CHAPTER 23

131 25 5
                                    

Cincin permata berbentuk matahari dengan mutiara putih ditengahnya, tersemat rapi dalam kotak beludru hitam dan sedang menyita pikiran seorang Park Chanyeol. Beberapa hari ini Chanyeol justru memiliki kebiasaan baru yaitu menatap cincin tersebut dari berbagai sudut dan entah bagaimana ia menjadi terbiasa untuk membawa cincin pemberian Ibunya kemanapun ia pergi. Kadang cincin itu ada di dalam saku celana atau bahkan disimpan di dashboard mobilnya. Kemanapun ia pergi cincin itu juga akan pergi bersamanya, disertai dengan banyak pikiran dan khayalan yang menyita isi kepala. Bahkan saat ini dengan lancangnya ia membayangkan cincin cantik yang ada didepannya akan melingkar disalah satu jari manis tangan Wendy. Khayalannya sudah terlalu jauh. Maka ia tutup kotak beludru itu dan memasukkannya ke dalam laci meja kerja. Kedua telapak tangan lebarnya ia gunakan untuk mengusap wajah yang terasa panas.

Sebuah senyum tanpa sadar terbentuk dibibirnya "Aku pasti sudah gila." Ia bergumam kesal namun senyum itu justru terlihat semakin lebar.

Bagaimana bisa ia membayangkan memberikan cincin ini pada orang yang bahkan belum satu tahun dikencaninya? Seolah meminta wanita itu untuk menjadi miliknya seorang secara utuh. Ya, secara utuh.

Wanita itu membuat hidupnya yang biasa datar tiba-tiba menjadi naik dan turun, mengacaukan kehidupan yang terbiasa tenang. Namun perlahan ia sadar bahwa kehidupannya yang lama terlalu membosankan, terlalu hitam dan putih. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Wendy. Wanita itu yang menunjukan padanya bahwa hidup masih dipenuhi oleh hal baik. Pada sekecil apapun hal yang terjadi, masih ada hal lain yang dapat disyukuri. Selama bersama wanita itu, ia jadi memiliki pandangan baru terhadap kehidupan. That this life is worth to live. Bahwa hidup ini sangat berharga dan layak untuk diperjuangkan. Dan Wendy, adalah salah satu alasan terkuat untuknya memperjuangkan arti hidup tersebut.

Jauh sebelum ia divonis mengidap penyakit Thalassemia, Chanyeol adalah manusia yang penuh dengan ambisi dan semangat dalam menjalani hidup. Ia sangat menikmati pekerjaan dan kesibukannya. Tak ada yang ia perdulikan lagi, terlebih karena rasa sakit dimasa lalu yang membuatnya hidup dan bernafas hanya untuk bekerja. Dalam pikirannya hanyalah membuat sebanyak apapun karya untuk dinikmati orang lain dan mengukir prestasi sebaik mungkin. Dengan kehidupan yang menurutnya cukup seimbang, ia sempat berpikir bahwa tak ada lagi yang ia butuhkan. Pekerjaannya baik, bahkan sangat baik. Orangtua yang selalu mendukung apapun keputusannya serta rekan kerja yang selalu bisa diandalkan. Rasanya tak ada lagi yang ia butuhkan, sekalipun itu cinta. Karena bagi Chanyeol hidupnya sudah cukup sempurna. Namun vonis dokter rupanya menghilangkan anggapan itu. Membuat Chanyeol kembali mempertanyakan arti dari kehidupan.

2 tahun ia habiskan untuk menjadi kuat sendiri sembari mempertanyakan apakah hidupnya yang sempurna itu sudah selesai? Apakah penyakit yang tiba-tiba saja ia derita merupakan teguran Tuhan atas keangkuhannya? Tiba-tiba ia merasa terjun bebas ke dalam jurang tak berujung dan dunianya perlahan meredup, hanya ada hitam dan putih. Ambisi dan semangat itu hilang tanpa jejak.

Kedatangan Wendy seperti setitik tinta warna dalam kehidupannya. Berawal dari setitik kecil hingga akhirnya meluas, dan menyentuh hatinya. Wendy menjadi alasan Chanyeol untuk percaya bahwa hidup masih bisa dinikmati, bahkan wanita itu justru memberi warnanya tersendiri. Perlahan kehidupannya mulai menemukan harapan baru. Saat ada dititik terendah hidupnya, ia bertemu dengan Wendy yang tanpa sadar membangkitkan kembali gairah yang sempat padam.

Harus ia akui bahwa cinta yang diberikan oleh Wendy membuat hidupnya jauh terasa lebih berharga. Hanya dengan menatap wajah cantik itu, -menatap lurus pada sepasang mata teduh itu- Chanyeol merasa bahwa ia menemukan rumah untuk pulang. Tempat dimana ia bisa meluapkan segala keluh kesah tanpa dihakimi, tempat ia menjadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura, dan menemukan segala sumber kedamaiannya.

Wendy telah menjadi rasa damainya. Wendy adalah rumahnya.

Untuk memiliki rumah seutuhnya, ia memerlukan wanita itu. Tak perduli seberapa besar rumah yang ia tinggali, seberapa mewah ataupun semahal apapun rumah yang akan dibelinya tak akan sebanding jika Wendy tak ada didalamnya. Karena baginya, Wendy adalah pusat dari segala rasa tenang dan damai itu. Wendy adalah rumah itu sendiri. Wendy adalah kebahagiaannya.

From A Man Who Truly Loves YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang