kelabu

12 2 0
                                    

Aku membaca balasan dari Nolan dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ada rasa lega bahwa dia masih peduli padaku, tapi di sisi lain, aku merasa terbebani oleh tanggung jawab emosional yang terus terjalin di antara kami. Ini membuatku bingung dan terjebak dalam pusaran perasaan yang rumit.

"Kalau kita emang udah gaperlu tau keadaan masing-masing, it's okey, Alyssa." bunyi pesan dari Nolan. Aku menelan ludah, mencoba memahami setiap kata yang dituliskannya. Dia meminta maaf karena telah menempatkanku dalam posisi seperti ini. Aku merasa tersentuh oleh sikapnya yang masih memperhatikan kabarku.

"Aku nanya kabar kamu pun dengan maksud baik ko, karena aku masih peduli sama kamu," lanjutnya. Sementara hatiku bergetar dalam kebingungan, aku mencoba memahami bahwa tindakannya ini mungkin merupakan cara dia untuk menjaga hubungan di antara kami.

"Tetapi jika kamu merasa perlu waktu untuk dirimu sendiri, aku akan sepenuhnya memahaminya." tambahannya lagi. Sebuah tawaran yang sulit untuk diabaikan. Meskipun hatiku ingin bertahan, aku menyadari bahwa mungkin waktu dan ruang adalah yang terbaik untuk kedua belah pihak.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan membaca pesannya. "Kalaupun kamu menganggap tentang aku untuk fokus ke diri sendiri adalah omong kosong, i've been through that phase, Alyssa." tulisnya. Aku tersentuh oleh kejujurannya. Dia telah mengalami fase yang sama, dan sekarang dia berusaha memberiku kepastian bahwa dia tidak akan mencari pengganti diriku.

Aku membaca pesannya sekali lagi, mencerna setiap kata dengan hati-hati. "Jadi, jika aku memilih untuk merenung sendiri untuk sementara waktu, itu bukan berarti aku mencari pengganti. Kamu bisa percaya padaku untuk itu." katanya. Itu adalah janji yang sulit untuk diabaikan.

Aku merenung sejenak, mencerna setiap kata dengan hati yang berdebar. Aku tak bisa menyangkal bahwa ada kehangatan dalam kata-kata Nolan, tapi di balik kehangatan itu tersembunyi kekhawatiran yang mendalam. Apa sebenarnya yang diinginkan Nolan? Dan apakah aku bisa mempercayainya sepenuhnya?

"Terima kasih sudah peduli, Nolan," tulisku. "Tapi, aku harus jujur dengan diriku sendiri. Kabarku baik-baik saja, sejauh ini. Tapi, aku tak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa perasaanku masih berantakan. Aku menghargai keputusanmu untuk fokus pada dirimu sendiri, tapi aku ingin tahu alasan di baliknya. Salah satunya, memang tentang fokus pada diri sendiri, tapi apakah ada alasan lain yang kamu sembunyikan dariku?"

Pikiranku dipenuhi dengan ketidakpastian tentang apa yang akan dijawab oleh Nolan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, balasan dari Nolan akhirnya muncul di layar ponselku.

"Takut, Alyssa," tulis Nolan. "Aku takut akan keputusan yang sama seperti sebelumnya. Aku takut akan kembali mengalami rasa sakit yang sama. Dengan kamu memutuskanku, itu sangat menyakitkan dan bahkan tidak nyaman untukku."

Setelah beberapa saat berpikir, aku mulai mengetikkan balasanku dengan hati yang berat. "Okey, maaf aku udah bikin kamu sakit hati dan buat kamu ga nyaman sama apa yang aku katakan saat kemarin putusin kamu." tulisku, jariku bahkan bergetar saat mengetik. "Aku juga udah coba jelasin semua ke kamu, aku pun udah coba minta maaf ke kamu, tapi mungkin maaf dari aku pun gacukup ya? aku juga udah coba yakinin kamu, mungkin emang aku gabisa yakinin kamu ya? It's okey, Nolan, aku hargai keputusan kamu, aku pun bahkan sudah jujur ke kamu bahwa aku menyesal kan? dan itu sangat menyakitkan juga bagiku, Nolan."

Beberapa saat kemudian, ponselku berdering lagi, memberi notifikasi dari Nolan. Aku menelan ludah saat membaca balasan dari pria itu. "It's okay, Alyssa," tulis Nolan dengan nada yang tenang. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kamu pasti tau kok apa yang terbaik buat diri kamu sendiri. Jangan menyesal, aku baik-baik saja."

Andam KaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang