nuraga

10 2 0
                                    

Aku dan Alma seharusnya pergi ke acara basket malam itu, tapi hujan deras menggagalkan rencana kami. Dengan semangat yang belum reda, kami memutuskan untuk mengambil jalur pintas ke rumah Alex. Tidak butuh waktu lama untuk tiba di sana, tapi ketika kami hampir sampai, telepon dari Alex mengubah segalanya.

"Kalian datang aja ke rumah Bima, kita main game disana." desis Alex di sebrang telepon.

"Okey, kita kesana ya." jawab Alma, dengan riang.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa kubuang begitu saja: Nolan. Kabar bahwa dia juga berada di sana membuat hatiku berdegup lebih cepat dari biasanya. Kami baru saja memutuskan untuk memberi ruang dan waktu pada diri masing-masing, tapi sekarang kami harus bertemu dalam keadaan yang tak terduga.

Kami berada di gerbang komplek rumah Alex, dan tak lama kemudian, kami berdiri di depan rumah temannya. Saat aku melangkah masuk, jantungku berdegup lebih kencang. Ada ketegangan yang menggelayut di udara.

Kutatapnya dengan penuh harapan, tetapi dia tidak menoleh, bahkan tidak menyapa. Hatiku terasa pecah menjadi jutaan kepingan kecil. Namun, aku juga tidak mencoba menyapa duluan. Harga diriku sudah cukup terluka untuk selalu memohon kepadanya.

Aku berbohong, mencoba memaksa diriku bertindak seolah-olah semuanya baik-baik saja. Tetapi setiap diam ku terasa seperti beban yang semakin berat. Kata-kata yang terus bergema dalam pikiranku. "Jika Nolan ingin berbicara denganku, pasti dia akan melakukannya." Tetapi Nolan tetap terdiam sampai kami pamit untuk pulang.

Seseorang yang dulu begitu akrab, tapi sekarang terasa begitu asing. Sepatah kata pun tidak terucap dari kami berdua. Hanya tatapan kosong yang saling bertabrakan, tapi tidak pernah bertemu. Kemungkinan keheningan di antara kita akan bersuara lebih keras daripada kata-kata yang tak pernah terucap.

Aku berusaha keras untuk tidak memikirkannya, tapi rasa sakitnya menganga dalam-dalam. Bagaimana kita bisa berubah dari berbicara setiap hari menjadi tidak ada sama sekali? Aku merindukan segala hal tentangnya. Merindukan cara dia dulu terobsesi padaku, dan bagaimana dia selalu ingin dekat dengan aku.

Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan: melihat seseorang yang aku cintai menjadi seseorang yang tidak aku kenal lagi atau akhirnya mengerti bahwa dia selalu menjadi seseorang yang tidak pernah aku kenal sepenuhnya sama sekali.

Aku duduk di kursi penumpang mobil, membiarkan pikiranku melayang ke perpisahan yang baru saja terjadi antara aku dan Nolan. Air mata mengalir di pipiku tanpa henti, meskipun aku berusaha menyembunyikannya.

Alma, kakakku, duduk di sebelahku, merasakan ketegangan di udara. Dia tahu betapa hancurnya hatiku saat ini, meskipun aku berusaha keras untuk menahannya.

"Jelas kan, Alyssa? Kamu bukan yang dia mau." ucap Alma dengan suara lembut, tetapi penuh makna. "Bahkan menurutku, dia terlalu terpaku sama egonya sendiri. Jangan pernah berjuang untuk hubungan di mana kamu ngerasa seperti pengemis dan dia seperti majikannya."

"Berat, Kak. Aku ngalamin hubungan yang harus berakhir, padahal dari aku sebenernya juga gapernah mau ngelepasin Nolan." ucapku. "Kita berdua sama-sama punya perasaan yang besar, perasaanku dan Nolan sama, sama-sama besar, tapi ego kita juga ga kalah besar. Jadi, akhirnya aku terpaksa ngeakhirin semuanya, dan Nolan juga terpaksa nerima keputusanku."

Alma mengehela napas berat. "Masalah kamu tuh, kamu selalu denial, Alyssa. Bertahan, bahkan udah tau hasilnya selalu sama. Tanpa sadar, kamu menikmati rasa sakit yang bahkan itu nyakitin diri kamu sendiri."

Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan pembicaraan. "Itu sebabnya, aku mungkin menyesali keputusan aku mengakhiri hubungan, Kak," ucapku dengan nada rendah. "Tapi aku gaakan pernah menyesali setiap usaha yang udah aku lakukan untuk ngebuat Nolan kembali padaku, untuk ngejalanin hubungan bersamaku lagi."

"Kadang kamu juga selalu menyangkal dengan mengatakan, 'itu bukan Nolan, karena dia bukan tipe cowok yang seperti itu.' Oh, Alyssa, bangunlah. Kamu harus menyadari, dari awal kamu diberi love bombing, itulah sebabnya kamu berpikir sifat aslinya muncul di awal. Padahal, yang kamu lihat sekarang, itulah dia sebenarnya, Alyssa."

Aku menyadari Alma berkata seperti itu karena dia peduli padaku dan tidak ingin melihatku terus terjebak dalam situasi yang menderita seperti ini.

"Move on, Alyssa, stop nutup diri dan terus terjebak di lubang itu-itu aja. Buka hati untuk orang lain, ngobrol sama lawan jenis, bukan untuk gantiin Nolan kok, tapi untuk merasa dihargai dan kamu berharga. Itu bakal nyembuhin harga diri kamu yang sekarang terluka. Kamu harus menyadari nilai diri kamu sendiri dan menghargai bahwa ada orang lain di luar sana yang mungkin bisa ngasih cinta dan perhatian yang jauh lebih besar dari yang kamu butuhin."

Andam KaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang