Hueningkai POV
"Kau penuh tenaga saat bertengkar dengan Beomgyu hyung tadi. Kenapa sekarang kelihatannya lemas sekali?"
"Hm. Aku menyesal. Tenagaku terbuang sia-sia."
Tak sempat pulang ke rumah untuk mengambil baju-bajuku, jadi aku memutuskan untuk mengganti seragam sekolahku dengan baju olahraga milik Taehyun. Aku tak ingin kuman dan bakteri di seragamku membawa virus bagi Taehyun yang sedang rentan.
Ah, baju olahraga Taehyun terlalu kecil di tubuhku. Aku tak bisa memakai baju olahraga milikku, karena tas sekolahku sudah tak bisa tertolong lagi, mungkin sudah hangus terbakar di sekolah. Aku merenggangkan bagian atas tubuhku, berusaha untuk membuat baju Taehyun sedikit melonggar.
"Beomgyu hyung baik kepadaku, Hyun."
Entah kenapa aku harus membuka percakapan kami dengan topik ini. Tapi aku merasa ini harus diluruskan segera..
"Hm."
"Dia tidak menghasutku untuk merokok. Itu keinginanku sendiri."
"Hm. Menjauh dariku." Taehyun berucap dengan intonasi datarnya.
Selesai dengan acara mengganti pakaian, aku segera menduduki kursi yang ada di samping ranjang Taehyun, "Hei! Salahku tidak sefatal itu!" Kataku dengan mata melebar.
"Appa bilang aku harus menjauh dari perokok. Tidak baik untuk kesehatanku."
Skak. Aku menunduk, kalah telak.
"Maaf. Aku bodoh sekali." Aku jujur. Tak ada alasan kuat untukku membela diri.
Isakan kecil terdengar dari hidung Taehyun. Ah, seperti ini lagi. Taehyun memang agak sensitif belakangan ini. Tapi aku tidak menyalahkan, memang berat rasanya. Aku, appa, terutama Taehyun. Hidup kami seolah tak sama lagi.
"Kau menangis, Hyun?"
"Aku takut."
"Tidak apa. Kau akan sembuh."
Aku melihat Taehyun menggeleng, hidungnya berbunyi lagi,
"Api."
Pundakku melemas, aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Api, ya? Omong-omong, kami memiliki banyak kenangan buruk tentang api.
"Aku baik-baik saja." Suaraku pelan. Aku memang baik-baik saja, yang tidak baik-baik saja adalah Taehyun kurasa.
Aku mengalihkan pandangku dari Taehyun. Aku masih tak terbiasa melihat Taehyun yang belakangan ini sering menciptakan suasana gloomy. Sejak leukemia bersarang di tubuh kurusnya, aku menyadari bahwa yang berubah bukan hanya fisik Taehyun saja. Kami seolah bertukar jiwa. Aku jadi tak begitu suka menunjukkan apa yang sedang aku rasakan secara gamblang, sedangkan Taehyun sebaliknya, dia menjadi lebih ekspresif dari biasanya, ekspresif dalam konteks negatif. Tapi appa kami bilang, gangguan psikis adalah hal biasa bagi para penderita penyakit kronis, dan akan pulih saat kondisi tubuh telah membaik.
Appa meremehkan, karena hal ini memang terjadi hanya saat Taehyun sedang bersamaku. Sekarang, apapun yang dirasakan oleh Taehyun, seolah harus mendapat validasi dariku juga. Taehyun akan marah saat aku mulai tak mengerti apa inginnya. Menangis adalah pantangan bagi Taehyun sejak kami kecil, tapi sekarang Taehyun akan menangis di mana saja ketika dia ingin. Dan sikap itu mungkin hanya ditunjukkan jika hanya ada aku saja. Aku senang, itu artinya Taehyun menjadi sangat transparan denganku. Mungkin aku hanya belum terbiasa dengan sifat barunya itu. Rasanya sedikit rumit, aku merasa seperti punya adik bayi berukuran kolosal.
"Jika yang bermasalah adalah jantungku, pasti aku sudah mati karena cemas."
"Untung saja tidak."
"Tapi kanker juga buruk. Aku jadi sangat lemah dan tidak berdaya."
Aku menepuk pucuk kepalanya dua kali, sembari bibirku melafalkan, "Tidak apa-apa, sakitnya akan segera sembuh." Begitu.
Taehyun tak memberi respon lebih, sepertinya bayi besar sudah betulan mengantuk.
"Taehyun, kau tahu soal transplantasi sumsum tulang belakang? Aku dengar itu efektif."
Taehyun mengangguk, tapi alisnya menurun. Matanya menatap jauh menembus plafon ruangan.
"Tapi juga sangat sulit mencocokkan pendonor dengan resipien." Ucapnya dengan suara lemas.
Aku berkedip cepat, punggung tangan Taehyun yang panas, aku genggam erat, "Aku. Aku akan menjadi pendonor untukmu. Tidak mungkin ada ketidakcocokan antara kau dan aku, bukan?" Menurutku ini adalah solusi.
"Hm. Jika aku masih bisa bertahan sampai kita mencapai usia legal."
Aku terhenyak dengan pernyataannya. Sekilas, aku terbayang sesuatu. Aku tidak mau merayakan ulang tahun ke delapan belasku sendirian. Aku tidak ingin tahu, bagaimanapun kondisinya, kue ulang tahun kami harus selalu tertulis dua nama, dua buah lilin itu juga harus di tiup oleh dua napas. Lihat? Aku membenci Taehyun di era melankolisnya. Sungguh, pikiranku mudah terkontaminasi. Aku lebih senang pikiranku terisi dengan hal-hal yang membahagiakan saja.
"Pendonor harus mencapai usia legal untuk prosedur itu?"
"Begitulah dari yang kubaca."
"Sial."
"Jaga dirimu baik-baik, Kai. Kesehatan itu penting. Jika bukan untuk dirimu sendiri, maka lakukanlah untukku. Kita tidak tahu kapan tubuhmu akan berguna untuk keberlangsungan hidupku di masa depan."
Aku mengiyakan dalam hati. Tapi aku tak ingin melanjutkan obrolan ini untuk sekarang. Aku butuh waktu. Appa berkata, aku masih terjebak dalam tahap penolakan, saat Taehyun sudah jauh berada dalam fase penerimaan.
 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄
"Taehyun,
Taehyun, ini sudah pagi, Ayo sarapan bersama!
Taehyun?
Taehyun!
Taehyun...
..."
Taehyun adalah seorang light sleeper. Ada apa ini? Kenapa kali ini dia susah sekali dibangunkan?
Apakah dia...
...Tidak mungkin secepat ini, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ TWIN FLAME || Taehyun & HueningKai
Фанфик[BUKAN LAPAK BXB!] [100% FIKSI] Satu peti, satu jiwa, dua raga. ••• Yang mereka suguhkan bukanlah fantasi, bukan pula komedi. Berharap inspiratif, justru ironi yang terjadi. Terima saja apa adanya si kembar sial yang terikat dalam silang sengkarut a...