Bab 19. Tamu tidak diundang

3 0 0
                                    

Mobil sedan hitam keluaran awal tahun 2000-an itu melaju dengan pelan membelah jalanan yang lengang sore itu.

"Apa mau Mama putarkan musik?" Ucap Mama dibalik kursi kemudi. Sesekali Ia melirik pada Alina yang sibuk menatap pepohonan disepanjang jalan yang Mereka lalui.

Gadis itu menoleh sekilas dan mengangguk. Hingga kemudian suara instrumen klasik terdengar. Hari ini Alina dan Mama akan mengunjungi pasar sore yang ada dipinggir kota Mereka berencana membeli beberapa keperluan rumah tangga sembari menghabiskan waktu bersama.

Meski hari sudah sore pasar ini masih begitu ramai dengan transaksi jual beli. Beberapa orang memang memilih belanja ke Pasar di sore hari.

"Ini? Atau yang itu? Bagaimana dengan ini?" Mama sibuk memilih dan menunjuk aneka stand seafood yang mereka lewati.

"Ini Ma. Aku mau cumi sama udang!"

Sampai kemudian langkah keduanya terhenti ketika Mama tidak sengaja berpapasan dengan seorang wanita yang ternyata adalah kenalan lamanya.

"Astaga Bu Helen. Beruntung kita bisa bertemu disini setelah sekian lama. Bagaimana kabar Ibu?" Wanita berambut Bob itu tersenyum ramah kemudian mengalihkan pandangannya kearah Alina yang berdiri dibelakang Mama.

"Alhamdulillah Baik Bu. Saya kebetulan lagi ada perlu jadi datang kesini"

"Alhamdulillah. Wahh, ini Alina ya? Sudah besar sekarang. Dulu waktu saya datang ke acara pemakaman Almarhum. Dia masih sangat kecil." Wanita itu menatap Alina dengan penuh selidik. Ia seperti ingin menyuarakan sesuatu tapi berusaha ditahan. Apa mungkin Ia menyadari perbedaan siginifikan yang ada pada Alina yang sekarang dengan enam tahun lalu.

"Syukurlah sekarang Alina sudah bisa melihat. Saya sangat prihatin saat itu, karena kecelakaan, anak sekecil Alina harus merasakan kehilangan penglihatan"

Suasana hening sejenak.
"Alhamdulillah Bu. Ini semua berkat Allah melalui perantara Neneknya Alina. Ibunya suami Saya. Neneknya lah yang membiayai operasi Alina" Mama menjelaskan seperlunya sebelum kemudian berpamitan kepada kenalan lamanya itu.

Mereka berjalan menjauh namun Alina masih bisa mendengar percakapan wanita itu dengan teman disebelahnya yang sejak tadi hanya tersenyum menyaksikan obrolan mereka.

"Anak yatim yang malang. Semoga suamiku selalu sehat dan panjang umur." Ucapnya kemudian berlalu dengan tergesa-gesa.

Sejak kepergian Ayahnya, Alina memang sudah terbiasa mendegar sebutan itu akan dirinya. Ia tidak mempermasalahkan hal itu karena pada dasarnya itu adalah fakta, meski sedikit menggores hati kecilnya. Namun, prinsip yang selalu Alina pegang selama ini adalah, walau raga Ayahnya sudah tidak bersama dengan dirinya lagi. Tapi ajaran dan nasihat Ayahnya selalu hidup dalam ingatannya. Lagipula apa yang terjadi pada dirinya bukanlah sesuatu yang bisa Ia atur.

Ditambah Mamanya, tidak pernah sekalipun menunjukkan kesulitan yang berarti selama membesarkannya, dihadapannya Mama selalu tersenyum meski Alina tahu, menjadi single parents bukanlah hal yang mudah.

Gadis itu tersenyum sekilas pada dua orang itu sebelum berlari menyusul Mamanya yang sudah berjalan lebih dahulu. Pandangan gadis itu mengedar keseluruh tempat yang bisa Ia jangkau mencari keberadaan Mamanya yang tiba-tiba saja menghilang.

Pandangan gadis itu mengabur sesaat, ada perasaan takut didalam dadanya, takut jika Mamanya pergi meninggalkannya.

Ia takut jika Mamanya pergi seperti apa yang terjadi pada Ayah. Alina meraba ponselnya, mengetik cepat nama Mamanya di aplikasi kontak. Namun, belum sempat ia menekan tombol call, sebuah buket bunga mawar berwarna biru muncul dihadapannya.

The OddloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang