Suara tawa anak-anak terdengar memenuhi seluruh tempat itu, lebih tepatnya danau yang berada tepat dibelakang yayasan. Para relawan menikmati pemandangan indah yang disajikan sembari tetap memberikan pengawasan pada anak-anak. Jadwal akhir pekan kali ini adalah bertamasya di sekitar hutan dan danau. Selain untuk memperkenalkan alam pada anak-anak, agenda ini juga bertujuan untuk memberikan sedikit hiburan bagi relawan dan anak asuh ditengah padatnya jadwal belajar anak-anak di yayasan rumah cinta.
Alina yang duduk di sebuah bebatuan terkejut ketika seseorang tiba-tiba saja menepuk bahunya.
"Al, Bu Dewi minta kamu ke kantornya sekarang. Katanya Ada hal penting yang harus dibicarakan" itu adalah suara Kak Kina, Ia terlihat berbicara setengah berbisik.
"Apa ada masalah kak?" Gadis itu balik bertanya.
"Tidak, Bu Dewi hanya ingin permasalahan antara kamu dengan anak kepala desa kemarin berakhir dengan damai" jelas Kak Kina singkat.
Hal ini tentu saja cukup mengejutkan Alina, sebab Ia tidak pernah mengira jika permasalahan kemarin akan dibawa sampai ke ruangan Bu dewi. Yang dimana saat kejadian itu terjadi Bu Dewi sedang melakukan perjalanan dinas ke kota lain dan baru kembali pagi malam kemarin.
Kembali pada Kina yang masih berdiri diposisinya, Alina hanya mengangguk sekilas dan kemudian bergegas meninggalkan area danau.
~~~~~
"Maaf Alina, Saya meminta maaf atas kesalahan Saya yang kemarin. Itu terjadi diluar kendali saya.."
Setelah lama terdiam di depan meja yang menghadap langsung ke Alina, Pemuda yang duduk bersama Ayahnya itu akhirnya membuka mulutnya dan meminta maaf pada Gadis itu.
Awalnya ia terlihat ragu, namun setelah Ayahnya memberi kode dengan sedikit pukulan pada tangannya, Pemuda itu akhirnya bersuara.
"Maafkan Bian ya, Nak Alina. Saya berjanji akan memastikan dia tidak melakukan kesalahan yang sama pada gadis manapun" Ayah yang juga seorang kepala desa itu terlihat menunduk begitu dalam. Alina bisa melihat keseriusan di wajah pria paruh baya itu.
Selang beberapa lama, Bu Dewi juga akhirnya buka suara.
"Bagaimana Alina, apa permintaan maaf Bian diterima?"
"Mmm.. aku akan memaafkan Bian asal dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi"
"Bian ayo cepat berjanji. Ayah tidak ingin membuat masalah dengan Mereka." ucap Pria paruh baya itu berbisik, meski begitu Alina masih bisa mendengarnya samar-samar.
"Saya berjanji, Alina. Mulai besok dan seterusnya Saya akan menjadi lelaki yang menghormati wanita"
Sejurus kemudian, Alina mengangguk tanda setuju. Biarlah Ia sendiri yang menjadi saksi atas perkataan pemuda dihadapannya itu. Meski Alina sendiri ragu, seseorang seperti dia mungkin takkan mudah mengubah kebiasaan dan prilaku yang sudah mendarah daging, tapi jika niat berubah itu datang dari hati bukan tidak mungkin perubahan itu bisa terjadi.
"Baiklah, dengan ini berarti Alina sudah memaafkan Bian. Dan Bian berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Jika dimasa depan terjadi untuk yang kesekian kalinya maka bukan tidak mungkin Bian akan mendapat hukuman yang lebih berat"
"Kamu siap dengan konsekuensi dari perbuatanmu kan Bian?"
Pemuda itu hanya tertunduk tanpa mengeluarkan sepatah katapun atas pertanyaan Bu Dewi.
"Tentu Ibu Dewi. Saya akan menjamin Bian tidak melakukannya lagi!" Sahut Kepala sekolah berusaha menyakinkan Bu Dewi.
Diskusi itu berakhir cukup panjang sampai kemudian Bian dan Ayahnya pamit untuk meninggalkan yayasan. Sementara Alina keluar belakanga , namun langkahnya terhenti saat Bu Dewi tiba-tiba saja memintanya untuk mendekat kearah meja. Meminta Alina untuk membaca sepucuk surat yang baru dikeluarkannya dari laci meja kerjanya.
"Surat ini untukmu Alina"
"Surat untuk Alina, Bu?"
"Iya, kamu baca saja dulu setelah itu kamu akan tahu siapa pengirimnya"
~●♡●~
"Tentu saja, Aqsa yang berterimakasih pada Ibu, karena sudah menyetujui permintaan sederhana Saya"
"Baik Bu, Saya akan kembali setelah menyelesaikan kunjungan dirumah sakit" Aqsa menutup telpon itu segera setelah Bu Dewi selesai menginformasikan soal perundingan antara Alina dan Bian, Putra Kepala desa yang berhasil membuat kehebohan kemarin.
Meski sudah mendapat informasi terkait latar belakang pemuda itu, sebagai Pemuda yang cukup rebel, suka mengoda perempuan sembarangan, dan pernah menjadi alumni penghuni hotel prodeo satu tahun yang lalu. Aqsa merasa cukup khawatir dengan permasalahan kedepan jika diantara Alina dan pemuda itu tidak diselesaikan secara langsung, Alina tidak akan mendapatkan hak permintaan maaf darinPemuda itu, sementara Penuda itu tidak akan mendapat efek jera dari perbuatannya.
Beruntung semua berakhir dengan perdamaian dan Pemuda itu berjanji tidak akan mengulangi tindakan asusila yang Ia lakukan. Meski itu hanya tindakan yang terlihat sepele, namun jika tidak ditanggapi maka akan berakhir pada tindakan yang lebih parah dimasa depan.
Aqsa menarik nafas lega, pandangannya kembali teralihkan setiap kali mereka melewati hamparan padang rumput dan kincir angin. Pekan lalu saat Ia menyadari tempat ini untuk pertama kalinya, Ia tidak sempat untuk mampir karena Paman Jiro. Dikesempatan kali ini Ia merasa harus berhenti sejenak ditempat ini nanti, setelah kembali dari menjenguk Tantenya di Rumah sakit.
~~~~~
Setelah menempuh 30 menit perjalanan, Aqsa akhirnya tiba dirumah sakit. Setibanya diruangan rawat, Aqsa tidak menemukan siapapun disana, hanya ada Tante Sintya yang terbaring lemah dikasur pesakitan.
Tantenya itu hanya bisa tertidur pulas, sesekali Ia hanya akan membuka mata sebentar, menatap Aqsa dengan senyuman dan kembali memejamkan matanya. Wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Semakin hari tubuhnya pun mulai kurus, seperti tulang yang hanya terbungkus kulit.
Aqsa meraih tangan rapuh itu, berusaha menguatkan Tantenya. Aqsa menelusuri setiap inci wajah itu, Setiap melihat wajah Tantenya yang terlintas dibenak Pemuda itu adalah wajah Ibunya. Mereka berdua benar-benar sangat mirip, tidak ada yang bisa membedakan wajah mereka berdua kecuali tinggi badan model rambut dan watak mereka yang sangat berlawanan. Jika Ibu adalah wanita lemah lembut dan penurut, maka Tante Sintya adalah sebaliknya.
Kunjungan itu berakhir setelah hampir satu jam Aqsa berada disana. Beruntung orang-orang di yayasan memahami kondisi Tante sehingga Ia bisa diberi keleluasaan untuk keluar disaat jam kerjanya sebagai relawan sedang berlangsung.
"Terimakasih sudah selalu meluangkan waktu untuk mampir kemari, Nak" itu adalah suara Suster Diana yang mengantar Aqsa sampai dilobi rumah sakit setelah Ia selesai menjenguk Tante-nya.
Aqsa hanya membalasnya dengan senyuman singkat. Ia melakukan semua ini tentu saja karena Tante Sintya adalah adik Ibu sekaligus Tante-nya, jadi itu bukan masalah untuknya. Pandangan Aqsa kemudian teralihkan ketika seseorang yang begitu familiar berjalan tidak jauh dari posisinya dan Suster Diana berada.
Ia berjalan beriringan bersama seorang wanita yang terlihat tidak asing.
"Baiklah Sus. Aqsa pamit dulu, Aqsa janji akan tetap mengunjungi Tante, selama Aqsa berada di yayasan."
"Tentu saja Nak. Semoga Tuhan selalu menjagamu" Ucap Suster Diana lembut, tidak lupa Ia selalu mendoakan Aqsa setiap mereka akan berpisah.
Kedua kemudian saling berpamitan satu sama lain, Aqsa masih berada diposisinya yang tadi, menunggu sampai punggung suster Diana menghilang diujung koridor, tetapi bukannya berjalan kearah halaman depan untuk pulang, Aqsa memilih mengambil jalan kearah yang berseberangan, ada urusan lain yang masih harus Ia tuntaskan dirumah sakit ini.
To Be Continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
The Oddlove
Teen FictionSejak pertemuan di bandara hari itu, hidup Aqsa seolah selalu terhubung dengan Alina-gadis kecil tunanetra yang selama hampir enam tahun ia cari. Seperti takdir yang sudah digariskan, mereka kembali bertemu sebagai senior dan junior di sekolah. Namu...