°•°•°•°•°•°•°•°•
Daun pintu berbahan daun jati itu tidak kunjung terbuka meski sudah diketuk dua kali. Rangga ulurkan lengannya, berniat mengetuk pintu untuk ketiga kalinya. Belum sempat jemarinya menempel, pintu itu sudah terbuka lebar. Menampakkan pria paruh baya dengan kumis tipis dan rambut ikal. Tubuh pria itu masih tegap dan gagah, meski usianya sudah lebih dari setengah abad.
"Siang Pak," Rangga memulai percakapan dengan canggung. Kepalanya menunduk, menunggu respon dari yang lebih tua.
Pintu yang semula hanya terbuka sedikit, kini dibuka seluruhnya. Menunjukkan isi rumah yang sangat sederhana dan rapi. Tidak ada suara apapun dari pria di depan Rangga, tapi lelaki itu langkahkan kakinya saat orang tua Raina memberi gerakan tangan mempersilakan untuk masuk.
Tenang. Ini kali kedua Rangga masuk ke rumah ini, setelah kemarin meminta izin untuk membawa Raina pergi bersamanya. Rumah dominan warna putih ini terlihat sangat sejuk di mata dan hati Rangga.
Raina ikut langkahkan kaki, lalu duduk di kursi ruang tamu. Tidak perlu waktu lama, sudut rumahnya sudah ia hafal dengan sempurna. Sisi sofa yang masih kosong Rangga duduki, berusaha untuk duduk sedekat mungkin dengan Raina.
"Sudah makan?"
Suara berat di seberang Rangga cukup mengagetkan untuk lelaki itu dengar. Ia angkat kepala, "Raina tadi sudah sarapan, pak." Tentu saja sudah, sekarang sudah jam 11 siang. Rangga mungkin akan pulang dengan kepala terpenggal jika anak putri mereka belum juga diberi sarapan.
Demi Tuhan, rasanya Rangga ingin menenggelamkan wajahnya ke inti bumi. Takut sekali melihat raut muka datar dari Ayah Raina. Malam tadi setelah semuanya terlelap, Rangga beranikan diri kirimkan pesan pada Ayah Raina. Mengabarkan bahwa anak putrinya ada di apartemennya bersama dengan beberapa anak lainnya.
Rangga bahkan sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi dengannya dan Raina. Menerima semua resiko yang akan ia dapat setelah membawa pergi anak orang semalaman, memberikan luka di wajahnya, dan terakhir mengembalikan Raina sepagi ini.
Dibanding Rangga, Raina justru setenang air rawa-rawa. Dia hanya diam saja, membiarkan Rangga menemukan sisi lain dari orang tuanya yang terlihat galak dan dingin.
"Loh dek, sudah pulang?"
Suara nyaring dari arah dapur kembali mengejutkan Rangga. Lelaki itu angkat kepala, bertemu dengan wanita paruh baya berambut sebahu dan berpakaian sederhana. Masih segar dan cantik, persis Raina.
"Sudah, Ibu." Raina membuka suara.
Rangga meneguk ludah, gemetar di kaki seperti hanya dirasakan olehnya. Tiga orang di sekitarnya terlihat santai saja.
Halo, anak putri kalian habis menginap di apartemen pria, dan pulang luka-luka?!
"Nak Rangga sudah makan?"
Pertanyaan dari ibunya segera disambar oleh Raina, bahkan sebelum Rangga sempat membuka mulutnya. "Belum, tadi nggak mau makan bubur ayam sama Raina. Katanya nggak biasa sarapan."
"Ibu habis masak ikan gurame Rain, enak banget. Pak Salim yang mancing." Ucap Ibu Raina, menceritakan bagaimana bahan masak hari ini di dapat dari supir mereka.
"Yasudah, ayo semuanya makan siang."
Eh?
Ayah Raina beranjak setelah mengajak, berjalan ke arah dapur menggaet lengan ibu Raina. Meninggalkan Rangga yang masih bertanya-tanya kapan ia akan dimarahi. Lengan Raina terulur, mengajak Rangga segera ikut ke dapur. Meninggalkan pertanyaan di otak Rangga,
KAMU SEDANG MEMBACA
A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]
Hayran KurguSiapa sih yang nggak kenal "Tiga Pujangga" milik Universitas Darmawangsa? Diketuai sama cowok dingin bernama Askara Rangga yang bodoh banget urusan cinta, lebih ngerti caranya ngurus motor daripada ngurus cewek. Tapi bunga sama cokelat di pintu loke...