Bab 26. Solve the Puzzle

3 0 0
                                    

Seekor burung merpati putih mendarat dengan perlahan dipagar balkon. Dikaki kirinya ada sebuah pita berwarna biru yang menandakan jika burung itu bertuan. Alina menyapu pagar balkon tempatnya meletakkan tangan, membiarkan burung itu perlahan mendekat, namun belum sempat Ia mengelus sayap burung itu, seseorang tiba-tiba saja memanggil namanya hingga memaksa burung itu pergi secara tiba-tiba.

"Kakak??" Mata gadis itu membulat sempurna, Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya, wanita yang dahulu merawatnya saat masih menjadi pasien dirumah sakit ini, kini sudah berbadan dua. Sudah lama sejak terakhir kali Mereka bertemu dan itu adalah saat dimana Alina akhirnya bisa melihat lagi setelah melakukan operasi transplantasi mata di Singapura.

"Alinaaaa...!!!"

Kedua saling berpelukan erat satu sama lain, membiarkan angin musim timur menerpa wajah mereka berdua.

"Maaf, aku tidak mengabarimu secara langsung, karena ingin memberikan kejutan aku sengaja meminta Bu Dewi agar memberikanmu surat itu" Tiana mengelus kepala Alina lembut.

"Tidak apa-apa kak, tapi darimana kakak tahu aku ada disini?"

"Dari akun instagram-mu. Aku ada keperluan dirumah sakit ini, dan begitu aku mengetahui kamu disini, aku segera mengirim surat pada Bu Dewi, beruntung suami Kakak memiliki hubungan kerabat yang cukup dekat dengan Bu Dewi jadi semua terasa begitu mudah"

"Alina senang bisa bertemu dengan Kakak lagi. Bagaimana kabar Kakak?"

"Alhamdulillah baik. Lihatlah, Alina yang dulu berusia 11 tahun kini sudah tumbuh menjadi Gadis yang cantik. Aku harap kamu selalu bahagia Alina" Tiana menyentuh dagu Alina pelan.

"Apakah ini anak pertama?" Alina bertanya dengan wajah berbinar yang dibalas Tiana dengan anggukan mantap.

Keduanya kemudian memutuskan untuk meninggalkan balkon dan berbincang ditaman rumah sakit.

Kembali kepada situasi Beberapa saat sebelumnya, tepat setelah Alina bertemu dengan Bian dan Ayahnya diruangan Bu Dewi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di danau kemarin, sebelum meninggalkan ruangan itu, Bu Dewi memanggil Alina, meminta Gadis itu untuk mendekat kearah meja kerjanya, tidak berselang lama Ia kemudian mengeluarkan sepucuk surat yang pada akhirnya membawa Alina kembali kerumah sakit ini. Rumah sakit yang meninggalkan cukup banyak kenangan masa kecil untuknya.

Tiana menyodorkan minuman dingin yang baru dibelinya pada Alina, setibanya mereka ditaman rumah sakit.

Kedua mengobrol cukup lama, menikmati waktu-waktu mereka sebelum Tiana pergi meninggalkan kota ini, bersama suaminya.

"Saat pertama kali bekerja dirumah sakit ini, tidak pernah terpikirkan sedikitpun dalam benak kakak jika Kakak akhirnya akan menikah dan meninggalkan rumah sakit ini. Saat itu yang terpikirkan adalah bekerja dan bekerja" Tiana mulai bercerita.

"Lalu apa sekarang kakak bahagia dengan semuanya?" Tanya Alina penasaran.

"Kakak selalu percaya jika apa yang terjadi dikehidupan kita adalah memang yang terbaik untuk kita. Jadi untuk saat ini Kakak akan berkata, Iya."

"Bagaimana denganmu Alina? Apa semua berjalan dengan baik?"

"Mmm... entahlah kak. Untuk saat ini Alina hanya ingin membuat Mama bangga dan tersenyum. Lagipula kami mungkin akan pergi dari kota ini"

"Maksudmu? Kamu dan Mamamu akan pindah rumah? Kemana?"

"Aku juga tidak tahu pasti tapi itu mungkin masih lama. Waktu itu, Aku hanya mendengar sekilas percakapan Mama dengan seorang wanita sepulang sekolah, Mama berencana menjual rumah yang kami tempati sekarang, pindah dan memulai kehidupan baru disuatu tempat. Tapi ini hanya kesimpulan pribadiku saja, dan Mama tidak tahu jika Aku menguping pembicaraannya hari itu"

Alina menarik nafas pelan, memberi jeda pada ceritanya.

"Tapi, selama itu belum terjadi Aku akan melanjutkan hidup dan melakukan yang terbaik sebisaku"

Tiana mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan Alina, dan kemudian meraih tangan Gadis itu.

"Kakak paham kota ini mungkin menyimpan banyak kenangan manis untukmu terutama soal Ayahmu. Karena itu belum pasti masih ada waktu sampai saat itu tiba kan?"

"Mari lupakan soal itu, lakukan yang terbaik untuk hari ini dan ingat, kapanpun kamu membutuhkanku, jangan sungkan untuk menghubungiku. Oke?. Kita akan bertukar nomer ponsel setelah ini" Tiana mencoba meyakinkan Alina.

"Tentu saja Kak. Bertemu Kakak saja sudah membuatku bahagia"

Tiana tertawa pelan, mendengar pengakuan gadis muda yang sudah Ia anggap seperti adiknya sendiri itu. Wanita itu kemudian memberi jeda dalam obrolan mereka, sampai Ia kemudian teringat sesuatu akan tempat mereka duduk saat ini, sesuatu yang tidak pernah berubah bahkan setelah enam tahun berlalu.

"Alina, ada satu hal yang ingin kakak sampaikan padamu. Mungkin ini tidak terlalu penting. Tapi kakak merasa bahwa ini adalah janji yang harus kakak penuhi."

"Apa itu Kak?"

~•♡•~

Pertemuan dengan Kak Tiana berakhir dengan salam perpisahan yang manis, begitu mobilnya menghilang ditikungan jalan, Alina memilih untuk tidak langsung kembali ke yayasan. Setelah mendengar ucapan Kak Tiana padanya tadi, Alina merasa Ia harus memastikan sesuatu saat ini juga.

Gadis itu menyusuri jalan setapak menuju taman belakang rumah sakit, suasananya masih sama seperti saat Ia ada disini dulu. Langkah gadis itu kemudian terhenti pada kursi taman persis di dekat air mancur. Satu persatu ucapan Kak Tiana kembali berputar diingatannya.

"Anak itu terus bertanya tentangmu padaku setiap hari. Dia bilang dia ingin mengembalikan sapu tangan milikmu. Tapi karena saat itu Aku tidak mengenalnya jadi Aku tidak bisa sembarangan memberikan informasi. Lalu, Satu pekan berlalu sejak terakhir kali anak itu menghampiriku. Aku pikir dia mungkin sudah menyerah, tetapi dia ternyata datang lagi dan memberikanku sebuah surat. Tapi maaf Alina, karena keteledoranku suratnya hilang, yang bisa kusampaikan padamu hanya potongan kejadiannya saja. Dan maaf juga karena tidak menyampaikan langsung padamu sekembalinya kamu dari singapura. Saat itu Kakak benar-benar lupa akan hal itu."

"Apa kakak mengingat nama anak itu?"

Tiana menggeleng pelan. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya tidak bisa memberikan informasi yang detail pada Alina.

Alina memeriksa tas selempang yang Ia bawa, mengeluarkan sapu tangan bergambar bunga mawar biru miliknya. Ia baru ingat sekarang, enam tahun lalu, ia pernah memberikan sapu tangannya pada orang lain dirumah sakit ini.

"Alina alinaa... bagaimana mungkin kamu bisa melupakan hal sepenting itu. Selama ini kamu selalu berpikir jika sapu tangan itu dicuri orang, padahal kamulah yang memberikan sapu tangan itu pada orang lain" Gadis itu menggerutu sendiri.

Memainkan rerumputan yag tumbuh disekitar kursi taman itu dengan sepatunya. Bagi sebagian orang mungkin hal ini terlihat sepele, tapi bagi Alina sapu tangan itu adalah jiwanya, ada cinta kasih kedua orang tuanya yang terajut dalam setiap untaian benang pada sapu tangan itu.

Saat itu mungkin ia masih terlalu kecil untuk memahami makna pemberian orang tuanya itu. Jadilah dengan mudahnya Ia memberikan sapu tangan itu pada orang lain.

Sekelebat memori saat Ia bertabrakan dengan Kak Andra dan ucapan Yoyok ditaman bunga waktu itu memaksa Alina untuk menyimpulkan sendiri siapa gerangan orang yang memiliki pasangan sapu tangan miliknya itu.

"Jika dia ada disekolah, apa mungkin dia adalah orang yang sama dengan yang dilihat Yoyok di yayasan? Sapu tangan itu kan hanya dibuat khusus untukku jadi sangat tidak mungkin jika model itu dijual secara luas."

To Be Continued...

The OddloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang