✿ Bag. 31 - Pulang (3)

22 7 0
                                    

°•°•°•°•°•°•°•°•

Motor hitam milik Rangga terparkir rapi di depan toko bunga Raina. Tubuh jangkung pria itu enggan bangun, memilih duduk di atas jok motor sambil memandang cantiknya dari kejauhan. Rangga keluarkan satu slop rokok dari saku celananya, lalu membakar satu batang untuk ia hisap. Mencoba menghilangkan segala pikiran negatif di kepalanya, berharap terbawa kepulan asap yang keluar dari mulutnya.

Di dalam sana, Raina menghentikan jemarinya memotong daun yang mengering. Telinganya sudah mendengar derungan motor yang ia hafal dari tadi, tapi lonceng di pintu tidak kunjung berbunyi. Maka gadis cantik itu bangkit, membawa tongkatnya menuju pintu.

Sampai di ambang pintu, Raina hirup bau parfum coklat milik Rangga. Dan temukan lelaki itu berada di sisi kirinya. Jadi ia bawa langkahnya mendekat, namun baru 3 langkah kakinya berjalan, teriakan dari Rangga sudah masuk ke telinga Raina.

"Jangan ke sini Rain, aku lagi ngerokok. Tunggu di dalam 5 menit lagi!"

"Eh?" Dibanding mengiyakan perintah Rangga, Raina lebih dulu terkejut dengan apa yang lelaki di depannya teriakkan.

Rangga tarik nafasnya, lalu keluarkan satu kepulan yang tanggung sudah ia hisap. "Tunggu di dalem, aku masih bau rokok."

Dasarnya gadis milik Rangga kelewat polos dengan dunia, ia miringkan kepala. Lalu membulatkan mulut berkata "oh", dan kembali masuk ke dalam tanpa sepatah kata apapun.

Lalu secepat mungkin Rangga buang satu batang yang masih lumayan panjang ke aspal, mematikan bara dengan sepatunya. Ia masukkan satu permen mint ke mulut, kemudian ambil parfum di saku jaketnya. Sudah merasa cukup tidak ada bau rokok yang tertinggal, Rangga beranikan diri masuk ke dalam.

°•°•°•°•°•°•°•°•

Rangga temui gadisnya yang sibuk membuat kopi di pantry. Semenjak tahu bahwa lelaki itu adalah seorang pecinta kopi, Raina sediakan satu bungkus besar kopi hitam di toko bunga miliknya. Meski hanya derap pelan suara sepatu Rangga, Raina paham lelaki itu sudah di depannya.

"Aku saja yang bawa." Rangga menawarkan diri, maka Raina tinggalkan cangkir di atas meja. Berjalan menuju spot favorit mereka untuk duduk, dua kursi panjang berhadapan di dekat jendela.

Sudah hampir 15 menit mereka duduk berhadapan, tapi tidak kunjung ada yang memulai percakapan. Raina menunggu sebuah cerita, sedang Rangga sibuk memilih kata. Keduanya larut dalam pikiran dan tidak mau untuk memulai.

"Rain,"

"Kak,"

Ada jeda setelah mereka bersuara. Seolah mengerti ada banyak hal di pikiran Rangga karena suara lelaki itu melemah, Raina beri atensi lelaki itu untuk berbicara terlebih dahulu. "Kak Rangga duluan."

"Kamu saja duluan. Ladies first, you know?"

"Aku? Aku cuma mau tanya Kak Rangga kenapa."

"Kamu tahu aku kenapa-napa?"

Tentu saja. Sudah Raina bilang bahwa dia bahkan bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres meski tidak melihatnya. Dan kali ini, Raina rasakan bahwa lelaki di depannya ini tidak sedang baik-baik saja. Jadi Raina anggukkan kepala, membiarkan Rangga memulai cerita.

"Raina pernah marah pada Tuhan?" Yang lebih tua membuka suara, hanya dijawab anggukan kepala.

"Kak Rangga sedang marah pada Tuhan."

"Kenapa?"

Diluar dugaan Rangga, perempuan di depannya sudah bertanya bahkan sebelum Rangga sempat menarik nafas seusai mengucapkan kalimat.  "Aku baru tahu siapa yang melahirkanku setelah dua puluh satu tahun hidup, Rain."

"Oh ya? Siapa? Sekarang dimana?"

Meja kayu di tengah mereka riuh berbunyi, sebab dari jemari Raina yang ribut mencari tangan Rangga untuk ia genggam. Maka yang lebih tua bawa telapak Raina ke atas telapak tangannya, lalu sematkan jari mereka.

"Itu mengapa Kak Rangga marah pada Tuhan, Rain. Seharusnya Tuhan bawa saja Kak Rangga dan biarkan wanita cantik itu tetap hidup."

Jemari lentik yang sedari tadi mengenggam erat jemari Rangga, kini melemah. Bahu Raina turun, seiring dengan bibirnya yang melengkung ke bawah.

"Ibu Kak Rangga menghembuskan nafas terakhir saat Kak Rangga menarik nafas pertama."

Mulut yang lebih muda bungkam, membiarkan Rangga melanjutkan ceritanya namun ternyata hanya genggaman tangan yang semakin mengencang.

"Kak Rangga sudah bertemu papahnya kak Rangga?"

Seharusnya Rangga saat ini berada di depan Papahnya, memberi pukulan beberapa kali sebelum menanyakan segala hal yang perlu dijelaskan. Tapi anehnya, pria bertubuh besar itu justru duduk disini, menyesap kopi hitam di depan gadis yang bahkan tidak bisa melihat matanya yang sudah memerah. Nyalinya ciut, Rangga takut berakhir menangis di depan papahnya dibanding meninju lelaki tua itu.

"Kakak boleh duduk di sebelahmu?"

Raina tidak berkata iya, pun tidak menganggukkan kepala. Tapi tangannya menepuk ruang kosong di sebelah kanannya. Jadi Rangga bawa dirinya duduk di sebelah Raina. Tubuh yang lebih tinggi itu duduk bersandar, jadikan dirinya lebih rendah daripada perempuan di sebelahnya. Raina ikut mundurkan duduknya, menyandarkan punggung pada sandaran kursi.

Perlahan, kepala Rangga beristirahat di bahu gadisnya. Menutup mata yang sudah panas dan siap menumpahkan air mata kapan saja. Raina hanya diam, merasakan tiap tetes air yang lama-kelamaan membasahi bajunya.

"Sebentar saja, Rain. Seperti ini sebentar saja."

Jadi gadis itu biarkan lelakinya bersandar, menyalurkan lelah yang mungkin saja bisa terbagi dua kemudian hilang seluruhnya. Merasa bahwa lengan kiri Rangga menempel dengan lengannya, Raina tarik telapak yang lebih besar untuk ia genggam. Lalu Raina bawa tangan kirinya mendarat ke puncak kepala Rangga, mengusap perlahan.

Jadi disini tempatmu memilih pulang, Rangga?

°•°•°•°•°•°•°•°•

To be Continued


Wrote : May, 12th 2024

Published : June, 1st 2024




Dyarydaa

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang