga yakin, papahnya tidak akan mendengar suara ketukan pintu.

Benar saja, di dalam sana Januar sedang duduk merebahkan diri di atas sofa. Rangga temukan dua botol anggur merah yang menemani papahnya di atas meja, satu sudah terbuka dan satunya masih tersegel. Yang membuat hati Rangga pilu, potret wanita yang ia yakini sebagai mamahnya ada di atas meja juga. Potret yang sama dengan yang Rangga temukan sebelumnya. Rangga mendekat, langkah kakinya pelan sampai manusia lain di ruangan ini tidak mendengar derap langkahnya.

"Lihat seberapa hancur aku ditinggalkan kamu? Dan sialnya Rangga benar-benar persis sepertiku. Hal yang selalu kamu tanyakan sebelum kamu melahirkannya."

"Apa anak kita akan tampan sepertiku, atau cantik sepertimu? Harusnya hari ini kita rayakan ulang tahun bayi kita bersama. Tapi kamu egois dan memilih meninggalkan aku bersama anak itu."

Telak. Rangga tidak bisa memastikan apakah papahnya mengatakan semua itu secara sadar atau tidak. Melihat sisi lain orang tuanya yang selalu terlihat keras dan berwibawa. Bahkan saat ini, Rangga baru sadar bahwa hari ini genap 22 tahun usianya. Rangga bawa tubuhnya berdiri di belakang sang papah, menunggu jika ada hal lain yang mungkin akan orang tua itu katakan.

Tidak banyak kalimat yang diucapkan setelahnya, hanya racauan karena kesadaran yang mulai berkurang. Rangga hanya diam sampai satu kalimat terlontar dari mulut Januar.

"Atau aku mati saja? Atau aku harus minum semua alkohol supaya aku bisa ikut kamu?"

Maka ketika satu botol berisi anggur yang masih penuh itu Januar angkat dari meja, ketika itu pula lengan Rangga reflek terulur.

"Udah pah. Papah bisa mati."

°•°•°•°•°•°•°•°•

To be Continued


Wrote : June, 10th 2024

Published : June, 11th 2024 



Dyarydaa

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang