42. Tala Sebagai Penenang Hati

116 24 0
                                        

Saat hendak keluar kamar, mata Vee terpaku pada sesuatu di sudut ruangan. Langkahnya terhenti. Ia menyipitkan mata.

“Bintang laut…” gumamnya pelan, meraih boneka yang teronggok di atas lantai dekat lemari.

Tangannya menyentuh permukaan lembut boneka itu—tak besar, tapi juga nggak terlalu kecil. Familiar. Ada kenangan yang menampar ingatan.

“Gue masih inget nama yang Dava kasih buat lo,” bisiknya sambil menatap tajam ke arah boneka itu.

“Tala…” lanjutnya lirih, senyum kecil menyelip di sudut bibirnya, meski matanya berkaca-kaca.

Vee menelusuri isi kamar itu dengan tatapan menyapu. Dindingnya biru tua. Masih seperti dulu. Tapi boneka ini…

“Kenapa warna lo nggak biru, ya?” gumamnya bingung, alis mengernyit. “Malah pink. Nggak matching banget, sumpah.”

Ia mendecak pelan.

“Tala, lo makin lama makin mirip Patrick Star, tau nggak?” ucapnya, lalu terkekeh kecil mengingat karakter kartun Spongebob.

Vee mendongak ke langit-langit sambil berpikir. “Apa perlu gue cariin boneka Spongebob buat nemenin lo?”

Namun kemudian ia menggeleng cepat, wajahnya mendadak panik.

“Nggak, nggak. Nanti Dava marah lagi dari alam sana. Dia posesif banget sama lo,” gumamnya setengah takut, setengah rindu.

Ia memeluk Tala pelan, lalu menatap boneka itu lekat-lekat.

“Tala… sekarang ikut gue, ya. Dava udah nggak ada. Gue istrinya, jadi sekarang gue yang jagain lo,” ucapnya mantap. Tapi lalu buru-buru meralat, pipinya sedikit memerah. “Eh, maksud gue… gue yang rawat lo. Jangan bagi kenangan lo sama gue, cukup gue yang simpan.”

Dengan napas panjang, Vee keluar dari kamar Dava, menenteng Tala di pelukannya. Kali ini, bukan taksi yang menjemput. Supir pribadi ayahnya sudah menunggu di depan apartemen—siapa lagi kalau bukan atas perintah Nio.

Selama perjalanan, hening mendominasi. Vee menatap ke luar jendela, dingin. Pak Maman yang menyetir tampak gelisah. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat.

Akhirnya, ia memberanikan diri bersuara.

“Itu… Non Vee bawa apa?” tanyanya ragu, melirik lewat spion.

“Boneka bintang laut,” jawab Vee datar tanpa menoleh. Sorot matanya kosong, dan jawaban itu membuat Pak Maman menelan ludah kaku.

Tak ada percakapan setelah itu. Vee larut dalam pikirannya sendiri. Pak Maman hanya menatap jalan, berusaha seprofesional mungkin.

Sesampainya di rumah, tak ada tanda-tanda keramaian. Rumah yang biasanya hangat dengan suara tawa kini sunyi senyap. Vee tidak peduli. Ia langsung melangkah menuju kamarnya, membuka pintu pelan dan masuk.

Pandangan matanya langsung tertuju pada meja belajarnya. Sebuah buku diary terbuka di sana.

Ia duduk, mengambil pena, lalu mulai menulis. Helaan napasnya panjang, berat. Jendela kamar terbuka, membiarkan angin malam masuk menusuk kulitnya. Tapi Vee tidak bergeming.

Hari ini... rasanya makin sepi. Tapi anehnya, gue juga makin takut kalau lupa suara lo. Gue takut suatu hari nanti, lo jadi cuma bayangan samar yang nggak lagi jelas...”

Setelah menulis satu paragraf lagi, ia menutup bukunya pelan. Tatapannya sayu, tapi ada sedikit senyum kecil di ujung bibirnya.

Beberapa saat kemudian, ia selesai menulis. Ia berdiri, menatap keluar jendela sejenak, lalu perlahan menutupnya.

ALENZA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang