Aqsa melepas jas hitam itu, menggantungnya di dekat lemari dan kemudian pergi ke balkon kamarnya, balkon yang menghadap tepat ke taman bunga favorit Almarhumah Ibunya. Bunga -bunga itu masih dirawat dengan baik bahkan hingga hari ini. Pandangannya berhenti pada hamparan Langit malam yang diterangi cahaya bulan purnama bulat sempurna.
Aqsa bersandar pada pegangan tangga, menatap pada sebuah kotak kayu kecil yang Ia bawa dari kamar sebelumnya, di dalamnya terdapat sebuah sapu tangan biru yang warnanya sudah sedikit memudar, nama gadis kecil itu masih terajut rapi disana.
Ia ingat betul bagaimana pertemuannya dengan Gadis itu sore tadi. Tidak pernah terlintas sedikitpun dibenaknya jika Gadis itu adalah adik kelasnya disekolah. Tanpa sadar sebuah senyuman kecil mengembang dibibirnya. Ingatan tentang masa kecil yang cukup membekas muncul seperti sebuah video yang diputar mundur.
Aqsa segera menyapu udara dihadapan wajahnya
Berusaha untuk tidak memikirkan Gadis itu terlalu dalam. Meski Ia tidak ingin membohongi hatinya, Dia senang bisa bertemu Gadis itu lagi.Pandangannya kemudian teralihkan tepat ketika Paman Jiro masuk ke kamarnya, setelah sebelumnya mengetuk pintu. Aqsa meninggalkan balkon, dan berdiri persis di dekat tempat tidurnya.
Hari ini adalah makan malam yang terasa sangat panjang, kakek sesekali berusaha menunjukkan cinta kasihnya pada cucu - cucunya dengan memberikan perhatian lebih, menawarkan keduanya beberapa potong daging ayam kesukaan mereka dan kemudian menanyakan satu persatu kegiatan dan pencapaian keduanya selama satu pekan.
Sebuah tindakan yang Aqsa sendiri tak bisa memahaminya. Di satu sisi Ia bersyukur akan kehadiran kakek tetapi disisi lain Ia selalu bertanya, apa alasan yang membuat Kakek tak pernah membiarkan Mereka berhubungan dengan Ayahnya lagi. Jika kakeknya memang menyayangi mereka, apa salahnya mengabulkan keinginan Aqsa untuk bertemu Ayah sekali saja.
Aqsa sadar, Ayahnya salah karena sudah meninggalkan mereka, tapi Ia tidak akan percaya jika Ayah sudah lepas tangan untuk mengurus mereka tanpa mendengar langsung kalimat itu dari mulut Ayahnya sendiri.
Kembali kepada Paman Jiro, pria itu maju beberapa langkah di dekat Aqsa, menyodorkan sebuah ponsel rahasia yang selama ini Ia gunakan untuk melakukan permintaan Aqsa tanpa sepengetahuan kakeknya.
"Apa ada balasan dari Ayah untukku, Paman?" Aqsa membalikkan badannya, kini keduanya saling berhadapan satu sama lain.
Paman Jiro menggeleng pelan. Sebuah tanda bahwa pesan yang dikirim Aqsa belum mendapat balasan dari Ayahnya. Ia sendiri pun tak tahu, apakah nomer itu adalah nomer aktif ayahnya atau tidak.
Semua cara sudah Ia lakukan, mengirim email ke kantor Ayahnya, menghubungi dengan nomer pribadinya sendiri tapi tak ada satupun yang mendapat hasil sesuai keinginannya.
"Nak, akan lebih baik jika Kita mengakhiri semua ini. Takkan ada hasilnya. Apalagi jika sampai Tuan Abraham tau, beliau mungkin akan marah" ucap Paman Jiro berusaha menasihati.
"Tapi paman. Aku hanya ingin Ayah tahu jika disini masih ada Aku dan Yagis yang sayang sama Ayah. Aku cuma ingin seperti anak-anak lain, bisa cerita banyak hal sama Ayahnya dan punya banyak waktu sama Ayah mereka"
"Apa aku salah? Apa aku salah menginginkan hal sederhana itu dari Ayah??" Aqsa meninggikan nada suaranya, namun sesaat kemudian Ia tertunduk lesu diatas kasurnya. Menatap pada ubin berwarna putih keemasan dikamarnya.
"Maaf.. maafkan Aku, Paman!"
"Itu semua bukanlah kesalahan. Itu adalah hal wajar yang seharusnya didapatkan anak dari orang tuanya. Tapi, Maaf Paman tidak bisa melakukan apa-apa untuk saat ini. Paman cuma bisa membantu sampai disini saja" Paman Jiro mensejajarkan dirinya dengan Aqsa, memegang pundak pemuda itu pelan.
"Paman cuma bisa bilang, ini semua diluar kendali kita. Ada andil Allah disini. Dan kita gak bisa memaksakan itu, sampai suatu saat nanti Allah yang atur, jika memang sudah saatnya, Kalian berdua akan bertemu lagi dengan Ayah kalian."
"Paman tahu, tumbuh dewasa tanpa peran salah satu atau kedua orang tua itu tidak mudah. Ada banyak hal yang harus dilalui. Tetapi, Anda melakukannya dengan sangat baik sampai hari ini. Itu artinya Anda kuat dan mampu." Paman Jiro mengelus pelan pundak Aqsa.
"Sekarang, Anda hanya perlu belajar bersyukur. Lihat disekeliling Anda. Ada begitu banyak orang yang selalu mendukung Anda. Tuan Abraham, Yagis, Saya, Bi Areng. Tabiat manusia memang seperti itu, mengejar sesuatu yang tidak dimiliki dan melupakan sesuatu yang selama ini ada disekelilingnya"
"Maaf jika kata-kata saya terlihat bias. Tapi percayalah, Nak. Allah akan membawa Anda pada takdir terbaik yang tidak pernah Anda pikirkan sebelumnya." Paman Jiro melepas pegangannya pada pundak Aqsa. Ia kemudian pergi tanpa berpamitan. Ia tahu, Aqsa pasti masih butuh waktu untuk merenungi semua perkataannya tadi.
~¤♡¤~
"Gaza? Ayo makan dulu sayang. Jangan melamun begitu saat sedang makan, tidak baik!" Sebuah suara lembut dengan sedikit memerintah memecah kesunyian malam itu. Gaza menghela nafas dalam, menatap pada kedua orang tuanya yang sedang menikmati makan malam mereka bersama-sama.
Keluarganya adalah keluarga yang hangat, Ia memiliki semua yang dibutuhkan anak seusianya, kasih sayang kedua orang tua, fasilitas yang lengkap, prestasi akademis dan hobi yang berjalan sesuai keinginannya. Semua itu adalah untuk dirinya.
Tentu saja, Gaza sangat mensyukuri itu. Ia sadar semua itu tidak lepas dari campur tangan Tuhan yang menciptakan kehidupan yang hampir sempurna untuknya. Tapi, Ia menyadari jika ada satu hal yang selalu mengganjal dihatinya.
"Mas, soal perayaan ulang tahun yayasan Ayah bagaimana? Apa Ayah sudah menghubungi kamu untuk acara itu?" Ibu, wanita berhijab hitam itu menatap pada Ayah. Menghentikan aktifitas makannya dan menunggu jawaban Ayah.
"Sekretaris Ayah sudah menelpon.
Aku akan kerumah Ayah besok. Acara ini adalah acara amal yang cukup besar, jadi Ayah ingin acara ini berjalan sempurna." ucap Ayah dengan tenang sementara tangannya melepas kacamata yang sedari tadi melekat diwajahnya.Wajah ayahnya terlihat berkerut, memunculkan kerutan diantara kedua matanya yang lelah. Ayahnya terlahir dari keluarga yang berada, Ayahnya, Tuan Abraham Adhikara adalah seorang pengusaha yang cukup punya nama dengan segelintir usaha diberbagai sektor. Tidak seperti kakek atau saudara laki-lakinya yang hilang. Ayahnya, Musa Adhikara, bukanlah orang yang suka dunia bisnis. Ia adalah pribadi yang suka melayani masyarakat, dan atas dasar itulah Ayah memilih jalur yang berbeda dari Kakek dan Saudaranya. Menjadi seorang Dokter spesialis mata, dan mendapat amanah untuk mengelola satu yayasan mata milik Kakeknya.
"Aqsa, Dia juga baru kembali dari Inggris. Ku rasa Ayah mungkin akan melakukan sesuatu untuk merayakan kemenangan Aqsa" Ayah kemudian mengakhiri percakapan malam itu dengan satu suapan besar nasi yang Ia makan dalam sekali lahap.
"Gaza, Apa kamu sudah bertemu Aqsa disekolah?" Bulan, wanita itu kemudian mengalihkan pandangannya dari sang suami kearah sang Putra.
Gaza menggeleng pelan. Ia memang belum bertemu Aqsa sejak kepulangannya dari Manchester beberapa hari lalu. Ia hanya bertemu Yagis sekali saja, saat rapat evaluasi MPLS.
Bicara tentang kedua sepupu kembarnya itu, Gaza memang lebih dekat dengan Yagis dibanding Aqsa. Dimasa lalu mereka bertiga adalah sepupu yang tidak terpisahkan. Namun, sekarang bagi Gaza, Aqsa sangat berbeda jika menyangkut tentang dirinya. Anak itu seperti bersikap seolah menghindarinya. Dan semua itu dimulai sejak kematian Ibu dan kepergian Ayahnya hampir 6 tahun yang lalu.
Gaza tersenyum menatap kedua orang tuanya. Ia kemudian segera menghabiskan nasinya dan bergegas kembali ke kamar. Karena besok ada ujian fisika, malam ini Ia akan belajar singkat untuk sekedar me-refresh otaknya dan kemudian tidur lebih awal.
To be Continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
The Oddlove
Teen FictionSejak pertemuan di bandara hari itu, hidup Aqsa seolah selalu terhubung dengan Alina-gadis kecil tunanetra yang selama hampir enam tahun ia cari. Seperti takdir yang sudah digariskan, mereka kembali bertemu sebagai senior dan junior di sekolah. Namu...