°•°•°•°•°•°•°•°•
"She's having bumilia?"
Dayzen mengangguk setelah mendengar kesimpulan dari kekasihnya. Mempelajari hal yang sama dengan Kak Saras, membuat Diandra dengan cepat menarik kesimpulan hanya dari apa yang ia lihat. Lelaki itu duduk dari baringnya di atas kasur Diandra, mengacak puncak rambut perempuan yang bersila di depannya.
"Dia kan ballerina, Di. Berat badannya harus dijaga, tapi kayanya dia ngga bisa kontrol dirinya sendiri." Jelas Dayzen, menjelaskan semampunya.
Netra Diandra mulai berkabut, membayangkan seberapa sulit Ayana menjalani hidupnya. Gadis cantik periang, berprestasi, dan dicintai sebegitunya oleh seorang pria. Diandra pikir, hidup Ayana sudah sempurna.
"Jangan nangis, sayang."
Tangan Dayzen bawa perempuannya ke pelukan saat melihat Diandra sudah mulai menangis. Siapapun yang melihat Ayana sebagai seorang putri dengan hidup dan kepribadian yang sangat sempurna, pasti akan terkejut dengan sisi lain Ayana.
"She's pretty, she's gorgeous." Tidak ada yang bisa Dayzen katakan, ia hanya bisa mengelus rambut Diandra memberi gadis itu ketenangan.
Ting.
Satu notifikasi pesan masuk ke handphone Dayzen. Lelaki itu lirik benda kotak yang tergeletak di atas kasur, lalu tangannya segera meraih benda itu ketika melihat satu nama yang tertera di layar.
Papah Alva
Meeting, jam 7 malam. Pastikan kali ini kepemimpinan jatuh ke tangan kamu.
Helaan nafas Dayzen terasa di telinga Diandra. Ia tarik dirinya sendiri, kemudian tatap lelaki di depannya yang sedang menunduk. Tangis Diandra langsung berhenti, lalu miringkan kepala untuk melihat raut lelaki di depannya lebih jelas.
"Ada apa?" Diandra bertanya lirih.
"Meeting lagi malam ini."
Maka Diandra bungkam setelah mendengar jawaban Dayzen. Sebuah pertemuan bulanan keluarga Dayzen yang terkadang justru menjadi seperti datang pada sebuah peperangan. Perbandingan prestasi, kekayaan, dan perebutan jabatan. Semua terjadi dalam waktu 2 jam dalam satu ruangan yang hampir seluruhnya, berdarah kesehatan.
"Apa aku tolak saja ya jabatannya? Jadi pimpinan pusat rumah sakit, aku mana mampu, Di. Itu ngga semudah ngurus satu cabang, kan?"
"Siapa bilang kamu ngga mampu? Kamu pasti mampu." Jawab Diandra, lebih yakin daripada Dazyen.
"Meskipun aku mampu, kamu bisa bayangin ngga apa yang keluarga besar bakal bilang ke aku? Anak pungut ini malah jadi pimpinan?"
Mulut Dayzen berhenti meniru kalimat-kalimat yang biasa ia dengar saat pertemuan, karena Diandra tiba-tiba mencium bibirnya. Perempuan itu tidak mau, Dayzen melanjutkan kalimat yang sebenarnya, melukai hatinya sendiri.
"Kamu bukan sekedar anak kecil yang Papa Alva minta dari keluargamu, dulu. Papa Alva pasti punya alasan kenapa harus kamu, Zen." Diandra menarik nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kalau memang kamu nggak mau, kamu bisa bilang ke Papa Alva dari sekarang. Tapi apa salahnya mencoba? Aku tahu kamu mampu, bahkan bisa lebih dari yang kamu bayangkan."
Kalimat penyemangat dari Diandra diberi hadiah ciuman dari Dayzen. Pria itu dekap tubuh pendek di depannya, kemudian kecup puncak kepala Diandra. "Nanti ku kabari kalau sudah pulang, ya?" Ucap Dayzen, yang hanya di-iya-kan Diandra dengan anggukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Home Called Love [02'Z ENHYPEN]
Fiksi PenggemarSiapa sih yang nggak kenal "Tiga Pujangga" milik Universitas Darmawangsa? Diketuai sama cowok dingin bernama Askara Rangga yang bodoh banget urusan cinta, lebih ngerti caranya ngurus motor daripada ngurus cewek. Tapi bunga sama cokelat di pintu loke...