keputusan

86 4 0
                                    

Dengan tatapan tegar, Aku menyesuaikan cermin mobil saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Mesin mobilnya menggeram pelan, seolah memahami keraguan yang menghantui di dalam diriku.

Langkah ini adalah puncak dari keputusan yang tidak aku timbang-timbang dan berasal dari ego diri. Aku merasa berat hati saat menggenggam kemudi, menyadari bahwa langkah yang aku ambil akan mengubah segalanya.

Dengan berat hati, aku dan pacarku duduk berhadapan di sebrang meja yang lumayan besar membatasi antara kita. Suasana di sekitar kami terasa tegang dan campur aduk, diiringi oleh angin sepoi-sepoi yang datang dari jendela menyapu debu-debu halus. Tatapan kami bertemu, tetapi tidak lagi dengan kehangatan yang biasa kami bagikan seperti dinginnya malam ini.

Dengan perlahan, aku mengambil handphone dari saku celana, membiarkan cahaya layar menyinari wajahku yang penuh keraguan. Ini mungkin terdengar aneh, tapi beginilah aku, seorang perempuan yang sulit mengungkapkan perasaannya. Untungnya, Nolan, yang masih menjadi pacarku saat ini, sangat memahami aku. Dia memberi izin untuk membaca catatan, karena dia mengerti betapa sulitnya bagi aku untuk mengutarakan perasaan dengan kata-kata yang tepat.

Kata-kata terbata-bata keluar dari bibirku, terasa sangat menyakitkan saat diucapkan. Aroma kesedihan dan penyesalan menyelimuti udara di sekitarku.

Tanpa menentang keputusanku, Nolan menyetujui perpisahan kami, yang membuat sakitnya lebih mendalam. Pria yang dulu diperankan sebagai pemeran utama yang sangat mencintaiku, akhirnya tidak berjuang melawan ketetapan putusku.

Meskipun banyak kata penolakan yang bisa diutarakan, Nolan hanya mengulangi kalimat klise, "Semoga kamu menemukan seseorang yang lebih baik dariku." Sungguh, Nolan, sampai saat aku menuliskan akhir dari kisah ini, aku berharap doamu itu dikabulkan. Namun, Nolan, dengarkanlah cerita dari sudut pandangku sampai akhir, apakah menurutmu aku bisa beranjak dari kamu? pemeran utama di setiap lembaran ceritaku.

Ketidakpuasan tampak jelas di wajahku yang menahan tangis, terutama saat melihat Nolan meneteskan air mata sambil terus mengucapkan banyak kalimat klise yang sangat kubenci. Meski telingaku terus mendengar ucapan Nolan, pikiranku terus dipenuhi oleh penyesalan atas keputusan untuk mengakhiri hubungan ini.

Nolan menatapku dengan penuh harap, "Apakah ada yang ingin kamu sampaikan untukku terakhir kali?" aku menggeleng cepat. Bukan karena tidak ada yang ingin aku katakan, Nolan, tapi pikiranku terlalu disibukkan oleh penyesalan. Bukannya aku tidak ingin mengucapkan terima kasih atas segalanya yang telah kita lewati bersama, seperti yang kau lakukan padaku, Nolan. Hanya saja, aku tidak ingin itu menjadi akhir. Aku hanya menginginkan kita bisa memperbaiki hubungan kita. Seolah-olah lidahku kelu untuk mengatakannya.

Kini, aku duduk di dalam mobil bersama Nolan di sampingku, dan aku meraihnya dalam pelukan erat. Suara mesin mobil dan angin malam yang menyapu lembut melalui jendela menjadi satu-satunya saksi dalam pertemuan terakhir kami.

Andam KaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang