✿ Bag. 40 - Sendu

22 6 0
                                    

°•°•°•°•°•°•°•°•°

SSRRRTTT DUUUARRR.

Sorot lampu dari mobil sedan hitam menghujani tubuh ramping yang terbalut gaun putih selutut. Diikuti dengan klakson panjang yang suaranya menggema mengisi jalanan. Darah di tubuh Ayana membeku, satu tangan meremat gaunnya erat, sedang jemari lainnya menggenggam buket di tangannya lekat. Kaki gadis itu seperti terpaku, iris berwarna coklat muda milik Ayana makin terang disinari headlamp mobil yang pemiliknya masih saja menginjak pedal gas. Sepasang bola mata cantik yang kini mulai berkaca-kaca. Ayana lirik pria yang kini sedang berlari sekuat tenaga dari ujung matanya, ia tarik nafas panjang sebelum tubuhnya benar-benar melayang.

Kejadiannya begitu cepat. Axelle yakin beberapa detik yang lalu netranya masih melihat bagaimana surai legam milik si cantik yang tergerai masih tertiup mengikuti arah angin bersama dengan kelopak bunga soga yang berguguran. Axelle yakin gaun putih yang ia belikan beberapa hari lalu masih putih bersih tanpa noda di depan matanya tadi. Gadis di depannya masih berlari riang dengan sepatu hak tingginya, melambaikan buket mawar merah di tangan begitu bahagia. Beberapa detik Axelle menikmati ciptaan Tuhan paling sempurna, detik selanjutnya ia melihat tubuh kesayangannya membeku dan berakhir ia berlari secepat yang ia bisa. Dan di detik terakhir, Axelle roboh di tengah jalan. Ditinggalkan mobil sedan yang justru melaju lebih cepat lagi.

"Ay..."

"Ayana..."

Kalau saja kedua kaki Axelle atau salah satunya bisa diajak kerjasama, ia tidak akan mendekat pada kesayangannya dengan merangkak seperti sekarang. Dan hal yang paling Axelle benci saat ini adalah bagaimana lututnya justru tidak bertenaga, dan pria itu tidak kuasa berlari. Axelle membiarkan telapak tangannya terluka serta celana yang sekarang sudah memperlihatkan goresan di lututnya.

Sedikit lagi, satu langkah lagi sampai ia bisa menyentuh jemari paling dekat milik Ayana dari tempatnya sekarang. Tapi tubuh Axelle terlanjur bergetar, tangisnya terlanjur pecah dan otaknya sudah tidak berjalan.

Sedikit lagi... Satu tarikan lutut lagi.

Dan ketika jemari Axelle yang sudah bergetar tak karuan bisa menyentuh jari tengah Ayana, lelaki itu genggam satu tangan sang dara secepatnya, membawa tubuhnya lebih cepat lagi untuk sampai. Axelle tahu harusnya ia cepat bergerak sekarang, tapi yang bisa ia lakukan hanya berlutut dan memangku tubuh Ayana.

Netra Axelle menyusuri tubuh perempuan kesayangannya. Rambut yang tadi tergerai kini sudah dialiri cairan merah. Wajah bahagia yang barusan pria itu saksikan, kini justru kesakitan. Axelle yakin ia berikan gaun putih ini amat bersih sebelumnya, tapi yang sekarang Axelle lihat justru bercak darah dimana-mana.

"Ayana, sayangku?"

"Ay?"

Riuh orang di sekitar mereka tidak bisa mengalahkan berisiknya otak Axelle sekarang. Demi Tuhan otak pria itu memikirkan banyak hal sekarang, dia bahkan masih mencerna apa yang barusan terjadi di depan matanya. Dan sekarang gadis di pangkuannya sudah lemas tidak berdaya.

"Ayana, sayang? Dengar aku?"

"Kamu akan baik-baik saja karena aku disini, okay? Aku nggak akan ninggalin kamu."

Berulang kali Axelle bisikkan kalimat yang entah ia tujukan untuk menenangkan Ayana, atau justru menenangkan dirinya. Satu tangannya menopang kepala Ayana, sedang tangan yang lain tautkan jari mereka. Tidak henti pula Axelle kecup dahi si cantik, berusaha memastikan bahwa tubuh di pelukannya masih hangat. Memanggil Ayana berkali-kali dan ucapkan kata manis yang tidak kunjung habis.

Di panggilan entah ke berapa, dan di kecupan yang kesekian. Bersamaan dengan sirine ambulan yang mulai terdengar dari kejauhan, Ayana berusaha membuka mata. Menarik ujung bibir sekuat tenaga,  dan tatap lelaki yang kemejanya sudah berlumuran darah pun basah karena air mata.

"Ay? Ayana? Aku disini, jadi bertahan ya? Sebentar lagi."

Masih saja, Axelle ucapkan kalimat-kalimat penguat meski dirinya sudah tidak lagi kuat. Sementara dibawah sini, Ayana tersenyum dengan mata yang berulang kali hampir menutup. Berusaha sampaikan satu kalimat sebelum ia terlambat.

Satu saja... Ayana hanya ingin sampaikan satu kalimat saja.

Maka seolah doa terakhirnya didengar Tuhan, Ayana membuka mulutnya pelan. Sebelum ambulans datang dan dia akan terlambat ucapkan.

"Axelle..."

Yang dipanggil berusaha tersenyum meski air mata masih saja mengalir, menatap netra Ayana lekat. "Hum? Aku di sini."

Satu kalimat dengan dua kata yang amat berat untuk Ayana sampaikan. Riuh kerumunan mulai kembali terdengar, dan suara nyaring yang mulai mendekat dari sirine ambulans. Tepat sebelum tandu terbuka sempurna, gadis cantik itu selesai sampaikan satu kalimat terakhirnya.

"Happy birthday..."

°•°•°•°•°•°•°•°•°

Suara roda brankar menjadi pertanda bahwa ada pasien gawat darurat yang harus diselamatkan. Di sisi brankar Axelle setia genggam jemari gadisnya. Meski sudah lelaki itu rasa dingin menjalar ke tubuhnya, tapi Axelle tidak berhenti panjatkan doa. Ayana seorang yang kuat, calon istrinya adalah gadis hebat.

"Mohon maaf, harap menunggu di luar selama tindakan."

Beberapa perawat menahan tubuh Axelle untuk tetap tinggal di luar. Sementara Axelle yang otaknya sudah tidak bisa berjalan, justru mengeluarkan seluruh emosinya. "SAYA HARUS TEMANI CALON ISTRI SAYA!"

Tapi percuma, teriakan Axelle tidak di dengar oleh siapa-siapa di sana. Semua sibuk menahan Axelle untuk tidak masuk ke ruang tindakan. Saat Axelle tetap memaksa masuk dengan tubuhnya yang gemetar, sepasang lengan memeluknya dari belakang.

"AXELLE! LO, DIEM DISINI ATAU AYANA TELAT DITANGANI!"

Maka ketika seluruh perawat mendapat kode untuk segera masuk setelah Axelle sudah bisa ditahan oleh satu suara yang ia kenal, mereka mengangguk patuh. Meninggalkan Axelle yang saat ini tubuhnya terjatuh, berlutut bersamaan dengan pintu ruangan yang ditutup. 

Kepala Axelle menunduk, tetesan air matanya kembali berderai membasahi lantai. Satu tepukan bahu mendarat menguatkan, yang justru menambah lemas tubuh Axelle sekarang.

"Gue nggak berguna, Zen. Gue nggak bisa jaga Ayana. Gue... gue..." Axelle tidak berhasil selesaikan kalimatnya, kembali menangis dan gemetar.

"Gue nggak nuntut cerita apapun dari Lo sekarang. Nangis aja, keluarin semuanya. Minta tolong sama Tuhan, dan percaya Tuhan kasih perantara keselamatan Ayana lewat dokter."

Air mata Axelle seolah tidak ada habisnya, terus mengalir begitu juga untaian doa dari hatinya. Axelle harus kuat, supaya di dalam sana gadisnya juga sama kuat. Tapi lelaki itu tidak bisa sembunyikan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Axelle akan keluarkan semua perasaan takut, kecewa, gugup, dan tangisannya sebelum nanti kembali bertemu Ayana.

Nanti, Axelle berjanji akan temui Ayana hanya dengan senyuman.

Dayzen, yang tadi tidak sengaja sedang melewati lorong rumah sakit karena ia sedang kontrol cabang kemudian mendengar teriakan suara yang ia kenal, melayangkan pandang ke luar. Langit kelabu, angin berhembus kencang sekarang. Guratan merah sudah menghiasi langit meski awan sedikit abu. Senja harusnya jadi waktu yang indah untuk kita tunggu. Tapi sore ini, senja amatlah sendu.

°•°•°•°•°•°•°•°•°

To be Continued

Aku, minta maaf kalau nanti akhirnya tidak seperti bayangan kalian...

Wrote : June, 26th 2024

Published : June, 26th 2024

Dyarydaa

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang