✿ Bag. 7 - Hujan Sore Hari (3)

35 7 0
                                    

°•°•°•°•°•°•°•°•

Hawa dingin menyelimuti kamar berukuran 5x5 meter dengan dinding dan interior berwarna abu-abu itu. Bukan hanya karena hujan yang turun sangat deras diluar sana, namun juga karena adanya dua bongkah es batu yang kini duduk berseberangan di tepi ranjang, sedang saling beradu punggung. Dayzen menyisir rambutnya ke belakang, menyentuh bibirnya, kemudian menggelengkan kepala untuk menghapus memori di kepala. Begitu juga dengan Diandra, rambut cantiknya sudah berantakan karena berkali-kali ia tarik dengan kedua tangannya.

"Arrrgghh!"

"Issshhh!"

Geraman berat dan desisan nyaring dua manusia yang sedang bermusuhan, keluar dari tenggorokan bersamaan. Dayzen memutar kepalanya, sedang Diandra hanya melirik pria di belakangnya dengan ekor mata. "Lo ngapain sih Di, main cium-cium kayak tadi? Aba-aba dulu kek?!" Dayzen memulai pertarungan.

Sudah semenjak di mobil menuju ke rumah mereka yang bersebelahan itu, keduanya hanya diam saja. Membiarkan suara hujan mengisi ke dalam mobil dibanding dengan suara obrolan mereka. Keduanya berkutat dengan pikiran masing-masing, atau lebih tepatnya menenangkan jantung masing-masing. Sesampainya di garasi mobil rumah Dayzen, lelaki itu bahkan menarik lengan Diandra secara paksa sebelum gadis itu berlari kabur. Dayzen sudah tahu bahwa Diandra akan nekat mandi hujan dan pulang ke rumahnya untuk menghindari pria itu. Jadi dengan cepat ia bawa tetangga masa kecilnya itu untuk masuk ke dalam kamar.

"Lo duluan! Ngapain coba drama-drama begitu di depan anak-anak lain?!" Bantah Diandra membela diri.

"Kenapa Lo nggak tolak-tolakin sih Di, surat begituan? Hampir setiap hari Lo dapet, nggak muak? Nggak cemburu?!"

"Ya memangnya gue siapa bisa cemburu sama cewek-cewek yang mau deketin Lo?! Gue kan cuma tetangga Lo!"

Skakmat, Dayzen tidak bisa melawan lagi. Dia tatap mata Diandra yang masih merah menyala, entah karena marah atau karena ingin menangis Dayzen sama sekali tidak bisa menebak. Yang bisa lelaki itu pastikan, ada lelehan air di sudut mata Diandra. Dayzen tarik nafas panjang, merasa bersalah dengan nada tinggi yang sedari tadi ia gunakan untuk berkomunikasi dengan perempuannya.

Dayzen rentangkan lengan sepanjang mungkin sembari tersenyum, "mau peluk?"

Terlanjur marah dan gengsi, Diandra buang mukanya dari depan Dayzen. "Nggak mau!" Jawab Diandra galak. Gadis itu tatap kembali lantai kamar Dayzen yang berwarna putih tulang, melukis asal keramik itu dengan ibu jari kakinya. Diandra tidak suka dengan Dayzen yang seperti ini, berteriak-teriak saat berkomunikasi.

Ketika Diandra masih berusaha untuk menahan air mata karena ini bukan kamarnya, pinggang rampingnya terasa menghangat. Dayzen memeluknya dari belakang, menyandarkan dagu di bahu Diandra. Pria itu raih kedua tangan Diandra yang bertaut di atas paha, mengelus pelan punggung tangan seputih susu itu. "Maafin aku, ya?"

Diandra berusaha turunkan emosi setelah mendengar bagaimana Dayzen mengubah gaya bicaranya. "Buat apa?"

Suara Diandra tidak jelas karena bibirnya masih mengerucut sempurna, tapi Dayzen mengerti apa yang gadis itu bicarakan. "Karena tadi tarik paksa tangan kamu, teriak-teriak waktu ngomong sama kamu. Aku tahu kamu nggak suka." Jelas Dayzen.

"Kalau tahu nggak suka kenapa dilakuin?"

Benar juga. Kenapa harus Dayzen lakukan jika lelaki itu tahu Diandra tidak suka dibentak, tidak suka dipaksa? Dayzen seperti kehilangan kewarasannya sesaat Diandra mengecup bibirnya tadi. Dia tidak segila itu sampai berpikir akan macam-macam, Dayzen hanya tidak menyangka Diandra akan seberani itu, dan jantungnya akan seberantakan ini karena ulah gadisnya.

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang