Mendebarkan.
Perasaan itu kembali hadir kala Jeno siap menyongsong kehidupannya sebagai mahasiswa. Di hari yang spesial ini, Donghyuck sampai meminjam mobil bosnya agar bisa mengantar Jeno mengikuti kuliah perdananya.
"Udah cantik kok itu, gak usah ngaca lagi," puji Donghyuck pada Jeno yang masih sibuk mematut dirinya di depan cermin.
"Apaan sih!" Laki-laki cantik itu berulang kali merapikan tatanan rambutnya yang menurutnya tidak sesuai. Ia amati kembali penampilannya dari atas ke bawah, kemeja putih dengan dasi merah kotak-kotak memberikan kesan yang begitu rapi, lalu dibalut dengan sweater berwarna putih untuk menyamarkan perutnya yang buncit, celana kain berwarna coklat tua dipadankan dengan sepatu berwarna senada. Sungguh penampilan yang sempurna!
"Ayo, nanti kamu telat, lho."
"Iya-iya ih, bawel."
Donghyuck membantu membawakan tas kuliah Jeno yang isinya tak terlalu banyak, hanya buku catatan, alat tulis dan botol minum serta makanan ringan untuk penunjang perutnya yang sering lapar.
"Semangat kuliahnya Jeno," kata Ibu Sunny, pemilik kontrakan yang Donghyuck dan Jeno tinggali. Kebetulan rumahnya itu bersebrangan dengan kontrakannya.
"Terima kasih, ibu." Jeno membalas dengan ramah.
Selama hampir tujuh bulan tinggal di sana, Jeno kini sudah mulai akrab dengan para tetangga. Ia akhirnya mau bersosialisasi meski hanya saling bertegur sapa.
Selama perjalanan, Jeno tak henti-henti meremat kedua tangannya untuk menghilangkan kegugupannya. Semuanya masih terasa seperti mimpi baginya. Ia yang sempat kehilangan harapan, sudah menyerah pada keadaan, dan pasrah hidup dalam penderitaan kini seperti telah mendapatkan angin segar.
Tangga pertama menuju mimpinya yang begitu tinggi mulai Jeno pijak. Masih ada banyak tangga yang harus ia lewati untuk mencapai puncak. Ia berharap setiap langkahnya itu selalu diberikan kemudahan dan dijauhkan dari masalah-masalah yang bisa menjatuhkannya lagi.
"Gak usah gugup, Jen. Semuanya akan baik-baik saja." Sedari tadi Donghyuck bisa melihat kegugupan dari lelaki yang duduk di sampingnya.
Jeno sudah memberikan sugesti yang sama untuk dirinya itu, tapi tetap saja perasaan gugup dicampur antusias itu tak bisa dihilangkan. Belum lagi perasaan takut akan pandangan orang-orang kepada dirinya nanti semakin membuat Jeno gelisah.
"Kalau nanti ada yang jahat padamu, langsung kasih tau aku."
Jeno mengangguk mendengar pesan yang entah berapa kali sudah Donghyuck katakan. Lelaki itu paham betul apa yang menjadi ketakutan utamanya. Tapi tenang saja, Jeno sudah menyiapkan diri jika nanti ada yang bergosip tentangnya, apalagi sampai mengatakan hal-hal buruk kepadanya.
"Apa aku perlu mengantarmu sampai ke kelas?"
Jeno menggeleng pelan, mereka telah sampai di depan gedung fakultas kedokteran. Gedung yang tingginya empat lantai itu terlihat begitu megah membuat Jeno minder dan merasa tidak pantas menjadi bagian dari mahasiswa jenius di sana.
"Ya sudah, semangat belajarnya ya." Donghyuck mengusap perut Jeno sejenak sambil membisikkan kata penyemangat untuk sang anak. "Jagain papa ya, sayang. Jangan nakal apalagi sampai menyusahkan papa, ya? Semangat sayangnya Ayah."
Jeno terdiam dengan air mata yang menggenang. Kini perasaannya sudah mulai lebih terbuka untuk Donghyuck, rasa bencinya tidak sebesar dulu. Ia merasa tinggal dengan Donghyuck tidak seburuk itu, apalagi melihat semua perjuangannya, laki-laki itu benar-benar melakukan yang terbaik untuknya. Mungkin sudah saatnya untuk ia lebih ikhlas menerima takdirnya, membiarkan kehidupannya terus berjalan sebagaimana mestinya dan menikmati setiap waktu berharga yang ia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Good Father - Hyuckno
Hayran KurguAlohaaa Sebelum baca book ini alangkah baiknya baca cerita Cigarette or Kiss dulu di book Hyuckno Story yaaa, supaya gak terlalu bertanya-tanya kenapa ceritanya tiba-tiba begini hehehe