33. Bermain di Pantai

86 23 0
                                        

Sore harinya, mobil Dava dan Vee melaju pelan menuju pantai. Angin sejuk masuk dari jendela, aroma laut mulai tercium. Vee duduk manis sambil ngelus perutnya, senyum gak pernah lepas dari wajahnya.

Sesampainya di pantai, Dava buka pintu dan ngulurin tangan ke Vee.

“Silakan, Ratu Laut,” kata Dava gaya-gayaan.

“Thanks, Kapten Kapalan,” Vee ngetawain dia sambil gandeng tangan suaminya.

Mereka jalan menyusuri pasir, kaki Vee setengah tenggelam di antara butiran hangat. Ombak kecil menyentuh ujung kaki mereka.

“Lo inget gak, dulu kita pertama kali ke sini…” kata Dava sambil natap laut.

“Iya… gue pakai celana putih dan langsung nyesel karena kena air asin terus nempel pasir semua,” Vee nyengir geli.

“Dan gue gak berhenti ngetawain lo seharian,” timpal Dava.

“Makanya lo gue siram pake air kelapa,” sahut Vee dengan nada puas.

Mereka duduk di tepi pantai, Vee bersandar ke dada Dava. Matahari mulai turun, langit berubah oranye kemerahan.

“Ada yang gerak lagi…” Vee bisik sambil narik tangan Dava ke perutnya.

Dava tersenyum lebar, “Kayaknya dia suka pantai, sama kayak Mommy-nya.”

“Dan Daddy-nya,” bisik Vee pelan.

Mereka terdiam menikmati senja, tangan bertaut, napas selaras dengan debur ombak. Dunia seolah diam, hanya ada mereka bertiga—Vee, Dava, dan kehidupan kecil yang menendang pelan dari balik perut.

Angin laut menerpa lembut rambut mereka, aroma garam menyusup di udara, dan suara ombak jadi irama yang menenangkan. Mereka menghabiskan waktu bersama, melepas rindu yang tertahan berbulan-bulan.

“Dav, lo nggak mau liat di dalam rumah pohon ada apa?” tanya Vee sambil melirik Dava. Senyum laki-laki itu sejak tadi nggak pernah pudar, hangat dan tenang.

Dava mengangguk pelan, matanya memantul cahaya sore. “Boleh aja, gue juga penasaran.”

Vee menyunggingkan senyum tipis. Tangannya mengusap lengan sendiri, seolah mengingat kejadian sebelumnya. “Gue nggak bisa ikut ke atas, nanti malah jatuh lagi,” ucapnya pelan, suara diselingi tawa kecil.

“Yaudah, nanti biar gue aja yang ke dalem,” jawab Dava ringan. Vee mengangguk setuju, matanya menyipit karena cahaya matahari yang mulai menurun.

Tiba-tiba, Vee melihat Dava berjalan mendekat ke bibir pantai. “Dav! Jangan main air, nanti basah!” serunya dengan suara agak tinggi, matanya membelalak.

“Namanya juga air, Al!” teriak Dava sambil nyengir jahil.

“Dav, jangan deket-deket ombak!” teriak Vee lebih keras, tubuhnya ikut sedikit maju seolah mau menarik Dava balik.

“Iya, Sayang!” sahut Dava sambil berlari kecil kembali ke arah Vee, lalu berdiri di sampingnya dengan senyum penuh kemenangan. Mata Vee menyipit menatap tajam, tapi senyumnya nggak bisa disembunyikan.

“Mau main pasir?” tawar Dava sambil menaik-turunkan alisnya, tangannya sudah siap-siap menyentuh tumpukan pasir.

“Apa sih, kayak bocil!” Vee mendengus geli. Tapi kemudian matanya berbinar, tangannya cepat meraup segenggam pasir dan langsung dilempar ke arah Dava. “Yaudah, ayok!”

Pasir menempel di wajah Dava, dan cowok itu cuma bisa bengong sebentar sebelum ikut membalas. “Dasar, istri nyebelin!” serunya, lalu menyerbu dengan lemparan pasir balasan.

ALENZA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang