34. Martabak Belanda

82 23 0
                                    

Setelah puas bermain pasir dan menikmati senja di tepi pantai, Dava menggandeng tangan Vee erat-erat sembari berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah kecil mereka.

“Ayo, udah mulai dingin nih,” ucap Dava sambil melirik ke arah Vee yang menggigil kecil, meski masih tersenyum lebar karena habis tertawa sepuasnya.

Vee menyeka sisa pasir yang menempel di lututnya, lalu memeluk lengan Dava dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami. “Capek, tapi seneng,” gumamnya pelan.

Dava hanya membalas dengan senyum tipis, matanya melirik lembut ke wajah Vee yang mulai memucat karena angin pantai. Sesampainya di dalam rumah, Dava langsung mengangkat Vee dengan gaya bridal style—tanpa peringatan apa pun.

“Eh, eh! Astaga Dav! Turunin! Berat tau!” pekik Vee, matanya membulat kaget.

“Ringan kok, kayak kapas,” jawab Dava santai, melangkah mantap menuju kamar mandi.

Vee mendengus pelan, tapi pipinya merona malu. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, menyembunyikan senyumnya yang tak bisa ditahan. “Gombal banget sih,” cicitnya kecil.

Setelah mandi bersama—yang kali ini benar-benar tanpa niat aneh dari keduanya, hanya saling menghangatkan tubuh dan hati—mereka masuk ke kamar, mengenakan pakaian tidur.

Vee duduk bersandar di kepala ranjang, memeluk bantal besar di perutnya, sedangkan Dava baru saja keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

“Dav…,” panggil Vee lirih.

“Hm?” sahut Dava, melempar handuk ke sandaran kursi dan langsung naik ke tempat tidur.

“Besok ke rumah pohon yuk,” ujar Vee sembari menoleh ke arah Dava yang kini duduk bersila di sampingnya.

“Pagi aja ya, biar adem,” kata Dava sembari mengusap rambut Vee yang masih sedikit lembap.

Vee mengangguk, kemudian menunduk pelan. “Abis itu… gue mau ke makam Mommy juga.”

Dava menghentikan gerakannya, matanya menatap Vee dalam. “Makamnya deket sini?” tanyanya pelan, nada suaranya berubah jadi serius.

“Iya. Di belakang rumah pohon, ada jalur kecil. Gue udah beberapa kali kesana,” ujar Vee, suaranya tenang tapi matanya menyimpan sendu.

Dava mengangguk pelan, lalu menunduk dan mengecup puncak kepala Vee dengan penuh kasih. “Besok kita kesana bareng, ya?”

“Enggak usah. Gue ke sana sendiri, lo liat rumah pohon aja. Gue pengen punya waktu sendiri sebentar,” ujar Vee lembut.

Dava memandangi wajah istrinya, lalu meraih tangan Vee dan menggenggamnya erat. “Kalau kamu butuh gue, panggil ya?”

Vee mengangguk kecil.

Beberapa detik hening, hanya terdengar suara detak jarum jam. Dava membenamkan wajahnya di pundak Vee, kemudian bicara pelan, “Vee… kita beneran mau kasih nama Aleva?”

Vee tersenyum kecil, lalu bersandar pada Dava. “Bagus kok. Aleva Sanjaya. Lo suka banget ya nama itu?”

Dava mengangguk sambil menutup mata. “Gue suka. Kayak… tenang, tapi kuat.”

“Kayak lo, Dav.” ucap Vee pelan.

Dava membuka mata dan menatap istrinya lekat-lekat. “Nggak, itu kayak lo. Kalo gue… gue cuma pelindung lo berdua.”

Vee tersenyum, tangannya naik mengusap rahang Dava perlahan. “Jangan ngomong gitu terus, Dav. Kita jaga satu sama lain, kan?”

Dava mencium telapak tangan Vee dan mengangguk. “Iya, kita jaga sama-sama.”

ALENZA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang