Setiap hari, aku berusaha keras untuk menghadapi kenyataan bahwa kamu telah pergi. Namun, tak peduli seberapa keras aku mencoba, kenangan tentang kamu terus menghantui pikiranku seperti museum yang tidak pernah berhenti dibuka. Aku merasa seperti aku terperangkap dalam labirin kenangan yang aku inginkan untuk dilupakan, tetapi tidak dapat melarikan diri. Aku membenci diriku sendiri karena menjadi penjaga setia museum ini, tempat yang dipenuhi dengan hal-hal yang aku inginkan untuk dilupakan. Tetapi semakin aku berusaha untuk melupakan, semakin jelas kenangan itu hadir, menghancurkan hatiku lagi dan lagi.
Bersama Nolan, aku bisa berbicara dan berbagi segalanya. Aku merasa seperti aku bisa menjadi diriku yang sejati di sekitarnya, tanpa takut untuk menunjukkan sisi-sisiku yang tersembunyi. Kami memiliki ikatan yang begitu kuat, yang membuatku merasa tak ada yang bisa memisahkan kami.
Namun sekarang, ada jurang yang semakin melebar di antara kita. Aku tak yakin bagaimana harus mengatasinya. Aku masih sangat peduli padamu, tetapi rasanya kamu mulai melangkah maju, meninggalkanku di belakang. Bagiku, Nolan, melihatmu tertawa dan berbagi momen dengan orang lain, bahkan hanya dengan temanmu, rasanya begitu sulit, padahal dulu aku adalah yang selalu ada di sampingmu. Aku mencoba untuk bahagia untukmu, sungguh, tapi hatiku terluka saat berharap masih bisa menjadi bagian dari kebahagiaanmu.
Tiap kali aku melihatmu, Nolan, perasaanku berkecamuk di antara sukacita dan kesedihan. Sukacita ketika melihat senyummu, namun kesedihan karena senyum itu tak lagi untukku. Aku terus merenung, apakah aku harus melangkah maju juga, tetapi itu tak semudah yang kubayangkan, terutama ketika kau begitu berarti bagiku.
Aku menatap layar ponselku, memandangi sebuah video dalam akun seseorang di sosial media. Mataku bergumul, "Mengapa aku sangat kesal melihat bahwa kamu baik-baik saja?" itu yang terlintas di benakku, dalam satu detik, hatiku terasa berat dan sesak. Dan lagi, aku menyadari bahwa aku tidak lagi memiliki bagian dalam ceritamu, aku memeluk diriku sendiri yang malang, ditemani oleh air mata yang menjadi satu-satunya temanku. Dari situlah, aku memutuskan untuk menghapus segala jejak sosial media yang memungkinkan aku melihatmu.
Entah kenapa Nolan masih bersarang dalam setiap sudut pikiranku, meskipun aku menyadari bahwa kamu tidak lagi ingin bersamaku. Bahkan kalimat itu selalu setia muncul di setiap bab dari cerita ini.
Kamu punya nomorku, Nolan. Kamu juga tahu di mana kamu bisa menemukanku. Namun, kamu tak pernah kembali. Hal itu salah satu yang membuktikan bahwa aku bukanlah prioritasmu lagi, bahwa cintamu memang sudah berakhir, bahwa kamu memang tidak peduli bagaimana perasaanku saat ini, atau apakah aku merasa kesepian karena kamu.
Tapi mengapa aku masih berpegang pada Nolan? Mengapa aku masih merindukan Nolan? Apa mungkin karena aku takut melepaskan dan kehilangan lagi? Mungkin aku berharap bahwa suatu hari Nolan akan kembali, bahwa semuanya akan kembali seperti dulu. Atau mungkin aku hanya takut akan rasa sakit yang lebih besar jika aku membiarkanmu pergi sepenuhnya?
Aku lelah, Nolan, begitu juga pikiranku. Karena kapanpun aku berjuang untukmu, Nolan, aku merasa seperti satu-satunya yang mencoba, dan itu sendiri adalah perasaan yang paling kesepian, menyedihkan.
Ada momen dimana aku sangat ingin membencimu, Nolan, tapi aku tak pernah bisa membencimu. Lalu, pikiranku terlintas, ketika kamu pergi, apakah kamu memikirkan semua yang kamu tinggalkan? atau apakah kamu hanya memikirkan dirimu sendiri?
Bertahan sendirian di tengah-tengah badai yang menyesakkan dada, tidak pernah membuat kamu bener-benar melihatku. Dunia yang terus berputar dan meninggalkanku di belakang, rasanya seperti aku terperangkap pada kesedihanku yang tak berujung.
Meski demikian, aku masih bertahan sampai detik dimana kamu membaca ini, aku masih terlalu mencintaimu untuk melepaskan segala hal yang indah tentangmu.
Mungkin, cinta bukan tentang seberapa banyak hal yang telah kita upayakan, tapi lebih kepada siapa yang tetap bertahan dan berjuang lebih lama. Sampai kapanpun kamu adalah langit yang kucintai dengan segala cuacanya.
Aku tidak pernah menghitung hari, tetapi sekarang, saat aku melihat kalender, aku terkejut menyadari seberapa jauh waktu telah berlalu sejak kita terakhir kali berbicara. Setiap malam, aku masih memperhatikan handphone-ku, berharap akan ada pesan darimu, meskipun aku tahu dalam hati bahwa aku tak akan pernah mendapatkannya.
Menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi sangatlah sulit. Namun, lebih sulit lagi untuk menyerah ketika aku tahu bahwa yang aku inginkan hanyalah Nolan kembali padaku.
Aku selalu memberikan alasan kepada orang-orang terdekatku mengapa aku masih bertahan, mengapa aku belum bisa melepaskan Nolan dari hatiku. Tapi mereka selalu memberikan klarifikasi yang menyakitkan, mengingatkan aku pada fakta-fakta yang aku coba lupakan. Mereka menekankan betapa Nolan telah membuatku menderita: betapa seringnya dia membuatku menangis, betapa seringnya dia mengabaikanku dalam kehidupannya, dan betapa seringnya dia tidak menghargai waktuku.
Fakta bahwa aku merasa kesepian dan tidak berharga, bahwa asam lambungku selalu kambuh dan berat badanku menurun, serta raut wajahku yang kini tidak lagi seceria dulu, semuanya adalah bukti nyata dari seberapa besar pengaruh Nolan terhadap hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andam Karam
RomansaTerkadang, membuka halaman selanjutnya terasa sulit ketika kita sadar bahwa seseorang yang kita sayangi tidak akan ada di cerita kita lagi. Meski begitu, hidup harus tetap berlanjut, karena cerita kita belum berakhir.