✿ Bag. 28 - They Proud of Me?

20 7 6
                                    

°•°•°•°•°•°•°•°•

Suara alarm handphone Dayzen cukup berisik masuk ke telinga. Lelaki itu matikan dengan sembarang, lalu membuka matanya perlahan. Gorden warna abu yang tergantung di jendela kamarnya tidak tertutup akibat Dayzen langsung tidur semalam, ketika papahnya pergi keluar dari kamarnya. Bahkan kemeja dengan motif garis vertikal masih melekat di tubuhnya, belum diganti dengan piyama seperti biasa.

Dayzen duduk bersila di ranjang, menghadap pada jendela. Dia tarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya kasar. Memikirkan keputusannya semalam membuat kepalanya kembali pening. Apa dia salah? Apa Dayzen harus egois untuk mendapat jabatan yang bahkan tidak pernah ia inginkan?

Sudut mata pria itu melirik ke atas nakas. Foto keluarganya terpajang di sana, hatinya ngilu mengingat bagaimana perlakuan ibunya terakhir kali berkunjung kesana. Tapi seberapa buruk perlakuan yang ia terima, tetap saja Dayzen rindu. Dia ingin bertemu orang tuanya.

Maka Dayzen berdiri, masuk ke kamar mandi. Bersiap diri untuk pergi bertemu orang tua yang ingin ia kunjungi.

°•°•°•°•°•°•°•°•

Mobil hitam milik Dayzen terparkir di pinggir jalan depan rumah sederhana itu. Ia turunkan jendela, namun dahinya berkerut sesaat melihat pintunya tertutup. Orang tuanya tidak pernah menutup pintu, kecuali jika tidak ada orang di rumah. Jadi lelaki itu lirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah pukul setengah 11 siang, apa bapaknya belum pulang berjualan?

Dayzen bawa mobilnya berputar, menuju taman kota di dekat rumahnya. Deretan penjual kaki lima masih ada melingkari taman, pantas saja bapak dan ibunya belum kembali ke rumah. Dayzen pandangi ibunya yang rambutnya sudah mulai memutih. Masih semangat melayani pembeli yang mengantri.

Tiba-tiba saja perut Dayzen bersuara. Lelaki itu lapar. Terakhir kali makanan masuk ke perutnya adalah jam 6 malam kemarin, saat ia makan malam keluarga sebelum pertemuan. Untuk pertama kali sejak 14 tahun lalu, Dayzen beranikan diri menyantap bubur ayam buatan bapaknya. Lalu Dayzen ambil masker di dashboard mobil, kemudian pakai tudung pada hoodienya. Dan turun, ikut mengantri di belakang seorang ibu yang menggendong bayi. Hanya ada ibunya disana, entah dimana bapaknya berada.

"Buburnya setengah porsi saja ya Bu, buat nyuapin anak ini. Sama dua lagi buat orang rumah." Ucap Ibu yang mengantri di depan Dayzen.

"Iya, boleh." Ibu Dayzen menjawab lembut.

"Iyen kok lama nggak kelihatan pulang? Biasanya seminggu sekali kesini."

Sambil menyiapkan bubur, Ibu Dayzen menjawab pertanyaan pelanggannya. "Iyen lagi sibuk katanya, belum bisa mampir. Tapi kemarin papahnya datang kok, cuma silaturahmi saja."

Dayzen sedikit terkejut mendengar bahwa papah Alva kemarin datang berkunjung. Tapi dia tetap diam, mendengar semua percakapan dengan seksama. Otaknya masih mencerna informasi yang baru pernah ia dengar.

"Kasihan ya, mereka. Sampai angkat anak karena nyerah ngga dikaruniai putra. Padahal sudah menikah lama."

"Nggak boleh begitu, Bu. Memang belum rejekinya mereka saja. Lagipula mereka ngga pernah ngelarang Iyen ketemu kami, kok." Terang Ibu Dayzen, sambil tersenyum.

"Bapak angkatnya Iyen baik ya, kalau datang kesini selalu bawa makanan. Ibunya juga cantik, kaya ibu-ibu sosialita."

Ibu Dayzen hanya terkekeh mendengarnya. Tapi informasi ini sukses membuat Dayzen terpaku saking kagetnya. Bukan hanya papah Alva, tapi mamahnya juga sering berkunjung?

A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang